AMBON, Siwalimanews – Pengadilan tindak pidana korupsi Ambon, Kamis (20/10), menggelar sidang dugaan gratifikasi dan suap dengan terdakwa mantan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy.

Sidang tersebut berlangsung secara online, dipimpin oleh Hakim Faisal Zulkarnain. Sedangkan terdakwa RL mengikuti sidang dari Gedung KPK.

Jaksa KPK menghadirkan lima pejabat di lingkup Pemerintah Kota Ambon sebagai saksi yaitu, Sekot Ambon, Agus Ririmasse, Sekertaris Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman Alexander Janje Hursepuny, Mantan Sekot Anthony Gustaf Latuheru, mantan Kadis PUPR Enrico Rudolf Matitaputty dan Kadis Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu Ferdinanda Johanna Louhenapessy.

JPU menanyakan peran Enrico selaku Kadis PUPR saat itu, serta arahan terdakwa RL terkait pem­bangunan gerai Alfamidi.

Menjawab JPU, Endrico menga­takan saat itu dia diminta untuk membantu pihak Alfamidi untuk mengurus IMB.

Baca Juga: Polda Janji Tuntaskan Kasus Bentrok Tual      

Namun dalam pelaksaaanya, terdapat sejumlah pelanggaran yang mengharuskannya menghentikan pekerjaan pembangunan Gerai Alfamidi. Salah satu kejadian yakni di kawasan Hative kecil, dimana luas toko tidak sesuai dengan draf pengajuan IMB, sehingga dia memerintahkan untuk menghentikan pekerjaan tersebut.

“Alfamidi di sana sudah dibangun namun belum diselesaikan IMB karena luas toko tidak sesuai de­ngan draf pengajuan IMB, sehingga saya perintahkan untuk hentikan pembangunan serta pasang tanda dilarang membangun, atas tindakan tersebut, saya ditegur oleh pa Wa­likota dan beliau meminta kepada saya agar hal tersebut bisa diban­tu,”ungkapnya.

Tak hanya itu, pada beberapa kesempatan RL selaku Walikota menyampaikan arahan untuk mem­berikan beberapa paket proyek kepada kontraktor tertentu. Misal­nya di proyek rehab kantor Walikota dan  Taman Pattimura.

“Saya memang meneruskan perintah RL untuk memberikan paket pekerjaan tertentu atau untuk me­menangkan rekanan tertentu kepada sekretaris dinas dan pokja Melianus Latuhamallo,” ujarnya.

Ditanya soal pemberian kom­pensasi atas hasil loloskan tender ke tekanan tertentu, Matitaputty membantahnya. Menurutnya, dia tidak pernah menerima penyampaian terkait konpensasi.

“Saya tidak pernah menerima penyampaian dari bapak RL tentang konpensasi yang akan saya dan staff saya terima, sehubungan de­ngan telah diakomodirnya per­mintaan walikota tersebut.

Selain Matitaputty, saksi yang ikut dicerca jaksa yakni Johanna Louhenapessy.

Kepada Johanna, jaksa meminta dirinya menjelaskan apakah produk surat izin prinsip Alfamidi yang di keluarkan oleh Pemkot Ambon dan ditandatangani oleh Richard Lou­henapessy.

Menurut dia, selaku Kepala Dinas DPMPTSP, apa yang disampaikan RL, tidak sesuai dengan mekanisme dan SOP yang ada, sesuai Perwali No 16 Tahun 2019 Tentang Pelim­pahan kewenangan Perijinan dan Nonperijinan kepala Dinas DP­MPTSP dan begitu juga Perwali Kota Ambon Nomor 11 Tahun 2021 tentang Pelimpahan Kewenangan Perijinan kepada Dinas DPMPTSP.

Johanna mengaku, apa yang dilakukan RL menyalahi aturan yang membuat sendiri dan tidak sesuai dengan mekanisme maupun SOP.

“Dapat saya sampaikan bahwa, produk atau surat perizinan prinsip Alfamidi yang dikeluarkan oleh Pemkot Ambon melalui saudara Richard Louhenapessy sebagai walikota saat itu, adalah menyalahi aturan yang dibuat sendiri selaku walikota dan tidak sesuai dengan mekanisme dan SOP yang ada,” tegasnya.

Namun dirinya juga mengaku tidak  mengetahui siapa yang menemui RL dan meminta langsung agar ijin tersebut dikeluarkan.

Sementara Sekot dalam kete­rangannya mengungkapkan, ter­hadap surat permohonan Alfamidi, terkait persetujuan prinsip pem­bangunan toko mini market Alfamidi. Dirinya tidak pernah melihat dan mengetahui hal tersebut.

“Terhadap izin prinsip pendirian gerai Alfamidi Saya baru mengetahui ketika ada pemeriksaan KPK dan dibuat sebelum saya menjabat Se­kot. Dari dokumen yang diperlihat­kan kepada saya terlihat bahwa izin prinsip dikeluarkan pada hari yang sama ketika ada permohonan dari Alfamidi.

