Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei dan data sementara yang terangkum sudah jelas siapa yang menjadi pemenang dalam pilkada serentak 9 Desember 2020 di Kabupaten Maluku Barat Daya, Buru Selatan, Kepulauan Aru dan Kabupaten Seram Bagian Timur.

Di Kabupaten Maluku Barat Daya pasangan Benyamin Noach-Agustinus L. Kilikili berada di puncak perolehan suara sementara. Pasangan Safitri Malik Soulissa-Gerson Selsily juga unggul di Kabupaten Buru Selatan. Begitupun dengan Johan Gonga-Muin Sogalrey di Kabupaten Kepulauan Aru dan pasangan Abdul Mukti Keliobas-M Idris Rumalutur yang juga unggul dalam perolehan suara.

Memang hasil akhir akan ditentukan dalam tahapan rekapitulasi di KPU. Mungkin angka perolehan suara akan bergeser. Namun tidak terlalu signifikan. Perubahan jumlah suara tak akan merubah posisi pemenang.

Boleh saja ada yang mengklaim terjadi kecurangan. Seperti PDIP yang menghembus isu adanya terjadinya kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif di Kabupaten Seram Bagian Timur. Tak ada yang melarang untuk mengklaim terjadinya kecurangan, yang penting ada bukti. Jangan menciderai masyarakat dengan membangun opini sesat.

Bupati Buru Selatan Tagop Sudarsono Soulisa meminta kepada masyarakat dan stakeholder untuk menjaga kondisi kamtibmas pasca pilkada. Memang permintaan Bupati Tagop untuk masyarakat dan pemangku kepentingan di Kabupaten Buru Selatan. Tetapi setidaknya hal ini juga menjadi inspirasi bagi masyarakat dan para pemangku kepentingan di tiga kabupaten lainnya.

Baca Juga: Ajakan Legowo Terima Hasil Pilkada

Kondisi Kamtibmas harus menjadi yang utama. Jangan karena kepentingan politik lalu kamtibmas dirusak. Ini yang tidak boleh terjadi. Kalau memang merasa dirugikan karena ada dugaan kecurangan, silakan menempuh cara elegan. Undang-undang memberikan ruang untuk mempersoalkan hasil pilkada yang nantinya ditetapkan KPU. Mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) jalurnya.

Namun demikian, tidak semua gugatan yang akan diproses MK. Berdasarkan Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020 tentang Tata Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi jika gugatan sengketa Pilkada yang diajukan ingin diproses MK. Diantaranya adalah syarat selisih suara.

Dalam Lampiran V Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020 itu dijelaskan mengenai persyaratan selisih suara yang bisa digugat ke MK. Untuk provinsi dengan penduduk kurang dari 2 juta jiwa, gugatan bisa diajukan bila selisih perolehan suara paling banyak sebesar 2 persen dari total suara sah. Provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta-6 juta jiwa, gugatan bisa diajukan bila selisih perolehan suara paling banyak sebesar 1,5 persen dari total suara sah.

Kemudian untuk provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta-12 juta jiwa, gugatan bisa diajukan bila selisih perolehan suara paling banyak sebesar 1 persen dari total suara sah. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta jiwa, gugatan bisa diajukan bila selisih perolehan suara paling banyak sebesar 0,5 persen dari total suara sah.

Lalu bagaimana dengan kabupaten dan kota? Untuk kabupaten/kota dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu jiwa, gugatan bisa diajukan bila selisih perolehan suara paling banyak sebesar 2 persen dari total suara sah.

Kemudian untuk kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 250 ribu jiwa-500 ribu jiwa, gugatan bisa diajukan bila selisih perolehan suara paling banyak sebesar 1,5 persen dari total suara sah. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500 ribu jiwa- 1 juta jiwa, gugatan bisa diajukan bila selisih perolehan suara paling banyak sebesar 1 persen dari total suara sah.

Sementara untuk kabupaten/kota dengan jumlah lebih dari 1 juta jiwa, gugatan bisa diajukan bila selisih perolehan suara paling banyak sebesar 0,5 persen dari total suara sah.

Bila selisih suara di luar rentang perhitungan di atas, MK dipastikan tidak akan menerima permohonan gugatan yang diajukan oleh kontestan manapun.

MK hanya akan mengadili gugatan terkait perselisihan suara. Hal itu sesuai dengan tugas dan wewenang MK yang diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang kemudian diubah dengan UU Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Di luar gugatan terkait perselisihan suara, misalnya gugatan kecurangan pemilu, bisa diajukan lewat jalur non-MK, seperti Bawaslu, DKPP, Pengadilan Tata Usaha Negara atau pidana, yakni lewat Kepolisian.

Langkah hukum adalah hak setiap pasangan. Tetapi kalau tak punya bukti kuat sebaiknya tidak perlu repot-repot untuk ke MK. Hormati pilihan rakyat. Yang namanya pejuang harus berjiwa besar menerima kekalahan dalam kompetisi. (*)