AMBON, Siwalimanews – Pidana 8,6 tahun penjara yang dituntut jaksa penuntut umum kepada mantan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy, dinilai sangatlah tepat.

Demikian disampaikan akademisi Unidar Ambon, Rauf Pelu, menyikapi tuntutan JPU terhadap prnguasa Kota Ambon 10 tahun itu.

Selain hukuman badan 8,6 tahun penjara, RL sapaan akrab Richard, juga dituntut membayar denda sebesar Rp500 juta subsider 1 tahun penjara dan uang pengganti sebesar Rp8.045.000.000 dengan ketentuan jika tidak mampu membayar, maka diganti dengan pidana penjara se­lama 2 tahun.

Menurut Rauf, dalam mengajukan tuntutan KPK tentu saja bersandar pada bukti dan fakta hukum yang muncul di persidangan, artinya tuntutan 8.6 tahun penjara terhadap mantan orang nomor satu di Kota Ambon ini telah dipertimbangkan secara matang.

“Tuntutan sudah tepat karena sudah sesuai dengan bukti dan fakta di persidangan,” ujar Pellu saat diwawancarai Siwalima melalui telepon selulernya, Rabu (18/1).

Baca Juga: Jaksa Kurung Tersangka Persetubuhan Anak Dibawah Umur

Menurutnya, semua kesaksian yang disampaikan baik dari saksi maupun ahli telah dinilai secara objektif oleh JPU KPK dan disan­di­ng­kan dengan dakwaan primer se­hingga diperoleh tuntutan tersebut.

Pellu menegaskan, tuntutan hanyalah menjadi dasar bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana, tetapi hakim tidak terikat pada tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum sebab hakim me­miliki kemerdekaan untuk menilai setiap bukti didalam persidangan.

“Berapapun yang dituntut oleh jaksa kan nanti dipertimbangkan oleh hakim, tetapi kalau suap dan Gratifikasi memang sudah termasuk dalam tindak pidana korupsi,” tegasnya.

Terpisah, praktisi hukum Paris Laturake juga menilai tuntutan 8.6 tahun penjara yang dituntut oleh jaksa penuntut umum telah sesuai dengan bukti yang diungkapkan di pengadilan.

Menurutnya, jaksa memiliki alasan yang kuat sampai menuntut seperti demikian, sebab tidak sembarang jaksa dalam menuntut suatu per­buatan pidana di pengadilan tetapi didasarkan pada bukti dan fakta hukum.

“Tuntutan itu sudah pasti sesuai dengan keyakinan jaksa terhadap bukti dan fakta sehingga, selanjut­nya menjadi kewenangan hakim untuk menilai dan memutuskan pidana,” cetusnya.

Menurutnya, dugaan gratifikasi dan suap yang disangkakan kepada mantan Ketua DPRD Maluku ini sudah termasuk bagian dari korupsi, sehingga tinggal menunggu hakim dalam memutuskan perkara tersebut.

Dituntut 8,6 Tahun

RL dituntut 8,6 tahun penjara, dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor, pada Pengadilan Negeri Ambon, Selasa (17/1) malam.

Mantan Ketua DPRD Maluku ini juga dituntut membayar uang peng­ganti sebesar Rp8.045.000.000 de­ngan ketentuan jika tidak mampu membayar, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.

Dalam persidangan yang diketuai majelis hakim Wilson Shiver itu, tim JPU KPK yang dipimpin Taufiq Ibnugroho menyatakan, perbuatan RL yang melakukan suap dan gratifikasi dalam kasus Persetujuan Izin Prinsip Pembangunan Alfamidi tahun 2020 di Kota Ambon, terbukti lewat sejumlah bukti berupa keterangan saksi.

Selain itu, apa yang disampaikan RL tidak pernah dilaporkan ke KPK dalam kurun 30 hari kerja sejak diterima gratifikasi sebagai­mana diatur dalam pasal 12C ayat (2) UU Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Karena itu, lanjut KPK, seluruh penerimaan uang tersebut merupakan gratifikasi yang diterima terdakwa yang tidak ada alas hak yang sah menurut hukum.

