AMBON, Siwalimanews – Penyidik Kejati Maluku diduga merekayasa kasus dugaan korupsi proyek pembelian lahan pemba­ngu­nan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Namlea, Kabupaten Buru.

Talim Wamnebo, salah satu to­koh dan masyarakat Buru menilai ada upaya pembunuhan karakter sekaligus menghancurkan repu­tasi Tanaya.

Ia menyampaikan hal itu kepada Siwalima Minggu (30/8), dimana buktinya tanah Fery Tanaya dihargai Rp 125 ribu diduga mark up. Jaksa melalui Kasi Penkum dan Humas Kejati, Sammy Sapulette ber­ulang kali memberikan keterangan dan membuat opini seakan akan ada kongkalikong dengan PLN untuk Mark Up harga.

Padahal di sisi lain, Jaksa sedang melakukan penyelidikan kasus mark up tersebut. Tapi saat  yg sama jaksa juga melakukan sosialisasi di Balai Desa Lala kepada pemilik lahan yang lain untuk keperluan pembangunan Gardu Induk seluas 19 . 770 m2 de­ngan harga Rp 125 ribu.

Keterlibatan jaksa dalam sosiali­sasi karena masyarakat minta harga lebih tinggi “Ini kan aneh sekali. Yang satu melakukan peyelidikan harga Rp 125 ribu itu mark up dan jaksa yg lain (Agus Sirait) melakukan sosialisasi dengan Rp125 ribu itu harga pasar yg sudah ditetapkan PLN. Saya jadi bingung sendiri. Dan untuk diketahui proses ganti rugi lahan gardu induk, Jaksa melakukan sosialisasi sampai tiga kali dan me­ngawal sampai selesai proses pem­ba­yaran,” beber Talim.

Baca Juga: Tak Sesuai Aturan, Wellem Harus Tolak Perintah Faradiba

Dikatakan, dari pemilik lahan-lahan itu, Fery Tanaya yang memiliki doku­men akte jual beli tahun 1985 (sudah 35 tahun menguasai kebun tersebut) dan ahli waris Said bin Thalib memiliki surat penjualan tahun 1928.

Sedangkan pemilik lahan lainnya yakni Sofyan Umagapi, Junaidi dan Salim Umagapi tidak memiliki surat kepemilikan, tapi sudah menguasai lahan itu sejak turun temurun.

Olehnya itu, diarahkan Jaksa Sirait untuk meminta surat keterangan kepemilikan dari Raja sebagai alas hak untuk menerima pembayaran ganti rugi. “Pada saat pembayaran ganti rugi di Balai Desa juga disaksi­kan oleh pihak kejaksaan yakni Jaksa Berty Tanate dan semua Muspika saat  itu,” beber Thalim.

Penetapan Ferry Tanaya sebagai ter­sangka beber Thalim sarat reka­yasa, sebab jika jaksa obyektif, seha­rusnya pemilik lahan yang lain yakni  Sofyan Umagapi, Junaidi, Salim Uma­gapi dan Said bin Thalib terma­suk jaksa yang melakukan sosiali­sasi seharusnya ikut ditetapkan sebagai tersangka, lantaran PLN juga mem­beli lahan mereka untuk pembangu­nan proyek PLTG itu dengan harga Rp 125 ribu.

“Kan aneh, ini kasus korupsi. PLN beli lahan untuk proyeknya dari 5 orang. Kenapa hanya Fery Tanaya saja yang ditetapkan jaksa sebagai ter­sangka? Apakah karena dia minoritas dan karena dia juga seorang peng­usaha? Jaksa jangan mencari-cari kesalahan kalau ingin menegakan hukum di negeri ini,” tandas Thalim.

