Maluku merupakan salah satu provinsi  kepulauan, yang memiliki 1.340 pulau, terdiri dari empat pulau besar (Seram, Wetar, Buru dan Yamdena) dan ribuan pulau kecil dengan garis pantai 10.630,1 km.

Provinsi ini dikaruniai sumberdaya alam yang sangat besar, meliputi sumberdaya hutan, perikanan, pariwisata serta potensi pertambangan mineral dan energi.

Potensi sektor perikanan Provinsi Maluku kurang lebih sepertiga potensi nasional yaitu sebesar 4.669.390 ton/tahun (37,2%). Ini tidak terlepas dari letak Maluku yang berada di antara 3 Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPRI) yaitu WPPRI-714 (Perairan Teluk Tolo dan Laut Banda) dengan potensi sebesar 788.939 ton/tahun, WPPRI-715 (Per­airan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau) dengan potensi 1.242.526 ton/tahun dan WPPRI-718 (Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timor Bagian Timur) dengan potensi 2.637.565 ton/tahun (Permen KP No. 50 tahun 2017). Produksi perikanan tangkap hingga tahun 2017 mencapai 578.763 ton atau 15,47% dari total jumlah tangkap yang diperbolehkan (JTB) sebesar 3.737.225 ton/tahun (DKP Prov. Maluku, 2018).

Kontribusi sub sektor perikanan terhadap sektor pertanian sendiri rata-rata sebesar 12,96% dalam 5 tahun terakhir. Pertanian merupakan sektor unggulan Provinsi Maluku karena memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian daerah, rata-rata dalam 5 tahun terakhir (2014-2018) sebesar 24,01% berda­sarkan harga berlaku (BPS Maluku, 2019).

Potensi sumberdaya alam yang berlimpah di Provinsi Maluku, sangat berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya.

Maluku merupakan provinsi termiskin ke empat setelah Papua, Papua Barat dan Nusa Tengara Timur dengan jumlah penduduk miskin sebesar 318.180 ribu jiwa atau 17,44% dan dari angka tersebut 26,21% penduduk miskin berada di pedesaan.

Mengacu dari kondisi wilayah Provinsi Maluku sebagai provinsi kepulauan, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar wilayah pedesaan berada di wilayah pesisir. Nikijuluw (2001) menyatakan bahwa kemiskinan yang merupakan indikator ketertinggalan masyarakat pesisir disebabkan oleh tiga hal utama, yaitu (1) kemiskinan struktural, (2) kemiskinan super-struktural dan (3) kemiskinan kultural.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau variabel eksternal di luar individu. Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena varia­bel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, inheren dan menjadi gaya hidup tertentu Ketiga penyebab kemiskinan tersebut bukanlah hal yang mudah untuk diatasi, terlebih karena kondisi wilayah Maluku terdiri dari pulau-pulau kecil. Keter­paduan antara pemerintah pusat, daerah, tokoh agama dan tokoh adat sangat penting.

Sejumlah upaya percepatan pembangunan maupun pertumbuhan ekonomi telah dilakukan Pemerintah antara lain Penetapan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Seram melalui Keppres No. 165 Tahun 1998 Tanggal 22 September 1998.

Melalui Keppres ini, Pemerintah berupaya memacu dan meningkatkan kegiatan pembangunan, serta memberikan peluang kepada dunia usaha untuk berperan lebih luas di Kawasan Timur Indonesia khususnya Provinsi Daerah Tingkat I Maluku yang berpusat di Masohi. KAPET Seram meliputi seluruh Pulau Seram, Pulau Buano, Pulau Manipa dan Pulau Kelang (Mensesneg, 1998).

Dipilihnya Pulau Seram sebagai wilayah KAPET di Provinsi Maluku karena dianggap memiliki potensi untuk cepat tumbuh, memiliki sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya, serta memiliki potensi pengembalian investasi yang besar. Akan tetapi, pada akhirnya KAPET ini ternyata tidak menarik bagi para pengusaha atau investor disebabkan keterbatasan infrastruktur yang tersedia di daerah tersebut.

