AMBON, Siwalimanews – Orang tua murid dan pihak Sekolah Dasar Xaverius Ambon saling klaim benar dalam kasus “imunisasi” yang berbuntut penganiayaan dan saling lapor ke polisi.

Peristiwa ini bermula dari amukan orang tua murid kepada pihak sekolah yang viral di media sosial sejak, Rabu (4/9).

Dimana imunisasi Rubella yang dilaksanakan untuk anak kelas 1 SD Xaverius Ambon, namun sayangnya orang tua dari siswa YK tidak diberitahu terlebih dahulu.

Ibu dari YK, Hilda Talahatu dan suaminya tidak terima dan mengamuk dan kemudian peristiwa ini viral di jagad maya.

Pihak sekolah yang tidak terima lantaran dipermalukan oleh orang tua siswa kemudian angkat bicara.

Baca Juga: Jaksa Usut Dugaan Korupsi di Pemkot Ambon, Kadis Infokom Digarap

Sekretaris Yayasan Pendidikan Katolik Keuskupan Amboina, John Dumatubun mengaku imunisasi Rubella merupakan program pemerintah. “Perlu diluruskan dulu. Istilah vaksin tidak ada, imunisasi bukan vaksinasi,” tegasnya kepada wartawan di Ruang Guru SD Xaverius A1 Ambon, Jumat (30/9).

Pihaknya menyayangkan sikap orang tua siswa, apalagi mengamuk dan menganiaya guru. Akibatnya sejumlah peserta didik lainnya trauma.

Apalagi lakinya merupakan anggota Propam Polda Maluku. Bila ada kesalahan harus dibicarakan baik-baik bukan melakukan kekerasan fisik kepada tenaga pendidik,” terangnya.

Dijelaskannya, pihak sekolah melalui guru telah menginformasikan kepada orang tua murid melalui pesan WhatsApp Grup kelas dua hari sebelumnya.

Menurutnya bahkan di pagi hari sebelum pemberian imunisasi pun sekolah kembali mengingatkan orang tua murid.

“Sekolah telah melaporkan ke jalur hukum. Yayasan maupun Keuskupan akan mendukung penuh dan mengawal kasus kekerasan fisik hingga pengancaman ini sampai tuntas,” tandasnya.

Disayangkan Pemerintah

Sementara Penjabat Walikota Ambon Bodewin Wattimena angkat bicara terkait peristiwa itu.

“Apa yang pemerintah lakukan itu untuk kebaikan. Imunisasi ini kan bukan kita suntik racun. Yang disuntik justru untuk membangun imunitas anak terhadap penyakit tertentu, termasuk Rubella,” ujar  walikota kepada wartawan, di Baileo Rakyat Belakang Soya, Jumat (29/9).

Dengan itu sambungnya, maka mestinya apa yang menjadi kebijakan pemerintah untuk melakukan imunisasi terhadap anak-anak, perlu didukung. Bukan justru membuat onar, yang mengakibatkan para murid lainnya merasa ketakutan.

“Lalu kenapa orang tuanya harus ngamuk, yang akibat nya pasti anak-anak lain ketakutan,” katanya.

Diancam Orang Tua

Sementara itu, Guru Lidya Toisutta menjelaskan orang tua murid (ayah) yang merupakan anggota Propam Polda Maluku naik ke kelas sambil marah-marah.

Oknum orang tua ini  menarik anaknya langsung turun ke lantai 1 tanpa berhenti ngamuk.

“Marah-marah ke saya lalu tunjuk-tunjuk saya, ancam saya bahwa apabila terjadi sesuatu ke anaknya akan melaporkan saya dan menuntut saya beserta sekolah ini,” ujarnya kepada wartawan.

Ia mengaku tak hanya mengancam tapi Istrinya yang merupakan Ibu Bhayangkari ini ikut ngamuk bahkan membanting helm.

Oknum orang tua perempuan ini juga menarik baju guru, mencengkram lengan Guru dan mendorong hingga terbentur ke pintu masuk ruang Kepala Sekolah,” ungkapnya.

Klarifikasi

Ditempat berbeda Hilda Talahatu, ibu dari anak yang mendapat suntikan imunisasi kepada wartawan, Sabtu (29/9) memberikan klarifikasi.

“Saya memang tidak sempat melihat pesan WA pada hari Selasa itu. saya baru merespon pesan hari Rabu, sekitar pukul 09.56 WIT, dengan menuliskan pesan grup itu, “Ibu, Yella Kolohuwey tidak ikut suntik”. Tapi ternyata anak saya sudah selesai diimunisasi,” tuturnya.

Hal itu diketahui, setelah dirinya menghubungi anaknya yang lain, yang juga bersekolah disitu (kakaknya Yella), agar melihat adiknya untuk memasti­kan bahwa adiknya tidak disuntik.

Dia juga mengaku, setelah merespon pesan di grup WA itu, dirinya juga menghubungi guru wali kelas, dengan tujuan untuk menyampaikan agar anaknya, YK  tidak diimunisasi karena punya riwayat penyakit Tipes dan Asma.

Namun oleh guru yang dihubungi tidak merespon hingga dia menghubungi anaknya yang lain itu.

“Yang saya sayangkan, tanpa seizin kami selaku orang tua, apakah dengan kami terlambat merespon pesan di WA grup, lalu guru dengan seenaknya mengijinkan anak kami diimunisasi tanpa persetujuan kami orang tua,” jelasnya.

“Saya menolak karena anak saya punya riwayat asma dan tipes. Jadi sebagai orang awam soal masalah medis, kami tentu takut,” katanya lagi.

Ia mengaku pasca imunisasi, anaknya sakit dan sempat dirawat di RS. Bhayangkara.

“Kata dokter anak tersebut harus diinfus, sehingga diinfus,” tandasnya.

Sebelum mengakhiri, dirinya berharap, persoalan ini akan berakhir baik bagi semua pihak. (S-25/S-26)