Kita mungkin sering mendengar informasi tentang rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Ada begitu banyak riset yang menyatakan bahwa negara kita memang sangat miskin perihal minat baca. Sebut saja riset UNESCO tahun 2016 yang menyatakan bahwa minat baca masyarakat hanya 0,001% dari penduduk Indonesia. Kemudian, Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 menuliskan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-62 dari 70 negara dalam hal literasi membaca. Selanjutnya, Asesmen Nasional tahun 2021  menjelaskan bahwa setengah dari siswa Indonesia belum mencapai kompetensi minimum dalam hal berliterasi.

Seakan menjawab segala keresahan yang muncul akibat kurangnya minat baca, sebuah berita yang cukup menggembirakan hadir pada awal tahun ini. Data dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia menyebutkan bahwa tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia tahun 2022 sebesar 63,90 (tinggi) mengalami kenaikan 7,4% jika dibandingkan dengan tahun 2021 sebesar 59,52 (sedang) (Rizaty, Monavia Ayu, 2023.  “Tingkat Kegemaran Membaca Warga Indonesia Meningkat”. Diakses 30 Juni 2023. https://dataindonesia.id/ragam/detail/tingkat-kegemaran-membaca-warga-indonesia-meningkat-pada-2022). Dalam menanggapi informasi di atas, beberapa pertanyaan pun muncul dalam benak saya. Apa dampaknya jika minat baca kita bertambah? Apa yang terjadi setelah kita berhasil menaikkan peringkat dalam hal minat baca? Apakah misi kita sudah selesai? Sudah layakkah kita melakukan selebrasi atas pencapaian itu?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu menyatukan persepsi tentang apa itu literasi. Selama ini, literasi selalu diidentikkan dengan perkara buku, aksara, ataupun minat baca. Jika mempunyai persepsi yang sama tentang literasi tersebut, Anda tak perlu khawatir karena Anda tidak sendirian. Kesalahpahaman persoalan makna literasi ini tidak hanya terjadi pada masyarakat awam, tetapi juga pada mereka yang berkutat dipersoalan literasi. “Menurut UNESCO, literasi merupakan proses belajar seumur hidup. Literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis. Ia juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya.” (Primadesi, Yona. 2018. Dongeng Panjang Literasi Indonesia).

Jika literasi adalah perjalanan panjang yang menghabiskan waktu seumur hidup, membaca adalah langkah awal kita. Tanpa membaca, tak akan ada proses belajar. Jika ada peningkatan perihal minat baca masyarakat, tentu kita merasa senang, tetapi jangan berbesar hati dulu. Pencapaian saat ini masih sebuah langkah awal dari sebuah proses panjang.  Membaca hanyalah proses menyerap ilmu atau informasi. Tujuannya bukan cuma kecerdasan dalam hal akademik, tetapi juga kecerdasan yang dibutuhkan untuk menjalani hidup seperti pengetahuan sosial, ekonomi, ataupun politik. Hal-hal inilah alasan mengapa literasi disebut sebagai proses belajar seumur hidup. Tujuan akhir dari proses literasi adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat baik secara sosial, ekonomi, maupun politik.

Pada tahun 2016, ada sebuah riset yang bertajuk “World’s Most Literate Nations Ranked” dari Central Connecticut State University. Riset ini tak hanya membahas persoalan minat baca masyarakat atau kemampuan memahami teks siswa. Riset ini jauh lebih kompleks dari itu. Central Connecticut State University mengaitkan tingkat literasi baca masyarakat dengan persoalan politik, ekonomi, dan sosial sebuah negara seperti perkembangan ekonomi, kesetaraan gender, pemanfaatan sumber daya, dan diskriminasi etnis. Hasilnya, Indonesia menempati urutan ke-60 dari 61 negara yang diuji. Kita hanya sedikit lebih baik dari Bostwana, sebuah negara kecil di Afrika. Meskipun riset ini sudah berumur 7 tahun, tetapi masih cukup menggambarkan kondisi literasi masyarakat kita saat ini. Dari beberapa isu yang disebutkan di atas, sebagian besar masih merupakan PR yang belum bisa kita selesaikan. Isu-isu ini adalah hambatan-hambatan yang harus dihapuskan agar mencapai tujuan akhir dari proses literasi.

Baca Juga: Arah Double Swings of Pendulum Pasca Pandemi di Sektor Energi

Alasan yang paling umum dari kurang cakapnya masyarakat dalam menyelesaikan isu sosial adalah ketidakmampuan dalam mengidentifikasi isu sosial sebagai sebuah permasalahan. Mengidentifikasi isu sosial sebagai sebuah permasalahan membutuhkan kemampuan literasi yang cukup tinggi. Kemampuan literasi tersebut diharapkan dapat membuat solusi atas permasalahan-permasalahan yang dimaksud. Dengan melihat hasil riset di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat mungkin belum mempunyai kemampuan tersebut.

Hasil riset dari Central Connecticut State University ini adalah ajakan bagi kita untuk terus berusaha menaikkan tingkat literasi di negeri kita ini. Peningkatan itu bukan hanya sekadar peningkatan minat baca ataupun durasi membaca masyarakat, tetapi juga peningkatan kesadaran sosial, perkembangan ekonomi kreatif, dan juga pemanfaatan sumber daya yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat kita.Oleh AMuh. Ilyas, S.S.Staf Teknis Kantor Bahasa Provinsi Maluku