Program lain yang dilakukan Pemerintah Provinsi Maluku dalam mempercepat pembangunan daerah, memaksimalkan eksploitasi sumberdaya alam berbasis kebelanjutan, penguatan kapasitas sumberdaya manusia berbasis regional serta mendekatkan pela­yanan terhadap masyarakat, telah tertuang dalam Per­aturan Daerah (Perda) No. 16 Tahun 2013, tentang Ren­cana Tata Ruang Wilayah Maluku ke dalam 12 Gugus Pulau. Program ini bertujuan untuk memenuhi pela­yanan publik secara berkualitas yang konsisten dan kontinyu dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang lebih merata dan berkeadilan di 12 Gugus Pulau (Bappeda Prov. Maluku, 2013).

Program lain yang saat ini sedang hangat dibicarakan adalah penetapan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN). Dalam mendukung program Maluku sebagai LIN, Pemerintah akan mengucurkan dana sebesar Rp 1,5 Triliun untuk membangun pelabuhan perikanan secara teintegrasi dengan berbagai fasilitas atau infrastruktur pendukungya. Pembangunan pela­buhan perikanan direncanakan dibangun di Negeri Waai, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Te­ngah, yang terletak di Timur Laut Pulau Ambon. Kondisi ini tidak terlepas dari ketersediaan infrastruktur yang tersedia di Pulau Ambon, lebih khusus Kota Ambon.

Hasil penelitian Suryawati dan Tajerin (2015), tentang penilaian kesiapan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional berdasarkan analisis RAP-MLIN (Rapid Appraisal for Maluku as “Lumbung Ikan Nasional”) yang dimodifikasikan dari RAPFISH (Rapid Appraisal for Fisheries) dengan menggunakan 6 dimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, infra­struk­tur dan kelembagaan pada 6 daerah yaitu Kota Ambon, Kota Tual, Kabupaten Maluku Tenggara, Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Aru dan Kabupaten Buru, menunjukkan bahwa dari sisi infrastruktur Kota Ambon memiliki indeks tertinggi dengan nilai 72,20 dibandingkan dengan daerah lain yang nilainya di bawah 60.

Berdasarkan nilai keseluruhan enam dimensi yang digunakan, Kota Tual memiliki nilai tertinggi 79,04; Kota Ambon dengan nilai 78,88; Kabupaten Aru dengan nilai 72,05 dan terendah berada di Kabupaten Buru dengan nilai 57,19. Angka-angka tersebut menunjukkan ke­siapan Maluku sebagai LIN berada pada status Cukup Siap dan Siap. Hasil ini juga mengindikasikan bahwa wilayah atau daerah lain di Maluku memiliki peluang untuk dikembangkan.

Pengembangan infrastruktur dalam mempersiapkan Maluku sebagai LIN, khususnya pembangunan Pe­labuhan Perikanan yang direncanakan di Negeri Waai, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, yang secara geografis terletak di Pulau Ambon, se­baiknya dipindahkan di luar Pulau Ambon, karena di Kota Ambon sendiri telah terdapat Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) dan hampir di setiap jazirah Pulau Ambon juga terdapat fasilitas cold storage. Alangkah baiknya fungsi PPN tersebut dan seluruh fasilitas pendukung untuk menjaga kualitas produk perikanan dioptimalkan. Ambon yang adalah ibukota Provinsi Maluku sendiri menjadi pusat dari segala aktivitas, baik pusat pemerintahan, pusat ekonomi dan pusat pendi­dikan, sehingga terjadi kosentrasi penduduk dengan kepadatan sebesar 1.033,94 jiwa/Km2 (BPS, Kota Ambon, 2019).

Perda No. 16 Tahun 2013 akan sangat berarti, apabila proses pembangunan tidak hanya terfokus pada Gugus Pulau VII dengan pusatnya di Kota Ambon, namun juga menyebar di beberapa gugus pulau lain yang memiliki potensi dan lahan yang sangat luas dengan kepadatan penduduk yang masih rendah. Penyebaran pembangunan ini akan mendorong pemerataan pembangunan, serta menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru yang pada akhirnya akan mengurangi angka kemiskinan.

Dionisius Bawole dan Yolanda MTN Apituley,Staf Pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura, Ambon.