AMBON, Siwalimanews – Mantan Sekda Maluku Ba­rat Daya Alfonsius Siamiloy mempertanyakan, mengapa  Jaksa Penuntut Umum tidak menghadirkan mantan bupati Barnabas Orno sebagai saksi untuk didengarkan kesaksi­an­nya terkait  anggaran per­jalanan dinas dalam daerah dan luar daerah Tahun Ang­garan 2017 dan 2018 pada Sekertariat Daerah Kabu­paten MBD.

Kekesalan ini disampaikan Siamiloy dalam sidang lanju­tan kasus dugaan korupsi perjalanan dinas Pemkab MBD yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Ambon, Kamis (27/4) sore.

Dalam sidang yang dipim­pin majelis hakim yang dike­tuai  Wilson Shiriver, Alfon­sius mengungkapkan, kejak­saan harus hadirkan mantan Bupati Barnabas Orno dalam sidang, mengingat saat itu dirinya menjabat sebagai bupati dan berwenang terhadap segala kebi­jakan dan pengambilan keputusan.

“Dengan nurani yang tulus dan dalam serta bersungguh-sungguh, Saya bersumpah bahwa pemberian dana kepada pihak ketiga oleh Bu­pati MBD. Barnabas Orno Seba­gai­mana yang telah saya terangkan dalam persidangan perkara ini adalah, saya lakukan atas kebijakan dan perintah Bupati MBD kepada saya selaku Sekda.

Selain itu dirinya sebagai peng­guna anggaran pada secretariat dae­rah dirinya tidak mengambil sedikit­pun uang untuk kepentingan pri­badi ataupun untuk dinikmati oleh keluarganya.

Baca Juga: Sejumlah Kasus Korupsi Karam, Polisi Didesak Tuntaskan

Dikatakan, uang korupsi yang di­tuduhkan jaksa tak sedikitpun dinikmatinya maupun keluarganya.

Tanda tangan yang ada pada bukti pengeluaran uang merupakan perin­tah dari Barnabas Orno.

“Perintah bupati tersebut walau­pun saya telah menolaknya karena Bupati tidak mau menandatangani bukti pengeluaran uang tersebut, te­tapi karena saya ditekan dan diben­tak bupati dengan mengatakan, Sek­da laksanakan saja perintah saya atau kamu saya non jobkan,” tuturnya.

Sehingga dengan menyadari posisi dan kedudukan sebagai pem­bantu bupati, serta kepala daerah adalah pemegang otoritas anggaran pemerintah daerah, maka dirinya me­laksanakan dengan meneruskan pe­rintah bupati tersebut, kepada ben­dahara pengeluaran Sekretariat Dae­rah Yohanis Zacharias untuk menge­luarkan dan memberikan sejumlah uang sesuai permintaan bupati.

Kata dia, jaksa mestinya hadirkan mantan bupati selaku pimpinan saat itu yang dengan otoritas memerin­tahkannya dengan jaminan tidak ada masalah hukum kedepan.

“Selaku orang yang awam hukum, saya Jadi heran mengapa Jaksa tidak menghadirkan mantan bupati sebagai saksi dalam persidangan ini untuk memberikan kesaksian yang pasti mengenai kebenaran daftar pengambilan atau pengeluaran uang selama TA. 2017 dan TA.2018 yang telah saya serahkan kepada jaksa pada tahap penyelidikan,” ujarnya.

Selain itu, dia juga menuding jaksa tidak menghadirkan pihak ke­tiga yang langsung menerima man­faat dari kebijakan bupati tersebut guna dimintai keterangan sebagai saksi dalam persidangan perkara ini.

Dituding Keliru

Sebelumnya, JPU Kejaksaan Ne­geri Maluku Barat Daya dituding keliru menuntut terdakwa, Sekda MBD, Alfonsius Siamiloy terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan kewenangan.

Menurut kuasa hukum Siamiloy, Herman Koedoeboen, pasal yang dijerat kepada kliennya yakni mela­nggar pasal 2 ayat (1) pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pem­berantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No 20 tahun 2001 Jo pa­sal 55 ayat (1) ke-1, Jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana sangatlah keliru.

“Saya cukup kaget ketika JPU menyatakan dakwaan primair terbukti berdasarkan pasal 2 ayat 1 yang didakwakan dari pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, ke­mudian menyatakan tentang peng­em­balian kerugian keuangan negara.  Kami belum mendengar argumentasi hukumnya tapi dari amar telah keli­hatan bahwa penuntut umum mem­benarkan adanya penerimaan dana oleh para Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perjalanan dinas,” ujar Koedoeboen kepada Siwalima di Pe­ng­adilan Negeri Ambon, Rabu (12/4).

Kata Koedoeboen, pasal 18 UU Tipokor, Itu adalah konsekuensi dari pada siapa yang menikmati, sekali­pun seseorang terbukti tetapi tidak menikmati dana itu secara langsung dan tidak langsung, maka undang-undang tidak mewajibkan pengem­balian kerugian keuangan negara.

Kekeliruan JPU juga, karena menyebutkan dana perjalanan dinas dinikmati oleh PNS tetapi membe­bankan biaya ganti rugi kepada Alfonsius Siamiloy.

“Disitu ada sesuatu kekeliruan, dari­pada penuntut umum karena selain kita belum membacakan ten­tang apa argumennya, tetapi menik­mati itu sendiri dalam amar menjadi kontraversi. Disatu pihak menyebut yang menikmati adalah para pega­wai, tetapi dipihak lain membe­bankan ganti rugi itu terhadap terdawka dengan dikurangi terhadap dana yang telah diterima oleh pihak ketiga,” tuturnya.

