DEMI menyusun kekebalan kawanan (herd immunity) ter­hadap korona atau covid-19, kelompok rentan diprioritaskan dalam vaksinasi. Baik rentan karena usia maupun karena kondisi kesehatan mereka. Orang-orang dengan penyakit bawaan diberi rambu-rambu khusus. Intinya, sebagian besar boleh divaksin dengan syarat tertentu, termasuk vaksinasi terhadap pasien penyakit ginjal kronis (PGK).  Banyak pemberitaan, terutama di medsos, tentang berbagai kejadian yang dikaitkan dengan vaksinasi. Kebanyakan sulit ditelaah karena informasinya tidak lengkap dan cenderung bombastis.

Maka, sebagai upaya mengantisipasi KIPI (kejadian ikutan pasca-imunisasi), perlu dikaji soal dampak sampingan vaksinasi covid-19, khususnya terkait PGK. Kajian ini perlu dilakukan sembari menunggu penelitian komprehensif soal KIPI dari berbagai jenis vaksin covid-19 pada pasien PGK.

Diketahui secara umum, dari berbagai studi di banyak negara, saat ini tingkat efektivitas vaksin covid-19 sangat baik. Para ahli sekarang berusaha memahami bahwa orang yang menggunakan obat imunosupresi (penekan imun) untuk pengobatan penyakit ginjal lanjut dan penerima transplantasi ginjal. Sedang dicermati, apakah mereka menerima tingkat perlindungan yang sama dari vaksin covid-19 jika dibandingkan dengan orang yang tidak dalam pengobatan imunosupresif.

Demikian juga, apakah toleransi mereka terhadap vaksin tersebut sama dengan populasi umum? Hasil studi itu akan menimbulkan konsekuensi dalam KIPI pada vaksinasi covid-19. Artinya, KIPI-nya berpeluang mempunyai tingkat penyulit yang berbeda sebagai konsekuensi dari kelompok pasien PGK, dengan mesin biologis tubuhnya tidak seprima orang yang sehat. Baik karena terpapar racun secara kronis atau karena penyakit dasarnya seperti kencing manis, penyakit autoimun, misalnya.

Mengingat hal tersebut, maka para ahli yang berkompeten akan memandu mereka yang akan mengikuti program vaksinasi covid-19. Dengan begitu, penerima vaksinasi mendapatkan banyak keuntungan daripada kerugiannya, termasuk dalam hal meminimalkan KIPI.

Baca Juga: Demokrat dan Corona

Contoh konkretnya, setidaknya para ahli akan meyakinkan padanya untuk tidak ada keluhan atau gejala akut seperti mual, muntah. Juga dipastikan, tidak ada hipertensi yang tak terken­dali, gula darah tinggi pada mereka yang akan menjalani vaksi­nasi. Ini semua dalam rangka untuk meminimalkan KIPI. Ada pe­ne­litian terhadap vaksin Pfizer terhadap pasien ginjal yang mem­perhatikan soal KIPI (Polewska K., et.al., Safety and Tolerability of the BNT 162b2 mRNA Covid-19 Vaccine in Dialyzed Patients. COViNEPH Project, Medicina 2021, 57,732). Hasilnya, dise­but­kan terbukti aman dan hanya terdapat reaksi ringan yang me­netap dalam waktu singkat, tentu dalam populasi yang diamati.  Disebutkan pada penelitian tersebut, KIPI pun sama berupa nyeri di daerah suntikan dan demam ringan, meski tidak mendiskripsikan secara khusus dan masih memerlukan penelitian lanjutan demi penyempurnaan layanan kesehatan pada penyakit ginjal kronis.

Secara umum dokter ahli setuju bahwa manfaat vaksin untuk orang dengan PGK pada tahap apa pun, pasien dialisis dan penerima transplantasi ginjal, jauh lebih besar daripada risiko penyakit serius atau komplikasi dari covid-19. Hal inilah yang mendorong program vaksinasi pada kelompok PGK. Tentunya, mereka yang akan menerima vaksinasi covid-19 sudah tahu keuntungan dan kerugiannya setelah dijelaskan oleh dokter atau profesional kesehatan. Agar lebih yakin, maka bicarakan dengan dokter atau ahli kesehatan yang mengetahui rekam medik si pasien, termasuk beberapa hal tentang KIPI.

