AMBON, Siwalimanews – Pemerintah Provinsi Maluku diharapkan dapat menelaah kecocokan data penduduk korban konflik sosial tahun 1999, agar nantinya bisa terverifikasi siapa saja yang berhak atas ganti rugi, akibat kejadian pilu di Maluku itu, dengan nilai total ganti rugi sebesar Rp3,9 triliun.

“Jadi tujuan saya datang ke kantor Gubernur ini untuk memberitahukan kepada pemprov, saya selaku ketua kuasa hukum kelompok 1 Maluku, yang klien saya pada saat bersidang di tahun 2009 yang mendata rakyat dan menyerahkan data itu ke tangan hakim. Nah saat ini kita meminta pemprov tolong lakukan telaah data tersebut,” ucap Pattirane kepada wartawan di Kantor Gubernur Maluku, Jumat (28/7) .

Pattirane mengaku, pada tahun 2009, kliennya Ferry Latumeten dan tim telah mendata siapa saja yang merupakan korban secara materil dalam kejadian konflik di Maluku. Kemudian dalam persidangan di PN Jakarta Pusat, kliennya menyerahkan secara langsung ke majelis hakim data-data tersebut.

Pasalnya, di tahun 2011, kelompok korban yang tergabung dalam YPKPM  mengajukan gugatan class action ke pemerintah lewat PN Jakarta Pusat, mewakili 213.217 KK korban konflik Maluku 1999. Setelah proses panjang, dan dimenangkan di Mahkama Agung, tim panel sudah bisa mengeksekusi data-data tersebut.

Namun itu semua harus dilakukan verifikasi data terlebih dahulu ke pemerintah provinsi. Data tersebut akan segera diberikan ke Biro Hukum pada, Senin (31/7) mendatang untuk ditelaah.

Baca Juga: Sejumlah Infrastruktur Rusak, Komisi III Bakal Panggil BPJN

“Nanti 1 atau 2 hari ke depan setelah surat resmi kami masuk, mereka dalam hal ini karo hukum bersama timnya akan melakukan telaah dan disitu kita akan lihat bahwa siapa yang berhak menerima dana ganti rugi korban kerusuhan terbesar Rp3,9 triliun,” tambahnya.

Pattirane juga menyayangkan sikap sejumlah pihak yang seenaknya mengambil data korban di Maluku, bahkan memungut biaya hingga ratusan ribu. Padahal, dalam gugatan sudah jelas ada tiga kelompok dimana, kelompok 1 yaitu Maluku, kelompok 2 Sulawesi Tenggara dan kelompok 3 Maluku Utara. Masing-masing kelompok tak boleh saling mendata wilayah lain. Bahkan memungut biaya.

“Bagi pihak-pihak yang datang mengaku sebagai kuasa kelompok 1 tolong segera hentikan pendataan sekaligus penagihan,” tegasnya.

Pattirane berharap, pemprov nantinya dapat telaah dan lakukan eksekusi terhadap korban konflik Maluku, dengan jumlah kliennya kurang lebih 56 ribu KK. (S-26)