Menurutnya, hal tersebut bisa terjadi karena ada perintah dari Walikota karena biasanya untuk izin prinsip ada proses yang harus dila­lui, sehingga tidak mungkin dibuat pada hari yang sama dengan per­mohonannya.

Mendengar keterangan para saksi majelis hakim menunda sidang hingga pekan depan masih dengan agenda mendengar keterangan saksi saksi.

Tak Ada Kajian

Sebelumnya, Jaksa menghadirkan empat petinggi Alfamidi di peng­adilan dan mereka membeberkan peran Walikota Ambon 10 tahun itu.

Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi, meng­hadirkan petinggi Alfamidi sebagai saksi dalam sidang lanjutan, dugaan suap dan gratifikasi RL di Peng­adilan Tipikor Ambon, Kamis (6/10).

Petinggi Alfamidi yang dihadirkan di pengadilan masing-masing, Nandang Wibowo, selaku License Manager PT Midi Utama Indonesia Tbk Cabang Ambon, Wahyu Somantri, Deputy Branch Manager PT Midi Utama Indonesia Cabang Ambon, Solihin  Kuasa Direksi PT MUI Cabang Ambon serta Agus Toto Ganesha selaku Karyawan PT MUI.

Sidang yang digelar secara online dipimpin Hakim Nanang Zulkarnain Cs.

Deputy Branch Manager PT MUI Cabang Ambon Wahyu Sumantri mengaku, pihaknya mengajukan izin prisip pembangunan gerai Alfamidi selama empat kali.

Kata saksi, empat kali pengajuan izin pembangunan gerai Alfamidi tersebut langsung ditekan atau di accedere atau disetujui Walikota Ambon yang saat itu dijabat RL dan tanpa melalui prosedur kajian dari intansi terkait dibidang perizinan.

Wahyu menyebutkan, permo­honan pertama diajukan pada 23 Juli 2019, pada hari yang sama surat izin dikeluarkan. Selanjutnya Kedua pada 22 November 2019, Ketiga 27 Maret 2020, dan Keempat  diajukan pada 18 Juni 2021. Sama seperti izin pertama, izin kedua hingga keempat juga dikeluarkan pada hari yang sama untuk pembangunan 70 gerai.

Selain Wahyu, sejumlah saksi lain Nandang Wibowo Solihin serta  Agus Toto Ganesha selaku Kar­yawan PT MUI mengaku hal yang sama bahwa, pengurusan izin pembangunan gerai Alfamidi langsung disetujui RL.

Usai mendengar keterangan para saksi Majelis Hakim menunda sidang hingga pekan depan masih dengan agenda mendengar kete­rangan saksi.

Terima 11 M

Mantan Walikota Ambon Richard Louhenapessy menjalani sidang perdana dugaan korupsi dan TPPU di Pengadilan Tipikor Ambon, Kamis (29/9) siang lalu.

RL sapaan akrabnya, didakwa jaksa penuntut umum KPK mene­rima aliran dana mencapai Rp 11 miliar, dari aparatur sipil negara dan sejumlah pengusaha.

Sidang dengan agenda pem­bacaan dakwaan oleh JPU KPK itu dipimpin hakim Nanang Zulkarnain Faisal dan digelar secara online, yang menghadirkan RL dari Gedung KPK di Jakarta.

Mantan Ketua DPRD Maluku itu didakwa atas dua kasus yaitu, penerbitan ijin prinsip gerai Alfamidi di wilayah Kota Ambon serta gratifikasi.

Selain mantan walikota dua periode Kota Ambon ini diadili, anak buahnya, Andre Erin Hehanusa, dan Perwakilan Alfamidi Cabang Ambon, Amri.

Tim JPU KPK yang diketuai Taufiq Ibnugroho membeberkan aliran dana yang mengalir ke kantong mantan Ketua DPRD Maluku itu sebesar Rp11 miliar.

JPU mengungkapkan, terdakwa RL selaku Walikota Ambon pada tahun 2011 sampai bulan Maret 2022 melakukan dan turut serta mela­kukan beberapa perbuatan yang harus dipandan sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan.

JPU menyebutkan, terdakwa menerima gratifikasi yaitu, selaku walikota secara langsung maupun tidak langsung telah menerima uang yang seluruhnya berjumlah Rp11.259.960.000 yang berhubu­ngan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.

Aliran dana dengan jumlah fan­tastis itu diketahui diterima dari beberapa ASN pada Pemkot Ambon dan para rekanan atau kontraktor.

Pada tahun 2011 sampai Maret 2022 terdakwa menerima uang langsung berjumlah Rp8.222.­250.000.

Dari ASN uang yang diterima Rp824.200.000 dengan rincian menerima dari Alfonsus Tetepta selaku Plt Direktur PDAM Kota Ambon sebesar Rp260.000.000, dari kepala Dinas PUPR Enrici Matita­puty sebesar Rp150.000.000.

