AMBON, Siwalimanews – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku menolak, seluruh eksepsi dari para terdakwa kasus pembobolan dana nasabah yakni, Faradiba Yusuf, Krestiantus Rumahlewang alias Kres, Marce Muskita alias Ace, Soraya Pelu, Joseph Resley Maitimu dan Andi Yahrizal Yahya alias Callu.

Penolakan eksepsi tersebut disampaikan JPU Ahmad Atamimi dalam sidang lanjutan kasus pembobolan dana nasabah yang digelar secara online di Pengadilan Negeri Ambon, Jumat (17/4) dan dipimpin majelis hakim yang diketuai Pasti Tarigan didampingi dua hakim anggota, Berhard Panjaitan dan Jefry S Sinaga  dengan agenda tanggapan JPU terhadap eksepsi kuasa hukum para terdakwa.

JPU menganggap seluruh eksepsi dari penasehat hukum para terdakwa, telah masuk dalam ranah pokok perkara, sehingga akan lebih tepat dibuktikan dalam persidangan.

“Kami berpendapat bahwa seluruh isi eksepsi dari penasehat hukum para terdakwa telah masuk dalam ranah, sehingga menurut penuntut umum akan lebih tepat untuk dibuktikan di dalam pemeriksaan pokok perkara,” jelas Kasi Penkum Kejati Maluku, Samy Sapulette ketika dikonfirmasi Siwalima, Jumat (17/4).

Kata Sapulette, surat dakwaan penuntut umum telah memenuhi syarat baik formil maupun materiil, sehingga JPU meminta hakim untuk melanjutkan pemeriksaan pokok perkara tersebut.

Baca Juga: 3 Terdakwa Korupsi Terminal Transit Passo Dihukum Ringan

“Dakwaan penuntut umum yang telah dibacakan dalam persidangan 7 April 2020 lalu, telah memenuhi syarat baik formil maupun materiil sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sehingga penuntut umum meminta, majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk melanjutkan persidangan dengan pemeriksaan pokok perkara,” katanya.

Perintah Transfer Uang

Seperti diberitakan sebelumnya, sidang kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang, kembali digelar, Selasa (14/4).

Dalam sidang dengan agenda eksepsi tim penasihat hukum para terdakwa terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Ahmad Attamimi itu, terungkap, kalau Faradiba Yusuf yang memerintahkan sejumlah kepala cabang pembantu untuk mentransfer uang ke rekening tertentu.

Penasehat Hukum terdakwa Krestiantus Rumahlewang alias Kres, mantan KCP Tual, Firel Sahetapy mengatakan, dalam dakwaan dijelaskan bahwa Faradiba yang saat itu menjabat wakil pimpinan BNI Ambon memerintahkan tiga KCP yaitu Tual, Dobo, dan Masohi untuk mentransfer sejumlah uang ke rekening tertentu. Namun jaksa tidak menjelaskan, uang itu ditransfer ke rekening siapa saja.

“Kami menilai dakwaan jaksa bertentangan dengan BAP. Selain itu, ada beberapa hal yang tidak dijelaskan dengan jelas,” ujar Sahetapy.

Dalam dakwaan tercatat ada lima rekening digunakan untuk menerima transferan dari tiga KCP. Transferan tersebut dinilai merugikan bank, karena tidak sesuai prosedur.

“Tetapi tidak dijelaskan, sumber dana dan disetor ke rekening siapa sebagai penerima. Karena tidak mungkin ada transaksi penyetoran, namun tidak ada rekening penerima,” tandas Sahetapy.

Selain itu, ia mengatakan Faradiba menyuruh melakukan penarikan tunai dari rekening Johny de Queljuw, yang adalah nasabah BNI. Tetapi tidak disebut sebagai kerugian dari  BNI.

Dari peristiwa itu, lanjut Sahetapy, harusnya diklasifikasikan sebagai tindakan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan dengan memerintahkan teller untuk menjalankan transaksi RTGS. “Perbuatan yang didakwakan JPU berada diluar jangkauan tipikor, harusnya tindak pidana umum,” kata Sahetapy.

Hal yang sama juga disampaikan penasehat hukum Marce Muskita alias Ace, eks KCP Masohi, Yeheskel Haurissa. Ia mengatakan, terdakwa Muskitta mentransfer sejumlah uang atas perintah terdakwa Faradiba.

“Sistem perbankan itu ada kode khusus cuma bisa transfer dibawah 1 miliar.  Jadi kalau mau transfer lebih dari itu harus dari orang yang punya wewenang,” ujar Haurissa.

Ia menilai, dakwaan JPU tidak menjelaskan secara jelas terdakwa melakukan transfer ke Soraya Pelu menggunakan dana masyarakat pihak ketiga atau uang negara. “Kalau misalnya dana nasabah maka tidak harus tipikor,” ujar Haurissa.

Selain itu, dakwaan jaksa juga tidak menjelaskan sumber dana dari mana. Padahal, transfer itu dari dana nasabah.

“Jadinya kabur, transferannya itu juga dilakukan atas perintah Faradiba Uang yang mana yang dikorupsikan? Dakwaan itu menjadi kabur,” tandas Haurissa.

Menanggapi hal itu, penasehat hukum Faradiba, Jonathan Kainama mengatakan, Farahiba bukan atasan dari KCP, sehingga dia tidak bisa memerintah para KCP. “Faradiba tidak punya kekuasaan untuk memerintah,” ujarnya.

Ia menjelaskan, pada awalnya tidak terlihat niat terdakwa Faradiba menggunakan dana nasabah tersebut untuk pribadi. Tetapi ia berupaya mendapatkan nasabah potensial, dengan tujuan utama memberikan keuntungan  kepada BNI.