Beda gejala ikutan Perdefinisi dari KIPI adalah keluhan dan/atau gejala yang dialami penerima vaksin setelah mendapatkan vaksin tertentu dan diperkirakan berkaitan dengan akibat vaksin yang diberikan. Di sini tidak membedakan bahan apa pun yang ter­kandung dalam vaksin covid-19. Efek sampingnya bisa berupa seperti sumer sumer atau badan panas, atau kelelahan yang akan hilang dalam beberapa saat secara umum. Ada juga berupa flu yang mungkin bisa jadi akan memengaruhi kemam­puan aktivitas kehidupan. Namun, itu pun hilang dalam beberapa hari. Ada lagi tipe lainnya yang bisa berupa reaksi alergi.

Dari semua contoh gejala atau keluhan yang disebut itu, semua bisa muncul beberapa jam kemudian dari saat vaksin disuntikkan. Mungkin juga muncul lebih lama, meski sangat jarang. Singkat kata, tidak ada batasan jelas mengenai waktu terjadinya KIPI, tapi biasanya tidak lebih dari 48 jam pertama setelah vaksinasi. Sama dengan vaksinasi secara umum, kejadian ikutan pasca-imunisasi covid-19 ini umumnya tidak membahayakan. Bahkan dilaporkan berbagai efek samping baik sifat lokal maupun sistemik ditemukan lebih jarang pada pasien dialisis jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (Polack, F.P.; et al. N. Engl. J. Med. 2020). Lebih lanjut disebut­kan bahwa terdapat reaksi sistemik sebesar 59,1% pada dosis pertama dan 69,9% pada dosis kedua, yang jika diban­dingkan, ternyata reaksi-reaksi tersebut berada 4x dan 2x lebih sering daripada kelompok cuci darah (hemodialisis).

Penjelasannya, sebagian karena melemahnya mekanisme pertahanan kekebalan bawaan. Maka itu, tidak perlu dikhawatirkan sekalipun itu sering terjadi. Hal tersebut justru bagian tanda normal bahwa tubuh yang tervaksinasi sedang membangun perlindungan dari virus yang dimaksud. Namun, ada tipe KIPI parah, yaitu syok alergi berat yang dikenal sebagai anafilaksis. Kondisi ini perlu perawatan dengan suntikan obat Epinefrin atau harus pergi ke rumah sakit ketika KIPI-nya memerlukan tindakan lanjutan.

Namun, kejadian demikian sangat jarang, mengingat sebelum dilakukan penyuntikan, petugas terlebih dahulu menyeleksi, adakah riwayat suatu alergi sedang atau berat sebelumnya. Dan, di tempat penyedia layanan vaksinasi itu sudah dilengkapi obat dan peralatan untuk mengantisipasi kejadian yang tidak kita inginkan tersebut. Disebutkan sebelumnya bahwa adanya KIPI menggambarkan bahwa tubuh yang tervaksinasi sedang membangun perlindungan dari virus yang dimaksud. Namun, untuk yang tidak mengalami gejala ikutan (tidak memiliki efek samping sama sekali) tidak serta-merta vaksin yang dimasukkan tidak berguna.

Mengacu pada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada banyak orang yang tidak memiliki efek samping setelah menerima vaksin covid-19. Pada yang tidak ada reaksi, itu bukan berarti vaksin tidak bekerja. Dalam kaitan ini, setiap orang yang divaksinasi sesungguhnya berbeda dalam hal merespons terhadap vaksinasi dan masih tetap mempunyai kemanfaatan dari vaksinasi kepadanya. Hal ini ada kesesuaian dengan laporan dari Pfizer-BioNTech dan Moderna, yakni efektivitas 95% dan pada setengah dari orang-orang dalam uji klinis yang melaporkan adanya efek samping setelah vaksinasi. Dan, sisanya tidak ada KIPI-nya. Di beberapa tempat di belahan dunia, kejadian KIPI mencapai 70%-90% pada penerima vaksinasi Pfizer (CDC). Berdasarkan sifatnya, efek samping vaksinasi covid-19 bisa meliputi efek samping lokal dan efek samping sistemik (seluruh tubuh).

