TERDENGAR ganjil di kuping ketika gagasan keadilan restoratif (RJ) dikemukakan salah satu pemimpin KPK baru-baru ini. Keadilan restoratif itu sendiri sejatinya keadilan yang lahir dari kesamaan kehendak di antara dua pihak atau lebih yang bertikai tanpa paksaan pihak ketiga, kecuali hanya menjadi fasilitator mediator.

Tiga lembaga penegak hukum di Indonesia telah menerapkan RJ, kejaksaan, berdasarkan Perja RI Nomor 15 Tahun 2020; kepolisian, dengan Perkapolri Nomor 8 Tahun 2021; dan Mahkamah Agung, berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/ DJU/SK/PS.00/12/2020.

Dalam rapat kerja Jaksa Agung dan Komisi III DPR telah disampaikan bahwa kejaksaan menyelesaikan perkara pidana dengan RJ, sebanyak 2013 perkara. RJ di kejaksaan dan kepolisian terbatas pada kasus nontipikor karena telah terdapat praanggapan bahwa tipikor merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa (extraordinary crime), yaitu merampok hak ekonomi dan sosial rakyat untuk hidup lebih baik lagi keluar dari kemiskinan.

Dengan berkaca pada cara AS, Inggris, dan Prancis menyelesaikan perkara korupsi yang melibatkan korporasi pesawat Boeing melalui deferred prosecution agreement (DPA), yang terlibat kasus suap terhadap Dirut PT GIA, dapat disimpulkan bahwa tipikor di tiga negara itu diakui hanya sebagai serious crime. Tidak ada perlakuan khusus dan penjeraan terhadap korporasi asal negara tersebut, seperti di Indonesia.

Dalam konteks hubungan di antara negara, pola DPA yang diterapkan di AS, Inggris, dan Prancis akan ditiru negara Eropa lainnya. Dampak ikutan dari pola DPA itu akan sangat merugikan langkah pemberantasan korups i terhadap korporasi asing yang melakukan kegiatan mereka di Indonesia, termasuk melakukan tindak pidana korupsi.

Baca Juga: Memerdekakan Pembelajar(an)

Perbedaan perlakuan hukum

Dampak ketimpangan perlakuan hukum antara Indonesia dan ketiga negara tersebut dalam hal korporasi yang terlibat tindak pidana korupsi diperkirakan terdapat kerugian, baik kerugian materiel maupun imateriel, dalam hubungan bisnis di antara negara itu. Kerugian materiel ialah korporasi Indonesia yang terlibat tindak pidana korupsi di Indonesia bersama korporasi tiga negara itu akan memperoleh perbedaan perlakuan hukum cenderung diskriminatif jika dibandingkan dengan perlakuan hukum terhadap korporasi berbadan hukum asing di negara mereka.

Perbedaan perlakuan hukum dimaksud ialah korporasi Indonesia tetap dihukum, sedangkan korporasi asing tidak dihukum, tetapi cukup membayar kompensasi ke negara. Kerugian imateriel itu mengakibatkan Indonesia kehilangan daya tawar, posisi tawar (bargaining position), terhadap korporasi asing di ketiga negara itu di satu sisi dan di sisi lain, korporasi asing ketiga negara tersebut memperoleh perlakuan yang relatif menguntungkan jika dibandingkan dengan korporasi Indonesia, yaitu korporasi asing itu tidak dikenai tuntutan pidana di negara tersebut, tetapi hanya diwajibkan membayar denda penalti tiga kali lipat dari pidana denda korporasi yang melakukan tindak pidana korporasi di Indonesia.

Selain keuntungan itu, korporasi yang melakukan tindak pidana korporasi di ketiga negara itu memperoleh proteksi dari pemerintah negara mereka dalam bentuk imunitas penuntutan dari negara asal yang dirugikan korporasi asing karena telah terlibat tindak pidana korupsi. Dalam menghadapi masalah dampak korupsi yang bersifat lintas batas teritorial (korupsi transnasional), pemerintah perlu mengevaluasi dan mempertimbangkan kembali tujuan ‘pemiskinan koruptor’ dan zero tolerance against corruption dengan asas talionis yang dianut UU Tipikor dan UU TPPU selama ini. Itu, antara lain, dengan melepaskan pendekatan based criminal conviction dan criminal asset forfeiture; diganti dengan pendekatan non-based criminal conviction dan non- based criminal asset forfeiture.

Dengan merujuk pada Perja Nomor 15 Tahun 2020 dan Perkapolri Nomor 8 Tahun 2021, dapat dike­mukakan bahwa, pertama, RJ dalam penanganan perkara pidana telah lazim dilaksanakan, baik oleh kejaksaan maupun kepolisian, walaupun dengan persyaratan berbeda-beda. Kedua, penanganan perkara pidana dengan RJ masih dibatasi pada perkara pidana ringan serta tidak digunakan untuk perkara pidana yang bersifat serius atau termasuk delik khusus.

Keuntungan penanganan perkara pidana tipikor dengan RJ ialah, pertama, karena korporasi di era globalisasi merupakan partner pemerintah dalam memajukan perekonomian negara, dengan RJ, kegiatan korporasi tidak lagi harus berhenti dan pemasukan devisa dari pajak serta devisa ekspor tidak hilang sama sekali. Sebaliknya, efek jera cukup dengan pembayaran denda penalti yang maksimal bagi negara dan dikompesasi proteksi negara atas korporasi dari tuntutan perdata dan pidana dari pihak ketiga atau negara mana pun.

Ketiga, Indonesia tidak akan kalah dalam hal posisi bargaining dengan negara lain ketika korporasi Indonesia mengalami atau terlibat dalam tindak pidana transnasional, termasuk perkara suap atau korupsi. Saran konkret lanjutan dari gagasan RJ dalam pemberantasan korupsi ialah, pertama, ketentuan Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan perubahannya UU No 20 Tahun 2001 harus dicabut.

Konsekuensi penca­butan Pasal 4 UU tersebut ialah pengem­balian keru­gian keuangan negara atau perekonomian ne­gara, melepaskan ter­sang­ka/ terdakwa dari penuntutan, tetapi keru­gian keuangan negara atau perekonomian ne­gara harus dipulihkan secara maksimal kepada negara dengan beberapa syarat tertentu.

Kedua, memperluas ke­wenangan Jaksa Agung menerapkan asas oportunitas dalam pe­nuntutan tindak pidana korupsi. Ketiga, pemben­tukan lembaga pengelola aset hasil tindak pidana korupsi di dalam struktur kejaksaan. Oleh: Romli Atmasasmita Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (*)