“Meminta majelis hakim yang mengadili perkara ini untuk menjatuhkan hukuman 8,6 Tahun penjara kepada terdakwa Richard Louhenapessy dan denda sebesar Rp.500 juta subsider 1 tahun penjara,” pinta JPU.

Selain RL, anak buahnya yakni Andre Erin Hehanusa juga tak luput dari tuntutan jaksa.

Orang kepercayaan RL yang turut terlibat menjadi jembatan aliran suap masuk ke RL ini dituntut 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 3 bulan penjara. Sidang kemudian ditunda majelis hakim pada Jumat (27/1) depan dengan agenda pembelaan/pledoi terdakwa.

Terima Aliran Dana 

Seperti diberitakan sebelumnya, RL menjalani sidang perdana dugaan korupsi dan gratifikasi di Pengadilan Tipikor Ambon, Kamis (29/9) siang.

RL didakwa jaksa penuntut umum KPK menerima aliran dana mencapai Rp 11 miliar, dari aparatur sipil negara dan sejumlah pengusaha.

Sidang dengan agenda pembacaan dakwaan oleh JPU KPK itu dipimpin hakim Nanang Zulkarnain Faisal dan digelar secara online, yang menghadirkan RL dari Gedung KPK di Jakarta.

Mantan Ketua DPRD Maluku itu didakwa atas dua kasus yaitu, penerbitan izin prinsip gerai Alfamidi di wilayah Kota Ambon serta gratifikasi.

Selain mantan walikota dua periode Kota Ambon ini diadili, anak buahnya, Andre Erin Hehanusa, dan Perwakilan Alfamidi Cabang Ambon, Amri.

Tim JPU KPK yang diketuai Taufiq Ibnugroho membeberkan aliran dana yang mengalir ke kantong mantan Ketua DPRD Maluku itu sebesar Rp11 miliar.

JPU mengungkapkan, terdakwa RL selaku Walikota Ambon pada tahun 2011 sampai bulan Maret 2022 melakukan dan turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandan sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan.

JPU menyebutkan, terdakwa menerima gratifikasi yaitu, selaku walikota secara langsung maupun tidak langsung telah menerima uang yang seluruhnya berjumlah Rp11. 259.960.000 yang berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.

Aliran dana dengan jumlah fantastis itu diketahui diterima dari beberapa ASN pada Pemkot Ambon dan para rekanan atau kontraktor.

Pada tahun 2011 sampai Maret 2022 terdakwa menerima uang langsung berjumlah Rp8.222.250.000.

Dari ASN uang yang diterima Rp824.200.000 dengan rincian menerima dari Alfonsus Tetepta selaku Plt Direktur PDAM Kota Ambon sebesar Rp260.000.000, dari kepala Dinas PUPR Enrico Matitaputy sebesar Rp150.000.000.

Berikutnya, dari mantan Kadis Pendidikan Fahmi Sllatalohy sebesar Rp240.000.000, Kepala Badan Pengeluaran dan Aset Daerah, Roberth Silooy Rp50.200.000, Kepala Bidang Lalu lintas Dinas Perhubungan Kota Ambon Izack Jusac Said Rp116.000.000 dan pada bulan Desember 2018 di rumah Dinas Walikota Ambon, terdakwa menerima uang dari Kepala Dinas Perhubungan kota Ambon, Robert Sapulette Rp8.000.000.

Sementara dari rekanan Richard diketahui menerima uang sebesar Rp.7.398.050.000 dengan rincian  menerima dari Pemilik PT Hoatyk, Victor Alexander Loupatty, sebesar Rp.342.500.000 yang diberikan secara bertahap.

Selanjutnya dari  Direktur Utama PT Azriel Perkasa Sugeng Siswanto sebesar Rp.55.000.000, kontraktor Benny Tanihattu USD 2.500 atau Rp.34.950.000, Direktur CV Waru Mujiono Andreas Rp.50.000.000.

Kemudian dari pemilik Toko Buku NN Sieto Nini Bachry Rp.50.000.000, dari Tan Pabula Rp.85.000.000, dan Direktur CV Glen Primanugrah Thomas Souissa Rp70.000.000.