Pria paruh baya ini  memperta­nyakan konsistensi jaksa melakukan penegakan hukum di Maluku. “Ba­gai­mana masyarakat bisa percaya insti­tusi Kejaksaan Tinggi Maluku kalau memberlakukan hukum secara diskri­mi­natif begini? Saya sebagai masya­rakat meyakini betul kalau Fery Tanaya ditetapkan tersangka ha­nya karena dia dari kalangan  mi­no­ritas  dan dia seorang pengusa­ha,” pungkas Talim.

Proyek pembangunan  PLTG Nam­lea membutuhkan lahan seluas 48. 645,50 M2 untuk mesin induk, 19.770 m2 untuk Gardu induk  dan  puluhan bahkan ratusan bidang kecil tanah untuk gardu mini yang semuanya mendapat ganti rugi harga yang sama Rp 125 ribu.

“Proyek PLTGM ini sangat didam­bakan oleh masyarakat Buru sehing­ga kalau ada korupsi harus disikat ha­bis karena korupsi itu musuh ne­gara. Tapi kalau tidak ada, jaksa ja­ngan men­cari-cari dan menetapkan orang tidak bersalah sebagai tersang­ka dengan mak­sud terselubung. Kita harus hor­mati komitmen Presiden, Joko Widodo dalam penegakkan hu­kum di Indonesia. Kalau tidak salah jangan di cari-cari alasan. Korupsi ini berawal dari niat dulu. Kebun ini saya yang jaga dan saya tahu persis awal­nya tidak mau dilepas. Karena per­timbangan untuk kepentinggan umun  akhirnya  disetujui dan harga ditetap­kan oleh PLN dan disetujui,” ungkap Talim.

Keliru

Sebelumnya pakar Hukum Pidana Unpatti, John Dirk Pasalbessy meni­lai bukti jaksa prematur untuk men­jadikan Fery Tanaya sebagai tersa­ng­ka dugaan korupsi proyek pembe­lian lahan pembangunan PLTG di Namlea, Kabupaten Buru.

“Saya juga merasa heran, uang ne­gara dimiliki institusi PLN, semen­tara yang punya tanah itu swasta. Kok bisa yang punya tanah ditetap­kan tersang­ka, apalagi merujuk pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor. Terhadap peneta­pan ter­sangka ini, saya mera­gukan alat bukti yang dipakai jaksa,” tegasnya.

Menurut dosen fakultas hukum ber­gelar doktor ini, pihaknya tidak punya kepentingan apa-apa dalam per­soalan ini, namun karena terkait la­han tersebut, dirinya pernah jadi saksi ahli ketika masalahnya ditangani Pol­res Buru dalam kasus laporan dugaan penyerobotan tanah yang dituduh­kan ke Ferry Tanaya yang waktu itu la­hannya sudah jual ke PLN sehingga ia merasa perlu untuk berkomentar.

“Dari sisi prosedur, kebetulan waktu itu semuanya jalan dengan baik dan bukti-bukti kepemilikan lengkap,” beber Pasalbessy di Ambon beberapa waktu lalu.

Ia menilai, alat bukti yang dipakai untuk menetapkan Ferry Tanaya sebagai tersangka sangat diragukan. Pasalnya PLN yang menawarkan dengan baik ke pihak Fery, kemudian ada sosialisasi juga dilakukan, bahkan sampai pada pembayaran ganti rugi semua pihak duduk bersama dalam hal ini termasuk Muspika.

Pasalbessy tidak sependapat peng­gunaan pasal 2 UU Tipikor untuk menjerat Tanaya menjadi tersangka. Ia beralasan, tuduhan oleh jaksa Fery Tanaya menyalahgunakan keuangan negara sangat tidak masuk akal.

