AMBON, Siwalimanews – Setelah menunggu hampir sem­bilan bulan, kasus penghinaan yang dilakukan Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan Fakultas Hukum Unpatti, Hendrik Salmon (HS) terhadap seniornya John Pasalbessy akhirnya dilimpah­kan ke jaksa penuntut umum atau tahap I pada Kejati Maluku.

Butje Hahury Penasehat Hu­kum John Pasalbessy mengata­kan, dengan dilimpahkannya ber­kas tersangka HS dalam kasus penghinaan terhadap kliennya John Pasalbessy ke JPU Kejati Maluku, diharapkan nantinya saat penyerahan tersangka dan barang bukti atau tahap II dari penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku ke JPU, Hendrik Salmon ditahan.

“Ini harapan kami, ketika kasus ini tahap II, JPU harus tahan tersangka. Saya  memberikan apresiasi kepada polisi khusus penyidik Subdit V Ditreskrimisus Polda Maluku. Walaupun harus menunggu sembilan bulan lama­nya, kasus ini akhirnya sampai ke jaksa juga. Harapan kami yang sama, semoga jaksa tidak lama dalam menelitinya,” ungkap Hahury di Ambon, Sabtu (12/6).

Dijelaskan, Hendrik Salmon ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Maluku pada 27 Mei 2021. Penetapan tersangka itu diketahui­nya setelah penyidik mengirimkan  pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan ke kliennya John Pasal­bessy.

“Jadi, kasus ini kita laporkan ke po­lisi 2020. Setelah menunggu sem­bilan bulan, pada 27 Mei 2021, Hen­drik Salmon ditetapkan tersangka. 31 Mei 2021 yang bersangkutan dipe­riksa sebagai tersangka dan 3 Juni 2021 yang lalu berkas tersangka dilimpahkan atau tahap I ke JPU untuk diteliti,” beber Hahury.

Baca Juga: Kejari Buru Sita Aset Dugaan Korupsi Dana MTQ

Menurutnya, kasus ini menarik karena sejak dilaporkan terkesan prosesnya berjalan lamban, bahkan diduga tersangka HS berupaya mendekati oknum-oknum tertentu untuk menggagalkan proses hukum.

“Kasus ini sudah jelas dari sisi hukum pidana, karena dari substansi perkara ditemukan dua alat bukti melalui hasil screnshoot postingan HS di akun facebook miliknya yang menyatakan klien saya John Pasal­bessy itu “kelakuannya sama de­ngan binatang” dan “akan mematah­kan kaki korban”. Ini kan keterlaluan, sangat merendahkan martabat kema­nu­siaan seseorang. Perbuatan HS jelas melanggar pasal 27 ayat (3) jo pa­sal 45 ayat (3) UU ITE,” tandas­nya.

Masih kata Hahury, posisi kasus ini sudah miliki kepastian hukum, karena dari substansi perkara dite­mukan alat-alat bukti yang meme­nuhi syarat sistem pembuktian hukum pidana.

Selain keterangan saksi fakta (factual testimony) dan ahli (expert opinion) yang merupakan testimonial evidence, terdapat lebih dari 10 bukti screenshoot postingan tersangka HS di dinding akun facebook miliknya.

Diantaranya memuat  pernyataan tersangka yang menyamakan kor­ban John Pasalbessy  dengan bina­tang.  Dimana tersangka menyebut­kan “kelakukan korban sama dengan binatang” disertai kata-kata anca­man kekerasan, dimana tersangka akan mematahkan kaki korban.

“Mempersamakan manusia de­ngan binatang sudah memenuhi unsur pasal penghinaan dalam hu­kum pidana yang bermakna meren­dahkan harkat martabat dan kehor­matan manusia sebagai makluk berbudi atau berbudaya. Padahal harkat martabat dan kehormatan manusia sebagai makluk berbudi itulah ciri khas manusia, yang mem­perbedakannya daripada binatang apapun. Karena penghinaan ini dilakukan dengan menggunakan sarana transaksi elektronik yang dapat diakses publik, sangatlah tepat dan sah menurut hukum polisi menetapkan Salmon sebagai ter­sang­ka dengan pasal-pasal penghi­naan menurut Undang Undang RI Nomor 19 tahun 2016 tetang Peru­bahan atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) se­bagai lex specialis, meski penyeli­dikan dan penyidikan kasus ini terkesan slow down,” jelas Hahury.

