SETELAH UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, pembentuk undang-undang mengebut proses revisi terhadap UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Pada pertengahan Juni, Kamis (16/6), Presiden telah mengesahkannya menjadi UU Nomor 13/2022. Bagi pembentuk UU, dalam kerangka kepentingan UU Cipta Kerja, percepatan perubahan UU PPP tentu menjadi sangat penting. Tanpa mengubah UU PPP, perbaikan apa pun yang dilakukan terhadap UU Cipta Kerja tidak akan dapat menyelesaikan persoalan inkonstitusio­nalitas formil yang dikandung UU tersebut.

Perubahan yang dilakukan terhadap UU PPP meliputi sejumlah materi muatan penting. Di antaranya, terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan secara elektronik, perubahan teknis penyusunan naskah akademik, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan regulasi, dan penambahan metode omnibus sebagai metode baru dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Khusus metode omnibus, ketika hendak digunakan, perubahan kedua UU PPP mengatur seluruh rangkaian proses pembentukan peraturan perundang-undangan sudah harus mencantumkan penggunaannya, mulai perencanaan, proses penyusunan, dan juga materi muatannya. Secara spesifik, UU Nomor 3/2022 ini juga memuat secara rinci bagaimana teknik penyusunan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus harus dilakukan.

Metode ini dapat digunakan untuk mengadopsi materi muatan baru, mengubah materi muatan berbagai peraturan perundang-undangan, dan juga untuk mencabut peraturan perundang-undangan sejenis dan setara.   Kelemahan omnibus Sebagai sebuah metode, omnibus merupakan sesuatu yang halal sebab metode hanya menyangkut cara, bukan soal substansi UU. Sepanjang cara atau metode tersebut dapat mengantarkan proses pembentukan peraturan perundang-undangan pada sebuah produk peraturan yang sesuai dengan kebutuhan hukum bernegara, ia dapat diterima. Sampai batas ini, menolak langkah yang ditempuh pembentuk undang-undang untuk mengadopsi metode omnibus dalam perubahan UU PPP tentu tidak diperlukan. Walaupun demikian, sebuah metode berkaitan erat dengan apa yang hendak dicapai dari pengguna­annya.

 Validitas metode akan diuji dari sejauh mana ia mampu mengantar objek yang dihasilkannya juga valid. Dalam konteks peraturan perundang-undangan, validitasnya akan diukur dengan sejauh mana peraturan itu tidak menyimpang dari batasan yang ditentukan konstitusi dan kepentingan hukum masyarakat yang diaturnya. Pada aras ini, debat ihwal legalisasi omnibus itu akan sulit dihindari. Dalam perspektif harmonisasi peraturan perundang-undangan dan kemudahan bagi pemerintah dalam menerapkan peraturan, metode ini akan bernilai positif. Sebaliknya, bagi kepentingan negara hukum yang mengharuskan adanya pembatasan ketat terhadap kekuasaan, metode ini memiliki sisi lemah yang sulit ditutupi sebab dengan mengatur satu jenis masalah tertentu yang mencakup berbagai aspek kehidupan bernegara dalam satu undang-undang, akan terjadi penurunan kualitas dari produk perundang-undangan itu sendiri. Hal itu disebabkan karena tidak fokusnya masalah yang dibahas, berkurangnya partisipasi publik akibat friksi berbagai kelompok masyarakat dalam menilai keberadaan UU, dan juga menurunkan perhatian pada aspek kepentingan hukum masyarakat lemah. Pengalaman pembentukan UU Cipta Kerja merupakan contoh nyata. Melalui UU Cipta Kerja diubah sebanyak 78 UU.

Dengan materi yang demikian banyak, fokus perhatian publik dalam memberikan masukan juga terbelah sehingga perhatian hanya tertuju pada beberapa aspek substansi yang dinilai memiliki dampak luas seperti masalah ketenagakerjaan. Adapun materi lainnya, sekalipun tetap mendapat respons, nyaris tidak mendapatkan perhatian mendalam. Pada ranah ini, upaya mengadopsi metode omnibus tidak cukup hanya melegalisasi­nya melalui perubahan UU PPP, tetapi juga harus disertai dengan garansi bahwa ia tidak akan digunakan untuk “mencelakai” kepentingan masyarakat lemah dengan menerabas batas-batas kekuasaan yang diperlukan demi terpeliharanya paham konstitusionalisme.  

Baca Juga: Makna dan Tantangan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak

Garansi penggunaan omnibus Berkaca dari kelemahan metode omnibus, pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan metode ini tidak boleh dilakukan dalam waktu singkat, apalagi tergesa-gesa seperti praktik pembentukan UU Cipta Kerja sebab singkatnya waktu akan menyebabkan ruang partisipasi menjadi sempit sehingga UU yang dilahirkan cenderung bersifat elitis atau tidak prorakyat. Dalam konteks ini, ruang partisipasi mesti dibuka seluas mungkin melalui berbagai cara yang memungkinkan aspirasi rakyat diterima secara baik. Pada saat bersamaan, partisipasi jangan hanya dimaknai secara formal, tetapi harus lebih substantif di mana aspirasi diserap secara serius dan diadopsi menjadi norma yang dapat menengahi semua kepentingan masyarakat secara proporsional. Lebih jauh, proses pemba­hasan terhadap materi peraturan perundang-undangan yang dibentuk mesti dilakukan secara bertahap dan komprehensif sesuai kelompok materi muatan yang ada. Dalam konteks ini, pembahasan tidak boleh dilakukan secara gelondongan. Cara demikian akan menyebabkan anggota DPR belum tentu membaca dan mencermati pasal demi pasal dari norma yang akan ia setujui menjadi UU.

Pada saat yang sama, untuk setiap kelompok dan tahap pembahasan, publik baik yang pro maupun kontra diberi ruang yang setara untuk terlibat memberi masukan melalui pemerintah dan DPR. Dengan demikian, langkah melegalisasi metode omnibus dalam UU PPP tidak boleh berhenti sebatas untuk memberi alas bagi keabsahan terbentuknya UU menggunakan metode omnibus, tetapi harus pula dengan mengikhtiarkan terbentuknya produk legislasi yang valid dan diterima masyarakat luas. Bila ikhtiar demikian disimpangi, memungut metode omnibus tidak akan lebih dari menyediakan cara melahirkan produk hukum yang lebih prokepen­tingan elite semata.Oleh: Khairul Fahmi  Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas