AMBON, Siwalimanews – Lembaga Masyarakat Adat Tanimbar (LMAT) menilai, penetapan harga tanah di Pulau Nutsual sangat melecehkan harkat dan martabat masyarakat Tanimbar.

Bahkan, LMAT juga dibuat geram dan mengutuk keras penetapan nilai tanah pada lokasi di pulau itu yang merupakan hak ulayat masyarakat hukum adat Tanimbar oleh tim persiapan pengadaan tanah (TPPT).

Hal itu ditegaskan Ketua Dewan Pendiri LMAT Dany Metatu kepada Siwalimanews melalui telepon seluler, Senin (14/2).

Menurutnya, musyawarah sebagai bentuk ganti rugi yang dilaksanakan pada 16 November 2021 di Kantor Pertanahan KKT, dinilai sangat melecehkan harkat dan martabat masyarakat adat Tanimbar.

“Mengapa musyawarah tersebut bersifat tertutup dan tidak diberikan kesempatan kepada pihak pemilik hak ulayat untuk mengajukan tanggapan dan keberatan atas penatapan harga Rp14.000/m2 oleh TPPT,” tandasnya.

Baca Juga: Walau Pandemi, Daya Beli Masyarakat Harus Terjaga

Penetapan harga tersebut kata dia, tidak manusiawi serta tidak memenuhi asas kemanusiaan, asas keadilan, asas keterbukaan serta asas kesepakatan dan asas kesejahteraan, sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Nomor 02 tahun 2012 Bab II pasal 2 huruf A sampai dengan huruf J, dan PP No 19 tahun 2021, khususnya pasal 18 ayat 1 dan 2 huruf e, pasal 23 ayat 1, 2 dan 3, serta pasal 25 ayat 2 huruf b, sebagai peraturan yang ditetapkan untuk menjalankan UU

Ia juga menilai , TPPT menggunakan nilai pasaran sebagai dasar utama, untuk menetapkan harga tanah di Pulau Nutsual sangatlah tidak relevan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena setelah diuji melalui PN Saumlaki, dari penetapan nilai tanah Rp14.000 oleh TPPT diputusakan, Rp172.000/M2.

“Nah selisi antara Rp14.000 dengan Rp172.000 sangat signifikan, sehingga saya menduga ada pihak-pihak yang ingin memainkan peran untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok tertentu,” duganya.

Menurutnya, pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum bukan dipergunakan bagi kegiatan sosial, namun digunakan untuk kegiatan usaha berskala besar yang menghasilkan profit, apa lagi investasi Inpex Blok Masela.

Ini adalah investasi terbesar nomor dua setelah PT Freeport Indonesia, sehinga dalam penetapan harga tanah milik masyarakat adat Tanimbar, harus transparan dan memenuhi asas keadilan, kemanusiaan dan kesejahteraan.

Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 22 tahun 2001 pasal 33 ayat (3) huruf a, menjelaskan, bahwa kegiatan usaha migas tidak dapat dilaksanakan pada tanah milik masyarakat adat. Selain itu, keputusan Mahkama Konstitusi No 35/PUU X/2012 juga menegaskan, bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat dan bukan lagi hutan negara.

“Dengan dasar inilah saya berharap pemerintah pada saat penetapan harga tanah pada lokasi pusat LNG dan kawasan industrinya yang akan datang harus transparan dan sesuai dengan nilai yang tertera pada POD agar  tidak menimbulkan kegaduhan dan dapat menimbulkan iklim investasi yang kondusif pada Negeri Duan Lolat yang cinta damai ini,” harapnya. (S-21)