Berikutnya, dari mantan Kadis Pendidikan Fahmi Sllatalohy se­besar Rp240.000.000, Kepala Badan Pengeluaran dan Aset Daerah, Roberth Silooy Rp50.200.000,

Kepala Bidang Lalu lintas Dinas Perhubungan Kota Ambon Izack Jusac Said Rp116.000.000 dan pada bulan Desember 2018 di rumah Dinas Walikota Ambon, terdakwa menerima uang dari Kepala Dinas Perhubungan kota Ambon, Robert Sapulette Rp8.000.000.

Sementara dari rekanan Richard diketahui menerima uang sebesar Rp.7.398.050.000 dengan rincian  menerima dari Pemilik PT Hoatyk, Victor Alexander Loupatty, sebesar Rp.342.500.000 yang diberikan secara bertahap.

Selanjutnya dari Direktur Utama PT Azriel Perkasa Sugeng Siswanto sebesar Rp.55.000.000, kontraktor Benny Tanihattu USD 2.500 atau Rp.34.950.000, Direktur CV Waru Mujiono Andreas Rp.50.000.000.

Kemudian dari pemilik Toko Buku NN Sieto Nini Bachry Rp.50.000.000, dari Tan Pabula Rp.85.000.000, dan Direktur CV Glen Primanugrah Thomas Souissa Rp70.000.000.

Berikutnya, Direktur CV Angin Timur Anthoni Liando Rp740.000.­000, Komisaris PT Gebe Industri Nikel Maria Chandra Pical Rp250.­000.000, Kontraktor Yusac Harianto Lenggono Rp.50.000.000, Direktur Talenta Pratama Mandiri Petrus Fatlolon Rp100.000.000 dan pemilik AFIF Mandiri Rakib Soamole sebesar Rp165.000.000.

RL juga menerima uang dari Apotek Agape Mardika Rp.20.­000.000, Direktur PT Karya Lease Abadi Fahri Anwar Solikhin sebesar Rp.4.900.000.000, Yanes Thenny Rp.50.000.000 dan Novry E Warella sebesar Rp.435.600.000.

Selain penerimaan langsung terdakwa juga menerima uang se­besar Rp3.037.000.000 melalui ter­dakwa Andrew Erin Hehanussa de­ngan rincian dari ASN sebesar Rp1.466.250.000 dan rekanan sebesar Rp1.216.250.000.

Selain gratifikasi, RL juga dijerat kasus penerimaan hadiah dari PT Midi Utama Indonesia terkait izin prinsip pembangunan sejumlah gerai di Kota Ambon. Dalam kasus ini,RL diketahui menerima uang fee sebesar Rp500.000.000.

JPU menjelaskan pada tahun 2019 PT Midi Utama Indonesia  bermak­sud untuk mengembangkan usaha retail dengan membangun gerai  atau toko alfamidi di Kota Ambon, dimana dalam proses pembangu­nan­nya diperluka beberapa per­ijinan diantarannya ijin prinsip dari terdakwa RL selaku Walikota Ambon.

Selanjutnya Solihin selaku kuasa direksi PT MUI atas masukan Agus Toto Ganefgian selaku GM license PT MUI menunjuk terdakwa Amri untuk melakukan pengurusan perijinan dengan alasan terdakwa Amri sudah berpengalaman.

Saat itu terdakwa mengajukan biaya untuk perngurusan ijin setiap titik atau lokasi sebesar Rp.125.­000.000 yang sumber dananya berasal dari PT MUI.

JPU menyebutkan, pada Juli 2019 terdakwa Amri dan License Manager PT MUI cabang Ambon Nandang Wibowo melakukan pertemuan dengan terdakwa RL dan Terdakwa Andrew Erin di Kantor Walikota Ambon, terkait pembukaan gerai toko yang kemudian di setujui RL yang meminta terdakwa Andrew untuk mempercepat proses pener­bitan izin.

Selanjutnya terdakwa Andrew meminta terdakwa Amri dan Nan­dang Wibowo terkait kelancaran administrasi.

Berikutnya, pada tanggal 23 Juli 2019, PT MUI mengajukan permo­honan izin prinsip pendirian 27 gerai, dan pada hari yang sama juga RL menerbitkan surat perihal perse­tujuan prinsip pembangunan gerai Alfamidi, tanpa ada kajian dari dinas terkait.

Parahnya lagi pada bulan September, pihak PT MUI kembali menemui RL untuk maminta tambahan gerai. Lagi-lagi RL  menerbitkan persetu­juan prinsip pembagunan tanpa ada kajian dari dinas terkait.

Setelah izin prinsip terbit, ter­dakwa Amri memberikan uang secara bertahap berjumlah Rp500.000.000 kepada terdakwa RL melalui ter­dakwa Andrew Erin.

Usai membacakan dakwaan ketiga terdakwa melalui kuasa hukumnya menerima isi dakwaan dengan tidak mengajukan eksepsi atas dakwaan tersebut, sehingga majelis hakim selanjutnya menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda men­dengar keterangan saksi.(S-10)