“Pemimpin yang baik harus siap berkorban untuk memperjuangkan kebebasan rakyatnya.” – Nelson Mandela

Tanpa mengurangi rasa hormat, rasanya sungguh sulit menemui sosok pemimpin politik sekelas Nelson Mandela di negeri ini. Sepertiga hidup nega­rawan asal Afrika Selatan itu dijalaninya dari balik jeruji. Ia dipenjara karena sikapnya yang melawan ketidakadilan atas dominasi kaum kulit putih di negaranya.

Saat angin perubahan datang dan membawanya ke pucuk kekuasaan, ia tidak menjadi gelap mata untuk membalaskan dendam atau mengkrimina­lisasi kelompok yang berseteru dengannya. Sejarah pun mencatat, rekonsiliasi konflik yang digagasnya telah membawa Afsel mengalami perubahan menjadi lebih baik.

Sebaliknya, sebagian besar pemimpin politik di Indonesia terlahir bukan dari investasi sosial dengan melakukan aksi-aksi nyata membela kepentingan masyarakat.

Rasanya proses politik demokrasi yang digunakan di negeri ini masih harus bekerja keras untuk mencapai harapan ideal. Sejauh ini cara paling ampuh untuk meraih tampuk kepemimpinan politik adalah memiliki modal finansial berlimpah untuk menghadapi kontestasi pemilihan secara langsung. Sebagian lainnya lebih mengedepankan sisi popularitas yang sebenarnya didapat bukan dari kerja sosial maupun politik.

Baca Juga:

Implikasi dari proses demokrasi itu tercermin dari masih maraknya praktik korupsi di negeri ini. Data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis Transparency International Indonesia pada 2022, menunjukkan Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara. Dibandingkan dengan negara tetangga di Asia Tenggara, posisi Indonesia berada di peringkat ketujuh dari sebelas negara. Soal membenahi ko­rupsi, Indonesia ternyata masih kalah tertinggal dari Malaysia, Vietnam dan Timor Leste.

Fakta Indeks Persepsi Korupsi itu seakan menjadi selaras saat menyaksikan bagaimana sejumlah pemberitaan yang tengah gaduh belakangan ini. Perhatian kita dalam beberapa pekan lalu sempat tersedot saat Menkopolhukam Mahfud MD menyebutkan adanya transaksi janggal di tubuh Kementerian Keuangan.

Awalnya, Mahfud menyebut angka Rp 300 triliun, lalu belakangan terjadi revisi menjadi Rp 349 triliun. Atas dugaan yang disampaikan Mahfud itu, rasanya menjadi bukti bahwa perang melawan korupsi di negeri ini bukanlah hal yang mudah.

Usaha keras melawan korupsi ini juga semakin nyata karena belakangan ini muncul prasangka tak baik kepada Ketua KPK Firli Bahuri. Desakan agar Firli Bahuri mundur makin menguat disuarakan oleh kelompok civil society.

Sebuah bentuk ironi juga terjadi ketika seorang terpidana korupsi seperti eks Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum mendapatkan sambutan luar biasa ketika terbebas dari penjara. Suka atau tidak, fenomena Anas itu telah mengubah cara kita melihat korupsi dan pelakunya.

Lantas, menjadi sangat bertentangan dengan apa yang pernah dilakukan Mandela adalah ketika kritik masyarakat pada pemimpin justru berbuah laporan pidana dan intimidasi. Contoh nyata ini terjadi usai viralnya video TikTok Bima Yudho Saputro yang mengkritik infrastruktur di tanah kelahirannya di Lampung.

Respons pemimpin Lampung juga terkesan menjadi sangat antikritik. Sempat dikabarkan memaki orang tua Bima, adanya kunjungan aparat kepolisian ke kediaman orang tua Bima hingga munculnya laporan kepolisian kepada Bima.

Para pemimpin yang dikiritik itu mencari celah ke­salahan para pengkritiknya. Dalam kasus Bima, pili­han kata Dajjal dijadikan alasannya. Para pemimpin itu justru dibutakan terhadap substansi kritik yang disampaikan bahwa pembangunan infrastruktur di Lampung masih belum berjalan optimal.

Memang masih belum ada indikasi pemimpin semacam itu melakukan praktik korupsi. Namun warganet +62 sudah nyaring kicauan dengan mengaitkan sikap pemerintah Lampung itu dengan adanya dugaan korupsi terhadap pembangunan infrastruktur yang belum berjalan optimal tersebut.

Lalu menyikapi kondisi faktual semacam ini, apa yang harusnya dilakukan? Deretan fakta empiris ini tentunya menjadi catatan penting bagi masyarakat bahwa dalam memilih pemimpin ke depan harus lebih bijak dan selektif lagi.

Edukasi kesadaran melawan korupsi ini harusnya dimulai dari lingkungan terkecil, yakni dalam rumah. Inilah sistem sosial terkecil namun paling efektif untuk menumbuhkan nilai-nilai baik bagi kehidupan. Ketika kesadaran untuk tidak mencuri dan menafkahi keluarga bukan dari uang tidak halal maka di sinilah kekuatan fundamentalnya terbangun.

Memang pendekatan ini masih terbilang normatif, tak mempan dalam menghadapi kondisi seperti saat ini. Tapi percayalah perubahan besar itu selalu dimulai dari hal kecil.

Selanjutnya, para pemimpin politik yang sekarang berkuasa, saatnya untuk tidak bersumbu pendek dalam merespons kritik. Paling tidak, sisa waktu setahun jelang pesta demokrasi 2024, menjadi alarm untuk lebih bijak dalam bersikap dan berhati-hati semoga korupsi yang mereka lakukan itu tidak lekas terbongkar di saat krusial kelak.

Lalu buat yang ingin maju menjadi calon pemimpin dalam kontestasi politik negeri ini, mulailah instropeksi diri apakah cara tersebut akan cukup ideal untuk memperbaiki negeri ini?Oleh: Mohammad Akbar Peneliti komunikasi dari Nexus Risk Mitigations and Strategic Communications (*)