Koedoeboen menegaskan, pihak­nya tidak tahu apa yang menjadi dasar pertimbangan jaksa sehingga menyebutkan, keliennya terbukti, karena fakta persidangan telah me­nunjukkan bahwa tidak ada alasan pembenar, dimana pemberian dana kepada pihak ketiga itu adalah atas perintah bupati dan pihak ketiga itu adalah para pejabat-pejabat tertentu.

Oleh karena itu, lanjut dia, sesu­ngguhnya tidak ada aspek kesala­han yang dapat dibuktikan oleh pe­nuntut. aspek kesalahan itu harus dibuktikan dengan adanya kesenga­jaan atau kelalaian.

Sebab kesengajaan itu harus di­buktikan adanya niat,dimana tidak ada niat dari pada Sekda ini mem­pu­nyai kepentingan langsung maupun tidak langsung untuk menyerahkan dana kepada pihak ketiga.

Kata dia, sekda hanya menjalakan perintah dan hal itu tidak dipungkiri untuk tidak dapat melaksanakan se­hingga sekda bukan yang berta­ng­gungjawab penuh terhadap per­soalan ini.

“Mestinya Sekda tidak harus di­salahkan, sebab hanya melaksana­kan perintah oleh seorang bupati yang memiliki kepentingan lang­sung, di mana saudara terdakwa ha­rus melaksanakan perintah itu un­tuk memberikan SPPD itu kepada para pejabat dalam rangka menun­jang kegiatan pemerintahan daerah, berarti aspek niat itu tidak ada,” ujarnya.

Kemudian kelalaian itu tidak bisa terjadi, karena dia berada dalam kondisi diperintahkan berarti berada dalam kondisi daya paksa, sekda tidak memiliki sebuah independensi kebebasan sebagai bawahan untuk menolak suatu perintah, dan itu yang tidak dijelaskan oleh penuntut umum dalam tuntutannya. Karena JPU tidak paham tentang itu.

“Sangat sederhana tuntutannya dan bahkan berkesimpulan pasal 2 ayat 1 terbukti, Padahal mereka dak­wakan terdakwa ini dalam kapasitas selaku Sekda dan pengguna angga­ran, berarti dia didakwakan dalam jabatan dan oleh karena didakwakan dalam jabatan maka terjadilah pe­nyalahgunaan wewenang

Jika demikian, lanjutnya, maka harus diterapkan pasal 3 yang dite­rapkan, sekalipun itu adalah spesies dari pada perbuatan melawan hukum di mana perbuatan hukum yang diatur dalam pasal 2 ayat 1  karena lebih faktual dan konkrit.

“Karena dalam kedudukan dan jabatannya maka harus diterapkan pasal 3 kalau oleh mereka meng­anggap terbukti, itu pun pasal 3 masih kita perdebatkan. nah itu yang harus dilihat,” ujarnya.

Selain itu, faktor-faktor yang memberatkan, tidak boleh jaksa ber­pendirian bahwa suatu persidangan dianggap kooperatif oleh seorang terdakwa apabila mengakui itu adalah tidak profesional

Terhadap sebuah tujuan dari pada penegakan hukum yaitu, keadilan kemanfaatan dan kepastian hukum maka orientasi dan pemahaman JPU dalam tuntutan ini masih berorientasi pada hukum yang klasik yaitu, hukum sebagai pembalasan. Padahal kita sudah menganut hukum pro­gresif dimana keadilan sudah tidak lagi menganut pembalasan dendam.

Dituntut 7,6 Tahun

Sebelumnya, Sekretaris Daerah Kabupaten Maluku Barat Daya , Alfonsius Siamiloy dituntut  Jaksa Penuntut Kejaksaan Negeri MBD dengan 7,6 tahun penjara.

JPU Asmin Hamjah menyatakan, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi anggaran perjalanan dinas dalam daerah dan luar daerah Tahun Anggaran 2017 dan 2018 pada Sekertariat Daerah Kabupaten MBD.

Terdakwa melanggar pasal 2 ayat (1) pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No 20 tahun 2001 Jo pasal 55 ayat (1) ke-1, Jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Tuntutan JPU tersebut dibacakan dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Ambon, Senin (10/4) dipimpin majelis hakim yang diketuai Hakim Wilson Shiriver.

Selain hukuman badan, JPU juga menuntut terdakwa membayar denda senilai Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan penjara.

Selain itu, terdakwa juga dibeban­kan membayar uang pengganti se­besar Rp1,565. 855.600,- setelah dikurangi dengan pengembalian yang dilakukan oleh para pelaku per­jalanan dinas saat proses penyidi­kan dan penuntutan terhadap per­ka­ra dimaksud sebesar Rp171.970. 800, dengan jumlah Rp1,394.855. 600,- sebagaimana tertuang dalam barang bukti perkara tersebut.

JPU menegaskan, apabila terdak­wa tidak membayar uang pengganti dalam tenggang waktu paling lama 1 bulan setelah putusan berke­kua­tan hukum tetap, maka harta ben­danya dapat disita oleh negara. Apa­bila terdakwa tidak memiliki harta ben­da yang cukup maka diganti de­ngan pidana penjara selama 3,9 tahun.

JPU menyatakan, terdakwa dalam perbuatan pidana baru pertama kali melakukan dan bersikap sopan se­lama persidangan perkara ini dilang­sungkan. Namun, sebaliknya terdak­wa tidak mengakui perbuatannya, dan tidak memiliki etikad baik untuk me­ngembalikan kerugian keuangan ne­gara selama proses perkara ini berjalan. Begitupun terdakwa tidak mendukung program permerintah dalam upaya memberantas korupsi. (S-26)