Pada efek samping lokal, bentuknya seperti rasa sakit dan ada pembengkakan di lengan tempat suntikan vaksin dilakukan. Adapun efek samping sistemik bisa berupa demam, panas dingin, kelelahan, sakit kepala. Bisa juga berupa alergi, ada yang ringan-sedang hingga yang parah. Namun, demi keselamatan, hendaknya dipertimbangkan secara ketat untuk mereka yang mengalami reaksi alergi yang tidak parah dalam waktu 4 jam setelah divaksinasi. Ini dikenal sebagai reaksi alergi langsung. Bila mereka mengalami seperti gatal-gatal, bengkak, dan mengi (gangguan pernapasan) sebaiknya tidak dilanjutkan pada dosis kedua karena berisiko mengalami reaksi alergi yang parah.

Sebagai tindak lanjut, dokter yang bertugas akan merujuk ke konsultan spesialis alergi dan imunologi untuk memberikan lebih banyak perawatan atau saran. Mengingat semua itu, maka pihak penyedia vaksinasi covid-19 hendaknya sudah mengantisipasi kemungkinan penerima vaksin mengalami reaksi alergi parah. Yakni, melalui ketrampilan spesifik dan persiapan alat dan obat dalam menghadapi potensi kejadian yang tidak diinginkan.

Meminimalkan KIPI Prinsip umum untuk meminimalkan KIPI dan derajatnya, maka semua orang yang mendapatkan vaksin covid-19 harus dipantau di tempat selama setidaknya 15 menit se­telah mendapatkan suntikan vaksin. Pada seseorang yang per­nah mengalami reaksi alergi parah atau yang pernah mengalami reaksi alergi langsung terhadap suatu vaksin atau terapi suntik, ia harus dipantau setidaknya 30 menit setelah mendapatkan vaksin. Di semua tempat vaksinasi, harus tersedia obat dan per­alatan yang sesuai seperti obat epinefrin, antihistamin, steroid, cairan infus RL dan infus setnya, stetoskop, manset tekanan darah, dan alat pengatur waktu untuk memeriksa denyut nadi. Jika sese­orang mengalami reaksi alergi yang parah setelah mendapatkan vaksin covid-19, penyedia vaksinasi harus memberikan pera­watan cepat dan memanggil layanan medis darurat. Mereka harus terus dipantau di fasilitas medis setidaknya selama beberapa jam. Untuk mengurangi rasa sakit dan ketidaknyamanan di tempat suntikan, hal ini bisa disiasati dengan menyeka menggunakan handuk bersih, dingin, dan basah di atas area tersebut.

Sebaiknya juga dilakukan gerakan atau latihan lengan secukupnya. Namun, perlu perhatian lebih dan segera hubungi dokter atau penyedia layanan kesehatan jika terjadi dua hal. Pertama, gejala memburuk atau menjadi radang yang berupa kemerahan dan nyeri tekan yang signifikan di lengan tempat suntikan vaksinasi. Kedua, mengalami efek samping yang mengkhawatirkan dan tidak akan hilang setelah beberapa saat atau beberapa hari. Intinya, perlu ada kesadaran mengantisipasi KIPI secara cermat dalam vaksinasi covid-19 pada penderita PGK. Akan tetapi, hilangkan keraguan terhadap efektivitas vaksin covid-19 agar kita bisa melampaui pandemi ini dengan herd immunity  yang terencana. Dan, tetap jaga protokol kesehatan dengan disipilin dan baik, termasuk jaga kebugaran tubuhnya. Itu semua sebagai ikhtiar dan tawakal bahwa pandemi pasti akan berlalu. (Djoko Santoso Guru Besar Ahli Ginjal FK Unair, Ketua Badan Kesehatan MUI Jatim, Penyintas Covid-19 )