Berikutnya, Direktur CV Angin Timur Anthoni Liando Rp740.000. 000, Komisaris PT Gebe Industri Nikel Maria Chandra Pical Rp250. 000.000, Kontraktor Yusac Harianto Lenggono Rp.50.000.000, Direktur Talenta Pratama Mandiri Petrus Fatlolon Rp100.000.000 dan pemilik AFIF Mandiri Rakib Soamole sebesar Rp165.000.000.

RL juga menerima uang dari Apotek Agape Mardika Rp.20.000. 000, Direktur PT Karya Lease Abadi Fahri Anwar Solikhin sebesar Rp.4.900.000.000, Yanes Thenny Rp.50.000.000 dan Novry E Warella sebesar Rp.435.600.000.

Selain penerimaan langsung terdakwa juga menerima uang sebesar Rp3.037.000.000 melalui terdakwa Andrew Erin Hehanussa dengan rincian dari ASN sebesar Rp1.466. 250.000 dan rekanan sebesar Rp1. 216.250.000.

Terdakwa juga menerima dari Karen Dias Rp811.460.000, kemudian melalui Hervianto Rp75.000.000 dan Imanuel Arnold Noya Rp150.000. 000.

“Atas penerimaan uang tersebut terdakwa tidak pernah melapor ke KPK dalam kurun 30 hari kerja sejak diterima, sebagaimana diatur dalam pasal 12C ayat (2)UU nomor 31 tahun1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebaimana telah diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga seluruh penerimaan uang tersebut merupakan gratifikasi yang diterima terdakwa yang tidak ada alas hak yang sah menurut hukum,” pungkas JPU.

Selain gratifikasi, RL juga dijerat kasus penerimaan hadiah dari PT Midi Utama Indonesia terkait izin prinsip pembangunan sejumlah gerai di Kota Ambon. Dalam kasus ini, RL diketahui menerima uang fee sebesar Rp500.000.000.

JPU menjelaskan pada tahun 2019 PT Midi Utama Indonesia  bermaksud untuk mengembangkan usaha retail dengan membangun gerai  atau toko alfamidi di kota Ambon, dimana dalam proses pembangunannya diperluka beberapa perijinan diantarannya ijin prinsip dari terdakwa RL selaku Walikota Ambon.

Selanjutnya Solihin selaku kuasa direksi PT MUI atas masukan Agus Toto Ganefgian selaku GM license PT MUI menunjuk terdakwa Amri untuk melakukan pengurusan perijinan dengan alasan terdakwa Amri sudah berpengalaman.

Saat itu terdakwa mengajukan biaya untuk perngurusan ijin setiap titik atau lokasi sebesar Rp.125.000. 000 yang sumber dananya berasal dari PT MUI.

JPU menyebutkan, pada Juli 2019 terdakwa Amri dan License Manager PT MUI cabang Ambon Nandang Wibowo melakukan pertemuan dengan terdakwa RL dan Terdakwa Andrew Erin di Kantor Walikota Ambon, terkait pembukaan gerai toko yang kemudian di setujui RL yang meminta terdakwa Andrew untuk mempercepat proses penerbitan izin.

Selanjutnya terdakwa Andrew meminta terdakwa Amri dan Nandang Wibowo terkait kelancaran administrasi.

Berikutnya, pada tanggal 23 Juli 2019, PT MUI mengajukan permohonan izin prinsip pendirian 27 gerai, dan pada hari yang sama juga RL menerbitkan surat perihal persetujuan prinsip pembangunan gerai Alfamidi, tanpa ada kajian dari dinas terkait.

Parahnya lagi pada bulan September, pihak PT MUI kembali menemui RL untuk maminta tambahan gerai. Lagi-lagi RL  menerbitkan persetujuan prinsip pembagunan tanpa ada kajian dari dinas terkait.

Setelah izin prinsip terbit, ter­-dakwa Amri memberikan uang secara bertahap berjumlah Rp500. 000.000 kepada terdakwa RL me­-lalui terdakwa Andrew Erin. (S-20)