SEKOLAH, khususnya kelas, pada hakikatnya adalah laboratorium sosial atau masyarakat. Melalui pendidikan di ruang kelas, peserta didik akan berproses untuk menjadi manusia seutuhnya yang kelak akan terjun ke dalam masyarakat. Idealnya, mereka adalah anak-anak merdeka dengan esensi sebagai makhluk sosial yang hidup bermasyarakat. Ada sebuah adagium dalam bahasa latin yang berbunyi, non schole, sed vitae discimus. Artinya, kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk hidup. Namun, pada saat ini salah satu problem elementer pendidikan di ruang kelas kita ialah tidak banyak mengajarkan keterampilan hidup ataupun kepekaan dalam masyarakat. Kelas seolah justru menjadi menara gading yang terputus dari persoalan-persoalan riil di kehidupan sehari-hari anak.

Para siswa dibelenggu dengan berbagai macam hafalan teori yang sebenarnya jauh dari jangkauan mereka. Apalagi, guru cenderung masih banyak berperan sebagai subjek aktif, sedangkan murid menjadi objek pasif. Maka, tak mengherankan jika seorang filsuf sosial, Ivan Illich, mengkritik pendidikan di sekolah dengan istilah ‘dehumanisasi ruang’ lewat bukunya Deschooling Society. Lantas, apakah benar semua struktur kurikulum pendidikan kita sama sekali tidak berorientasi pada masalah praksis? Sejatinya tidak, terlebih kini telah ada visi Merdeka Belajar. Merdeka Belajar adalah konsep yang berusaha meningkatkan relevansi pembela­jaran dengan dunia nyata, bukan hanya dengan du­nia akademik. Tetapi permasalahannya kemudian, implementasi konsep tersebut sangat tergantung kemampuan guru sebagai garda terdepan pendidikan nasional yang berjalan di ruang kelas.

Kebermaknaan Oleh karena itu, guru harus dapat melakukan reformasi pembelajaran dalam ruang kelas. Mata pelajaran (mapel) pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn), misalnya, acap kali dicibir sebab dinilai mengajarkan materi yang tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik, seperti mengenai sistem hukum dan peradilan, hubungan internasional, hingga otonomi daerah. Wajar jika anak-anak bertanya, apa urgensi materi itu terhadap kehidupan mereka secara langsung? Demikian pula dengan mapel matematika, yang bahkan sering kali dijadikan lelucon karena ada anggapan bahwa rumus-rumus integral dan kalkulus tidak akan bermanfaat untuk hidup, kecuali mereka seorang matematikawan. Stigma atas materi-materi di atas berangkat dari ‘kemasan’ pembe­lajaran yang tidak memiliki kebermaknaan dan menggugah.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh guru untuk mengatasinya ialah dengan mengaitkan materi pembelajaran dengan realitas sehingga materi tidak kehilangan kontekstualitasnya. Dalam diskursus pendidikan dikenal teori konstruktivistik. Teori ini mendekatkan peserta didik dengan pengalaman di dunia nyata sehingga mereduksi kesenjangan antara materi pelajaran ideal dan aspek-aspek kehidupan konkret. Siswa tidak dipandang sebagai kertas putih yang hanya akan digores tinta. Peserta didik mengikuti pembelajaran dalam kelas dengan modal pengetahuan yang telah diperoleh dari pengalaman hidupnya masing-masing. Jadi, guru sebaiknya tidak menguasai ruang kelas dengan sekadar menjejalkan materi, tanpa merambah domain pengalaman anak-anak dalam kehidupan sosial masyarakat mereka. Lagi pula, jika guru tetap memaksa murid hanya untuk mengunyah materi, kita dapat coba melakukan eksperimen sederhana. Silakan bertanya kepada keluarga, saudara, atau teman yang telah lulus sekolah, “Berapa banyak materi pelajaran sekolah yang masih mereka ingat secara jelas sampai saat ini?” Pasti tidak banyak.

Berbasis nilai Sebaliknya, jika kita menanyakan, “Apa hal yang paling berkesan selama pelajaran di sekolah?” Tentu akan ada banyak jawaban yang muncul. Bahkan mungkin, setiap guru/mapel mempunyai kenangan membekas yang berbeda-beda. Seperti contoh, guru A selalu mencontohkan kedisiplinan, atau guru B sering menekankan kejujuran. Hal itu menjadi indikasi bahwa memori kita tentang nilai (value) bersifat lebih kekal. Artinya, alih-alih mengingat hafalan materi, para siswa cenderung akan lebih dominan mengingat nilai-nilai yang diajarkan dan dipraktikkan guru kepada mereka. Jadi, kita bisa menarik simpulan bahwa pembelajaran di kelas juga harus berbasis nilai. Semua mata pelajaran sebenarnya punya ‘nilai’ masing-masing. Hal tersebut yang tercantum dalam Kompetensi Dasar (KD) 1 dan KD 2. Sayang sekali, cuma ada dua mapel yang memuatnya secara eksplisit, yaitu PPKn untuk kompetensi sikap sosial dan pendidikan agama serta budi pekerti untuk sikap spiritual. Padahal, banyak nilai yang bisa dieksplorasi dalam mata pelajaran lain. Misalnya, nilai ketelitian untuk mapel matematika, nilai kesehatan untuk mapel pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan (PJOK), nilai kepekaan sosial untuk mapel sosiologi, nilai kreativitas untuk mapel kesenian, dan sebagainya. Intinya, pembelajaran menekankan nilai, bukan justru menanggalkan nilai.

Baca Juga: Revisi UU Pajak dan Gaduh PPN Sembako

Pekerjaan rumah guru sekarang ialah mengombinasikan pembelajaran bermakna yang aktual dan pembelajaran berbasis nilai. Mestinya hal itu tidak sulit untuk diaplikasikan, mengingat konsep Merdeka Belajar yang saat ini digaung-gaungkan Kemendikbud juga memberikan kebebasan yang seluas-luasnya pada cara mengajar guru dan belajar anak. Implikasi dari gagasan tersebut, guru dan peserta didik sesungguhnya tidak lagi terlalu terbebani dengan pencapaian skor tertentu, melainkan dapat fokus pada pembangunan cara dan kondisi belajar yang nyaman serta menyenangkan. Pada akhirnya, ruang kelas akan menjadi taman belajar relate dengan masyarakat, bukan menara gading.(Arie Hendrawan, Guru SMA Islam Al Azhar 14, Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Diponegoro)