“Kalau dituduh Fery salahgunakan uang negara, lalu bagaimana dengan pemilik tanah lainnya yang juga ikut dibeli PLN dengan nilai atau harga yang sama. Kenapa jaksa tidak mene­tapkan mereka tersangka?. Setahu saya saat diperiksa sebagai ahli saat itu tanah tersebut bukan tanah negara, tapi tanah erfpacht. Pemiliknya Zaad­rack Wakano, dan diberi kuasa kepa­da Serhalawan. Kemudian tanah ter­se­but berpindah tangan atau dibeli oleh Fery dihadapan PPAT yang saat itu camat. Jadi kalau ada yang me­ngatakan camat bukan PPAT, tolong baca itu PP No. 24 Tahun 2016 tentang perubahan atas PP No. 3 Tahun 1998, disebutkan PPAT Sementara (pasal 1 butir 2) yakni dimaksud di situ camat,” jelas Pasalbessy.

Terhadap hak erfpacht, Pasal­bessy juga menjelaskan, ada kontra­diksi pemikiran. Namun demikian, se­bagai ahli hukum, ia mengungkap­kan hak erfpacht adalah tanah per­ke­bunan milik orang Belanda.

Kondisi tanah erfpacht zaman itu tidak dijaga oleh orang-orang Belan­da, sehingga dikasih hak oleh pribu­mi (orang Indonesia Red). Ketika dike­luarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 ada pro­gram Landerform, yakni ingin me­ngembalikan penguasaan hak-hak atas tanah itu kepada masyarakat Indo­nesia. Termasuk tanah eigendom ver­ponding, erfpacht, opstal dan Gebruik.

Status tanah-tanah ini dapat di­kem­balikan ke negara dengan catatan jika tanah itu telah dikuasai oleh orang atau masyarakat sipil lebih dari 20 tahun dan dapat diurus hak kepemilikannya sepanjang syarat-syaratnya dipenuhi.

“Jadi pengembalian hak-hak tanah Belanda ke Indonesia ada yang statusnya tanah negara bebas dan tidak bebas. Itu tidak mutlak negara kuasai. Kalau jaksa jerat Tanaya dengan alasan tanah erfpacht sangat tidak masuk akal. Pertanyaannya di Namlea itu ada erfpacht tidak? Setahu saya erfpacht hanya ada di Kota Ambon dan Pulau-pulau Lease lantaran Belanda itu berkuasa di wilayah-wilayah ini dan mungkin di sebagian Namlea,” sebutnya.

Diharapkan agar penegak hukum dalam persoalan tanah di Maluku, tidak pakai logika hukum nasional saja, disini ada tradisi penguasaan tanah adat yang masih kental.

Pasalbessy mengungkapkan, jika jaksa menetapkan Tanaya sebagai ter­sangka dengan alasan mark up atau pem­belian lahan oleh PLN tidak sesuai NJOP juga kabur dari sisi pembuktian. “Penetapan harga Rp125 ribu per meter persegi itu kan kesepa­katan ber­sama. Kalau harga di bawah tapi PLN mau sekian, kan itu PLN pu­nya uang. PLN bikin kesepakatan, bi­kin berita acara kesepakatan bersama bahwa harga Rp125 ribu itu menjadi buk­ti tidak ada mark up di situ,” ujarnya.

Sementara itu, praktisi hukum, Muhammad Nukuhehe juga menilai penetapan Fery Tanaya sebagai tersangka dalam kasus ini diduga upaya mencari-cari kesalahan yang bersangkutan. Apalagi ada penjelasan eks kepala PLN Buru kalau lahannya juga saat itu ikut dibeli PLN, padahal lahan itu belum bersertifikat.

Hal ini, kata dia membuka tabir siapa yang bersandiwara dalam proyek PLTG 10 MG di Namlea untuk keper­luan pembangunan gardu induk.

“Pihak PLN bersama jaksa yang tu­run melakukan sosialisasi kepada pe­milik lahan di Balai Desa Lala agar har­ga dijual per meter persegi Rp 125.000. Pajak dan lain-lain semua menjadi tanggung jawab PLN. Pada waktu ber­samaan juga jaksa melaku­kan penye­lidikan dugaan mark up atas pembelian tanah Fery Tanaya dengan harga yang sama,” ujarnya. (S-32)