Minimalisir Pengulangan Tindak Pidana Oleh Anak-Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan hidup suatu bangsa dan negara. Secara tegas dinyatakan dalam undang-undang bahwa negara menjamin hak setiap Anak atas keberlangsungan hidup tumbuh kembang serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Anak merupakan harapan sekaligus masa depan suatu bangsa di mana kualitas suatu bangsa akan ditentukan oleh generasi penerusnya. Namun kenyataannya, dewasa ini Anak menjadi subjek eksploitasi tindak pidana, entah sebagai korban ataupun pelaku. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus Anak yang berkonflik dengan hukum atau ABH, menjadi kasus yang paling sering dilaporkan ke KPAI.

Sejak 2011 hingga di penghujung tahun 2018, KPAI membukukan setidaknya ada 11.116 orang Anak yang terlibat kasus kriminal. Mereka yang terlibat hukum di antaranya terjerat kasus geng motor, pencurian, pencurian dengan kekerasan, hingga pembunuhan. Menurut Chusniyah (2014), Anak yang berusia 12 sampai dengan 18 tahun (Undang– Undang No. 11 Tahun 2012), merupakan rentang usia yang dalam perspektif psikologi tergolong pada masa remaja yang memiliki karakteristik

perkembangan yang mungkin membuat Anak sulit untuk melakukan penyesuaian diri sehingga memunculkan masalah perilaku. Anak/remaja nakal atau kriminal dianggap sebagai anak maladaptive yaitu Anak yang tidak dapat melakukan perilaku yang sesuai dengan nilai dan norma sosial. Beberapa faktor yang diyakini menjadi penyebab dari munculnya perilaku Anak yang tidak sesuai

dengan nilai dan norma sosial dibagi menjadi factor internal dan eksternal menurut Chusniyah (2014), yaitu faktor internal yang mempengaruhi perilaku kenakalan oleh Anak, merupakan aspek

Baca Juga: Manajemen Efektif Pembelajaran Daring

kepribadian yang berasal dari dalam diri Anak seperti konsep diri yang rendah, penyesuaian sosial serta kemampuan menyelesaikan masalah yang rendah, sikap yang berlebihan serta pengendalian diri yang rendah. Salah satu contoh akibat konsep diri yang rendah adalah munculnya kesadaran superior dan menganggap diri lebih unggul dari orang lain. Hal ini dapat memicu perilaku perundungan dalam lingkungan bersosial Anak. Selain itu, gagalnya Anak dalam penyesuaian sosial dengan nilai dan norma yang

berlaku di masyarakat dapat mengakibatkan munculnya perilaku kriminalitas seperti geng motor, narkotika, pencurian, dan tindak criminal lainnya.

Selain itu, faktor eksternal yang mempengaruhi Anak dalam melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai dan norma di masyarakat adalah keluarga dan kelompok sosial. Pola asuh keluarga yang buruk dapat menyebabkan potensi penyimpangan pada Anak cukup tinggi. Pengalaman individual tersebut kemungkinan akan

terbawa ketika Anak berada dalam lingkungan sekitar mempengaruhi tindakan dan cara pandangnya kepada orang lain. Kelompok sosial

Anak juga turut berperan aktif dalam membangun karakter dan perilaku menyimpang pada Anak. Tekanan dalam kelompok sosial seperti pertemanan dapat memberikan sanksi bagi Anak ketika ia tidak mampu menyesuaikan diri dalam kelompoknya. Contoh yang dapat dilihat adalah Anak yang dikucilkan karena tidak berani terlibat dalam tawuran pelajar. Karena tekanan kelompok seperti ini, maka untuk diterima dalam kelompoknya maka Anak harus menyesuaikan diri dan ikut dalam tawuran. Hal ini juga dapat

ditemukan dalam kasus lainya seperti kelompok pertemanan yang terlibat dalam tindak pidana narkotika dan geng motor.

Terjadi permasalahan ketika Anak yang berkonflik dengan hukum kembali ke masyarakat.

Persoalan yang muncul adalah masih sulitnya Anak untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat karena latar belakang Anak yang pernah terlibat tindak pidana. Kelompok sosial tempat Anak bergaul dan berinteraksi sehari-hari (mis: kelompok pertemanan) juga berpotensi mengakibatkan Anak sulit keluar dari lingkaran Selain itu, stigma masyarakat terhadap Anak sebagai pelaku tindak pidana sangat sulit dihilangkan. Penolakan-penolakan dari masyarakat menyebabkan Anak mencari kelompok sosial yang dapat menerimanya, tentunya lingkungan dengan toleransi perilaku kriminal yang tinggi. Hal inipun dapat menyebabkan Anak melakukan pengulangan maupun melakukan

tindak pidana yang baru. Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 menekankan terciptanya Keadilan Restoratif bagi Anak dengan tujuan semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.

Substansi yang paling mendasar dalam Undang- Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Peran aktif dari berbagai pihak sangat diperlukan dalam tercapainya tujuan di atas. Bimbingan sosial yang diterapkan kepada Anak yang berkonflik dengan hukum tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab petugas profesional seperti

Pembimbing Kemasyarakatan maupun Pekerja Sosial, namun perlu adanya fungsi pembimbingan dan pengawasan dengan keterlibatan unsur-unsur masyarakat. Peran tokoh agama dalam pendekatan kerohanian misalnya. Hadirnya tokoh agama yang dianggap masyarakat sebagai ‘sambungan mulut’ antara manusia dengan Tuhan. Tokoh agama

sangat dihormati oleh masyarakat sehingga perkataan dan tindakan tokoh agama dalam mengayomi masyarakat dianggap sebagai representatif kehadiran Tuhan sehingga potensi Anak di dalam masyarakat untuk patuh terhadap nilai dan norma sangat tinggi. Tokoh masyarakat juga berperan dalam pengendalian sosial. Tokoh masyarakat merupakan orang yang memiliki pengaruh besar, dihormati, dan disegani dalam suatu masyarakat karena aktivitasnya, kecakapannya dan sifat-sifat tertentu yang dimilikinya. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan potensi perilaku menyimpang yang dapat dilakukan oleh Anak. Selain itu, bimbingan pada tingkat paling dasar yaitu keluarga adalah hal yang sangat penting dalam membangun karakter dan kepercayaan diri Anak yang berkonflik dengan hukum. Pengawasan dan pembimbingan yang dilakukan oleh keluarga sebaiknya juga memperhatikan tumbuh kembang dan kepentingan terbaik untuk Anak. Namun Ketika Anak mengalami pengasuhan yang buruk, kasar, disia-siakan dan ada kekerasan di dalam keluarga saat Anak dalam masa perkembangan awal Anak-anak, maka Anak akan memiliki harga diri yang rendah, juga akan mengembangkan perilaku kekerasan tersebut pada saudaranya dan juga mengembangkan perilaku antisosial (Chusniyah, 2014). Pola asuh Anak di dalam keluarga yang didasari dengan cinta dan kasih sayang tentu akan mengarahkan Anak pada pola hidup sosial yang sehat dan mampu menyesuaikan diri dengan nilai dan norma yang diterapkan di dalam masyarakat. Dengan demikian, potensi Anak dalam keterlibatan tindak pidana diharapkan akan berpeluang semakin mengecil.( Dawan Pribadi, Pembimbing Kemasyarakatan)