Hahury mengatakan, sebagai un­sur penghinaan, para saksi yang berkomentar di dinding facebook HS juga sudah diperiksa, termasuk saksi bahasa Indonesia. “Klien saya itu seorang Doktor Ilmu Hukum, ahli hukum pidana jebolan Universitas Airlangga Surabaya dan berjasa membantu Polda Maluku serta polres-polres jajaran mengungkap­kan kejahatan. Kok diperlakukan seperti ini,” ungkap Hahury.

Ia menilai HS bukan seorang dosen yang baik. Perilakunya tidak menunjukan seorang pendidik di bidang ilmu hukum. HS selain harus menghadapi proses hukum, harus­nya dikenakan sanksi kode etik yang berlaku di Unpatti.

Ucapannya di media sosial tidak pantas sebagai tenaga pendidik di perguruan tinggi. Perlakuannya terhadap dosen senior sudah seperti ini, bagaimana dengan mahasiswa yang diajarnya. “Saya sudah kross cek ke Unpatti, ternyata HS sudah diperiksa oleh Tim Pemeriksa Kode Etik pada 2020 lalu. Hanya saja, kesimpulan dan hasil sidang kode etik Unpatti belum diumumkan. Mestinya dengan status tersangka, sudah saatnya Rektor Unpatti, Nus Sapteno menjatuhkan sanksi kepada HS. Kalau tidak, asas “equality before the law” atau persamaan semua warga negara di hadapan hukum se­bagai asas negara hukum yang di­ajarkan para dosen kepada mahasis­wa selama ini, hanyalah retorika teoritik tanpa makna,” pungkasnya.

Dia berharap kasus penghinaan HS terhadap seniornya John Pasal­bessy di media sosial menjadi pem­belajaran berharga bagi semua pe­ngguna media sosial, lebih khusus para pengajar di Universitas Patti­mura untuk rendah hati dan saling menghormati, sehingga kasus ini adalah yang terakhir.

Hahury juga menambahkan, selain kasus penghinaan HS terhadap Pasalbessy dilaporkan ke Ditres­krimsus Polda Maluku, dirinya juga akan melakukan pressure ke Polresta Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease lantaran melambatnya kinerja penyidik terhadap pidana lainnya yang dilakukan HS terhadap kliennya sebagaimana laporan di Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease sesuai tanda bukti laporan atau TBL Nomor : LP/658/VIII/Maluku/Resta Ambon, tanggal 26 Agustus 2020, dengan terlapor HS.

“Jadi perkuan HS kepada klien saya bukan hanya penghinaan. Dalam perkara kedua ini, HS dilaporkan pidana di Polresta Ambon karena diduga sangat kuat mencekik leher dan hendak memukul klien saya John Pasalbessy. Karena itu kami menduga dengan sangat kuat, bahwa ada pihak yang sangat berkepentingan dengan kasus ini berupaya menghalangi dan memperlambat bahkan berkeinginan menghentikan proses penegakkan hukum kasus tersebut, meski dengan cara melawan hukum sekalipun. Padahal korban adalah seorang Doktor Ilmu Hukum, jebolan Universitas Airlangga Surabaya sudah banyak berjasa membantu Polda Maluku dan polres-polres jajarannya sebagai ahli hukum pidana dalam proses penegakkan hukum. Dijanjikan penyidik untuk memanggil pelaku HS tapi hingga saat ini tidak ada per­kembangannya. Saya hanya ingatkan, hukum itu etis, dan jangan sampai dijungkirbalikan hanya untuk melindungi orang-orang yang munafik,” tegas Hahury.

Sementara itu, Kepala Seksi Pene­rangan dan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Maluku, Wahyudi yang di­kon­firmasi Siwalima  melalui telepon selulernya perihal pelimpahan ber­kas kasus penghinaan di media sosial dengan tersangka HS ke JPU tidak berhasil dihubungi, lantaran berada di luar service area. (S-45)