Maluku Satu Darah adalah sebuah ungkapan yang mengandung makna mendalam. Ungkapan ini memiliki kekuatan besar untuk menyatukan seluruh anak Maluku di berbagai pelosok tanah air bahkan di berbagai belahan bumi.

Ungkapan Maluku Satu Darah dapat dimaknai dengan  berbagai pendekatan. Salah satu kajian sastra yang dapat menggambarkan makna dibalik ungkapan ini adalah dengan pendekatan tuturan lisan. Tuturan lisan yang dimaksudkan di sini adalah kisah-kisah masa lampau yang dituturkan secara lisan dari generasi ke generasi yang terbingkai dalam sebuah cerita rakyat.

Sejumlah fakta sejarah tertuang dalam kisah masa lampau yang dituturkan oleh masyarakat memberikan gambaran bahwa Maluku Satu Darah. Masyarakat Maluku berasal dari satu suku bangsa kemudian menyebar ke berbagai wilayah yang ada. Sebagian besar kisah sejarah terbentuknya negeri-negeri yang ada di Maluku terutama di Pulau Ambon, Pulau Lease, Pulau Buru, dan Pulau Seram memiliki satu sumber yang sama.

Kisah Nunusaku sebagai sejarah awal kehidupan masyarakat Maluku merupakan salah satu titik pemaknaan Maluku Satu Darah. Umumnya sejarah masa lampau masyarakat Maluku menyebutkan bahwa diri mereka berasal dari Pulau Seram. Nunusaku sebagai pusat kehidupan masyarakat pada zaman dulu merupakan nama salah satu wilayah di Pulau Seram yang tidak pernah asing di masyarakat Maluku. Oleh sebagian orang, Nunusaku dianggap sebagai daerah asal masyarakat yang ada di Maluku.

Konsep hidup orang basudara merupakan salah satu falsafah masyarakat Maluku yang sejak lama ini tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Nilai ini terpelihara dalam berbagai praktek hidup mulai dari duduk bersama untuk membicarakan berbagai hal untuk kepentingan bersama hingga bentuk-bentuk kerja sama untuk kepentingan umum maupun perorangan (masohi). Nilai hidup orang basudara merupakan suatu kearifan lokal (local wisdom) yang kemudian menjadi identitas sosial yang melekat dalam kehidupan masyarakat Maluku.

Baca Juga: Perilaku Elit Daerah dan Lemahnya Penegakan Hukum

Konsep hidup orang basudara dalam konteks budaya orang Maluku sesungguhnya tidak terikat semata pada hubungan-hubungan pertalian darah (genetika) melainkan hubungan sosial yang menembusi batas-batas ruang dan waktu, misalnya hidup bertetangga, bermasyarakat hingga hubungan-hubungan antar negeri dalam suatu ikatan persaudaran yang dikenal dengan istilah pela. Dalam hubungan ini, rasa saling menyayangi serta memiliki satu terhadap yang lain menjadi sesuatu yang sangat mendasar serta ketulusan. Praktek-praktek inilah yang kemudian mengikat masyarakat maupun individu untuk hidup berbagi dan solider terhadap yang lain.

Aksi damai yang dilakukan pemuda dan pemudi dari Booi, Kariu, Aboru dan Hualoi di Kantor Gubernur Maluku, Polda dan DPRD, yang menolak masyarakat Kariu untuk direlokasi di Negeri Aboru merupakan aksi nyata sebagai bagian dari konsep hidup orang basudara.

Konsep hidup orang basudara, potong di kuku rasa di daging, Ale rasa beta rasa, Sagu salempeng dipatah dua,  Ain ne ain, Kalwedo, Kidabela, Sitakaka walike dan sebagainya adalah konten lokal yang dikemas dalam tradisi harmonisasi orang basudara di Maluku. Pela dan gandong telah menjadi pranata sosial yang berkembang sebagai suatu perekat hubungan sosial diantara satu negeri dan negeri yang lain baik yang beragama Islam maupun negeri yang beragama Kristen. Oleh karena itu, pela dan gandong sangat berfungsi dalam mengatur sistem interaksi sosial masyarakat adat yang melampaui berbagai bidang.

Ungkapan Maluku Satu Darah  kiranya tidak hanya sebatas tulisan yang dibanggakan pada kaos yang dikenakan, tidak hanya sebatas tulisan pada tempat menongkrong, atau tidak hanya sebatas stiker yang ditempelkan pada kendaraan. Ungkapan ini kiranya memberikan makna yang mendalam bagi seluruh masyarakat Maluku bahwa kita berasal dari satu suku. Pernah menetap di satu pertuanan yang sama dan pernah membangun kehidupan bersama tanpa ada perbedaan. (*)