KETIKA Anda mengonsumsi tablet Parasetamol, pernah kah Anda berpikir “dari manakah obat ini berasal?”. Indonesia memang mampu memproduksi Parasetamol dan beberapa jenis obat lain. Tetapi, sebenarnya kita hanya mengolah bahan baku untuk dijadikan obat. Menurut Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Indonesia masih mengimpor 90% bahan baku obat dari luar negeri. Industri obat kita mengalami guncangan saat awal pandemi covid-19. Ketika negara produsen bahan baku memberlakukan pembatasan ekspor, pabrik obat di Indonesia hanya bisa beroperasi dengan kapasitas 50-60% karena tidak memiliki pasokan bahan baku yang cukup. Hal tersebut menunjukkan bahwa industri obat adalah industri yang strategis.  Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku impor. Pertamina dan Kimia Farma (12 Januari 2021), menyepakati rencana pembangunan pabrik di Cilacap yang akan mengolah produk petrokimia menjadi bahan baku obat. Diharapkan, persentase bahan baku impor akan berkurang, meskipun kita belum bisa sepenuhnya menghilangkan ketergantungan terhadap impor.

Kondisi rantai pasokan global (global supply chain) bahan baku obat dikuasai oleh dua negara, yakni India dan Tiongkok. India dan paten obat India dijuluki ‘apotek dunia’ (the pharmacy of the world). Menurut laporan dari India Brand Equity Foundation (2021), 20% obat generik dan 50% vaksin yang diekspor ke seluruh dunia berasal dari negara tersebut. Sejak tahun 1970, Pemerintah India serius dalam mengembangkan industri farmasinya, termasuk soal hak paten obat. Paten merupakan penghargaan kepada penemu obat yang diberikan hak eksklusif untuk memproduksi obatnya, tanpa boleh ditiru perusahaan lain. Hak eksklusif berlaku selama kurun waktu tertentu (15 – 20 tahun). Perlindungan hak paten diperlukan sebagai insentif. Karena, proses penemuan satu obat membutuhkan waktu yang sangat lama (8-10 tahun) serta biaya yang luar biasa besar (US$1-2 miliar). Mengingat pentingnya paten, terdapat badan paten dunia (World Intelectual Property Organization – WIPO) yang mengatur mengenai hal ini. Undang-Undang Paten (UU Paten) India pada tahun 1970 tidak melindungi hak paten obat.

Perlindungan hanya diterapkan pada proses untuk memproduksi obat. Perusahaan penemu obat baru (baik nasional ataupun internasional) tidak memiliki hak monopoli untuk memproduksi ataupun menjual obatnya di India. Perusahaan lain bisa memproduksi dan menjual jenis obat yang sama, dengan syarat bahwa proses produksinya harus berbeda.  Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip paten WIPO. UU Paten di India mendorong industri farmasi lokal untuk berkembang pesat dari tingkat hulu hingga hilir. Alhasil, ada banyak perusahaan obat di India yang mampu memproduksi obat generik dalam skala besar dengan biaya yang murah.

Sebagai syarat masuk WTO (World Trade Organization), India (anggota WTO sejak 1995) perlu mengubah UU Patennya menjadi lebih mirip dengan prinsip WIPO.  Meski demikian, dampak UU Paten India tahun 1970 telah memperkokoh industri farmasi India: 40% obat generik yang beredar di Amerika Serikat dan 25% dari semua jenis obat di Inggris berasal dari India. Direktur Utama Kimia Farma, Verdi Budidarmo, menyatakan pada tahun 2020 India menyuplai 30% bahan baku obat yang diimpor oleh Indonesia. Tiongkok dan rantai pasokan global Meskipun India mampu memenuhi produksi obat untuk kebutuhan domestik maupun internasional, dominasinya terhadap rantai pasokan global direbut oleh Tiongkok. Pada tahun 1990 India hanya mengimpor 1% bahan baku obat dari Tiongkok. 30 tahun kemudian, situasi berubah drastis. Reuters mencatat, bahwa pada tahun 2021 India mengimpor 50% bahan baku dari Negeri Tirai Bambu.

Strategi Tiongkok untuk merebut pasar, adalah dengan ‘membanjiri’ dunia produk bahan baku yang murah. Namun, kualitas bahan baku tersebut lebih rendah dibandingkan dengan yang diproduksi oleh India. Situasi rantai pasokan global telah berubah. Masing-masing negara berfokus pada segmen yang berbeda, Tiongkok mendo­minasi tingkat hulu dengan ekspor bahan baku obat. Sementara, India mengolah bahan tersebut menjadi obat jadi yang diekspor ke seluruh dunia. Sebagai contoh, pada tahun 2019, Amerika mengimpor 18% bahan baku obat dari India, sementara 16% berasal dari Tiongkok. Strategi Singapura India dan Tiongkok adalah dua raksasa yang menguasai rantai pasokan obat. Namun, Singapura sebagai negara yang kecil juga mampu memainkan peran penting.

Baca Juga: Kesetaraan Gender dalam Pendidikan

Rahasia kesuksesannya, terletak pada pemerintah yang mendorong perkembangan kawasan industri obat. Berbagai perusahaan farmasi tingkat dunia banyak berinvestasi di kawasan industri tersebut. Sehingga, Singapura bisa menjadi pusat pengolahan obat berteknologi tinggi. Sebagai contoh, Tuas Biomedical Park menampung 31 pabrik obat multinasional. Jika hasil ekspor semua kawasan industri obat di Singapura digabung, nilainya mencapai mencapai US$7 miliar (tahun 2018).

Peluang Indonesia Industri Farmasi Indonesia memiliki potensi tinggi dengan penduduk terbesar keempat di dunia. Menurut Fitch Solutions (2021), penjualan obat di Indonesia bisa mencapai 12,6 miliar USD pada tahun 2025. Dari pengalaman 3 negara di atas terlihat peran pemerintah yang dominan dalam penguatan industri farmasinya. Indonesia harus mampu menemukan posisi yang cocok dalam rantai pasokan global industri farmasi dunia. Kita bisa meniru India atau Tiongkok dalam me­ngembang­kan industri bahan obat baku. Kita pun bisa meniru Singapura dalam hal perkem­bangan kawasan industri obat. Oleh: Christophorus Fideluno  Ilmuwan lulusan Taipei Medical University, TMU