Ia juga mengatakan, bonus 20 persen per bulan dalam bentuk cashback, tidak sesuai dalam BAP tanggal 13 Desember. “Nilai suku bunga yang ditawarkan hanya 9,5 persen dari nilai suku bonus 6 persen. Hal yang sama dikatakan nasabah dalam BAP,” tuturnya.

Selain itu, dana nasabah yang disebutkan hanya pada tahun 2012-2015. Dalam dakwaan tidak disebutkan pada 2016. Padahal mengacu pada BAP Faradiba, pada 2016 terdapat juga nasabah yang mengikuti cashback.

Dalam dakwaan juga, kata Kainama, tidak menguraikan nilai barang bukti apakah sama dengan uang Rp 46 miliar yang disebut dikorupsi oleh Faradiba. Ia menilai, jaksa penuntut umum sengaja mengaburkan peristiwa dalam surat dakwaan.

Sidang dilakukan secara  online melalui sarana video conference. Majelis hakim dan enam penasehat hukum para terdakwa bersidang di ruang sidang Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon. Penuntut umum bersidang di aula Kantor Kejaksaan Negeri Ambon.

Sedangkan, terdakwa Faradiba Yusuf dan  terdakwa Soraya Pelu alias Aya berada di Lapas Perempuan. Terdakwa lainnya, Marce Muskita alias Ace selaku pemimpin BNI Cabang Pembantu Masohi, terdakwa Krestiantus Rumahlewang alias Kres selaku pengganti sementara pemimpin Kantor Cabang Pembantu Tual, terdakwa Joseph Resley Maitimu alias Ocep selaku pemimpin Kantor Cabang Pembantu Kepulauan Aru, terdakwa Andi Yahrizal Yahya alias Callu selaku Pemimpin BNI Kantor Kas Mardika berada di Rutan Kelas IIA Ambon.

Dakwaan

Faradiba Yusuf dan lima terdakwa kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Ambon, Selasa (7/4).

Dalam dakwaannya Jaksa Penuntut Umum Ahmad Attamimi membeberkan peran Faradiba Yusuf. Pembobolan dana nasabah yang dilakukan Faradiba ternyata sudah berlangsung sejak tahun 2012. Namun baru pada 9 September hingga 4 Oktober 2019 kejahatan yang dia lakukan terendus.

JPU menyebut, Faradiba menerapkan modus mencari nasabah berduit. Faradiba secara aktif telah menawarkan ke beberapa orang nasabah yang dianggap sebagai nasabah BNI prioritas. Ia menawarkan investasi dalam bentuk program cashback, yaitu penempatan dana pada produk tabungan dan deposito di BNI dengan menjanjikan pemberian imbal hasil dan bonus hingga mencapai 20% per bulan dari nominal penempatan dana.

Faradiba juga menawarkan investasi pada perdagangan hasil bumi (cengkeh) dengan persentase keuntungan tertentu yang ia janjikan. Program tersebut seolah-olah adalah produk resmi dari PT. BNI. Padahal BNI tidak pernah mengeluarkan program tersebut. Melainkan hanya program yang dibuat-buat untuk kepentingan pribadi Faradiba.

Namun karena Faradiba saat itu adalah salah satu pejabat di PT BNI, beberapa orang tertarik dan percaya dengannya. Terhitung sepanjang 2012 hingga 2015, sebanyak 37 orang menjadi nasabah Faradiba.

Pada 2012, Faradiba juga menjaring lima orang untuk melakukan investasi. Pada tahun tersebut, ia menggelapkan uang nasabah sebesar Rp. 7,310 miliar.

Kemudian pada 2013 hingga 2015, setidaknya 32 orang menginvestasikan uang kepada Faradiba berturut-turut sebesar Rp. 50,750 miliar, Rp 28,560 miliar, dan Rp. 28,650 miliar.

Selain itu, Faradiba juga melibatkan tiga kepala cabang BNI. Ia melakukan setoran uang tanpa disertai dengan fisik (fiktif) pada PT. BNI KCP Tual,  PT BNI KCP Masohi, dan PT. BNI KCP Aru.

Dalam rentang waktu 27 September 2019 hingga 1 Oktober 2019, BNI KCP Tual menyetor uang senilai Rp. 19,8 miliar. Uang itu ditransfer ke rekening terdakwa Soraya Pelu dan Jonny De Quelju sebanyak empat kali, dengan keterangan transaksi RTGS ke BCA.

Kemudian pada 9 September 2019 hingga 4 Oktober 2019, dari BNI KCP Masohi mentransfer uang senilai Rp. 9,5 miliar  ke rekening terdakwa Soraya Pelu sebanyak empat kali, dengan keterangan transaksi pembayaran hasil bumi.

Transaksi juga terjadi di BNI KCP Aru sebanyak 19 kali pada pada 23 September 2019 hingga 4 Oktober 2019 sebesar Rp. 29,65 miliar.

Uang itu dikirim dari M. Alief Fiqry sebanyak 5 kali, Abd Karim Gazali sebanyak 5 kali, Jonny De Quelju 3 kali, Soraya Pelu 3 kali, dan Aryani sebanyak 3 kali. Keterangan transaksi tersebut untuk pembayaran kapal, pembelian hasil laut, pembayaran ruko, pembayaran tanah, dan pembelian barang toko.

Hal tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 58,950 miliar, sebagaimana tertuang dalam audit BPK tanggal 11 Februari 2020. Diketahui, Faradiba menggunakan uang senilai Rp. 45, 326 miliar untuk memperkaya dirinya sendiri. (Mg-7)