PROVINSI Maluku yang memiliki sumber daya alam berupa migas dan hasil laut yang melimpah tidak dapat keluar dari peringkat keempat termiskin di Indonesia, apabila hanya mengandalkan anggaran dari pemerintah pusat.

Alokasi anggaran yang berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk, dirasakan sangat tidak adil bagi Maluku, yang memiliki luas laut lebih besar dibandingkan daratan. Potret kemiskinan dan rendahnya kualitas pendidikan di Maluku, hanya bisa diatasi lewat dorongan pemanfaatan Blok Gas Abadi Masela dan Blok Migas lainnya, yang sudah pasti dapat menjadi sumber pemasukan bagi negara dan juga bagi Maluku. Untuk itu, Maluku harus memastikan dapat memperoleh manfaat yang setimpal dari Blok Masela.

Maluku juga harus mempersiapkan diri karena akan menghadapi pertemuan teknologi barat, Jepang dan berbagai negara dalam hal pengelolaan sumber gas di Masela sebagai ujung tombak perekonomian.

Pernyataan tersebut disampaikan Direktur Archipelago Solidarity (Arso) Foundation, Engelina Pattiasina saat memberikan kuliah umum di Fakultas Pendidikan MIPA Universitas Pattimura Ambon, tentang “Maluku: Pilihan Kemitraan Strategis”.

Jika pilihan zona dan teknologi berbasis di darat (onshore), maka partisipasi masyarakat akan lebih tinggi.

Baca Juga: Hak Nakes yang Terabaikan

Hal ini harus dimanfaatkan oleh perguruan tinggi dengan menyiapkan sumber daya manusia di berbagai sektor, untuk mengisi pengembangan industri turunan dari hasil produksi lapangan gas abadi tersebut.

Diharapkan agar rakyat miskin di Maluku berkurang, sehingga Perguruan Tinggi di Maluku dapat berfungsi sebagai motor penggerak dan partner pemerintah untuk mengawal pengelolaan 25 blok migas yang ada.

Lembaga riset juga diharapkan mampu untuk melahirkan reformasi pendidikan, guna meningkatkan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga outputnya, dapat digunakan sebagai solusi dalam menghadapi masalah pendidikan di Maluku.

Di awal abad 21, sekitar 90 persen zona kepulauan Maluku dengan luas 850.000 kilometer persegi, terdiri dari laut. Kepulauan Maluku sangat kaya keragaman-hayati, ikan, emas, minyak, gas dan mineral strategis lainnya. Risikonya yakni selama 400 tahun terakhir, zona-zona kaya sumber alam sering terjebak konflik dan kemiskinan atau the paradox of plenty.

Sebanyak 15 blok Minyak dan Gas(Migas) dikelola oleh investor asing di Maluku, sedangkan 10 blok lainnya masih ditawarkan ke para investor. Namun menurut Biro Pusat Statistik (BPS) Maluku tahun 2015, Provinsi Maluku yang berpenduduk 1,6 juta jiwa, 18,84 persen atau sekitar 307.000 jiwa adalah penduduk miskin dan menempati urutan ke-4 setelah Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Maluku dapat keluar dari jebakan paradox of plenty, risiko konflik dan kemiskinan dengan menerapkan model triple-helix dalam program kebijakan pembangunan berkelanjutan (triple-bottom-line).

Misalnya, level partisipasi masyarakat Maluku dan sekitarnya sangat bergantung pada pilihan zona dan teknologi ekstraksi sumber-sumber alam seperti 25 blok migas Maluku.

kondisi yang diharapkan saat ini adalah Provinsi Maluku harus  bangkit dan  keluar dari  kondisi kemiskinan  sehingga dapat  maju, mandiri dan sejahtera, sejajar  dengan Provinsi lain di Indonesia, berdasarkan hukum yang berlaku maupun nilai-nilai yang universal  dan nilai-nilai kearifan lokal. (*)