BAGAIKAN kecelakaan beruntun di jalan bebas hambatan, Program for International Student Assessment (PISA) score yang lambat diseruduk oleh World University Ranking (WUR) yang sarat muatan, dan akhirnya global innovation index (GII) terperosok menimpa negeri. Karena itu, dalam waktu lama Indonesia akan terjerumus ke dalam jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap/MIT) jika sektor pengetahuan (knowledge sector) tidak segera dibenahi.

Selama Indonesia masih mengandalkan pertumbuhan ekonominya dari sumber daya alam (resource based)– sementara sumber daya alam makin menipis, sedangkan sumber daya manusianya tidak tertangani dan rata-rata manusia Indonesia tidak makin pintar–maka keterpurukan ini akan membuat kecemasan kita dalam menggapai Indonesia Emas beralasan.

Kinerja sektor pengetahuan

Terpuruknya skor PISA yang sudah ditengarai sejak 2003 bukan hal yang sepele. Penilaian terhadap kemampuan siswa yang berusia sekitar 15 tahun dalam aspek literasi (membaca dan mengerti), numerasi (matematika), dan pemahaman sains ini dilakukan 3 tahun sekali.

Sejak awal, skor PISA siswa kita menduduki peringkat 5-7 dari bawah, bahkan skor terakhir sebelum pandemi covid-19 masih pada posisi 74 dari 80 negara yang dinilai OECD. Tidak mengherankan kalau Menteri Dikbud-Ristek pesimistis akan membaik, dan meminta maaf kalau hasil penilaian tahun lalu (yang sempat tertunda) akan tetap buruk.

Baca Juga: Krisis Konstitusi, Reformasi Kembali ke Titik Nol

WUR kelihatannya terdampak langsung dan menanggung beban PISA. Jika scoring PISA sudah dilakukan 20 tahun yang lalu, sudah barang tentu di antara lulusan sekolah itu sudah banyak yang menjadi mahasiswa, bahkan mungkin menjadi doIlussen yang universitas atau perguruan tinggi (PT)-nya dinilai dengan sistem pemeringkatan (ranking system) yang akhir-akhir ini cukup diminati. Di antaranya Times Higher Education (THE) yang menggunakan belasan indikator yang dikelompok dalam empat metriks, yaitu pengajaran, riset, transfer pengetahuan, dan kinerja internasional.

Selain itu, ada pula pemeringkatan yang dilakukan oleh analis pendidikan Quacquarelli Symonds (QS), yang menggunakan metriks tambahan seperti keberlanjutan, lapangan kerja, dan jejaring riset internasional. Singkat cerita, peringkat PT kita menunjukkan hasil yang masih jauh dari harapan. Di antara 1.500-an PT yang dinilai, lima PT Indonesia terbaik pun masih banyak yang harus dikerjakan karena baru menduduki peringkat pada selang 500 hingga 250 besar dunia.

Muara terakhir dari produk sektor pengetahuan ialah GII yang tidak hanya menggambarkan kualitas pendidikan, tetapi juga infrastruktur pendukungnya yang dirancang untuk menumbuhkan ekonomi melalui penelitian dan pengembangan (litbang) yang terencana dengan target yang jelas di dunia yang makin kompetitif.

Litbang yang terkait langsung dengan dunia usaha dan dunia industri dalam beberapa tahun terakhir didominasi oleh teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Dari sisi ini pun, GII Indonesia menduduki peringkat 61 dari 132 negara yang dinilai. Cukup jauh dari Vietnam yang berada di peringkat 46. Vietnam perlu disebut di sini karena negara ini baru bebas dari peperangan dan menyatu lebih dari 30 tahun setelah Indonesia merdeka, yakni tahun 1976.

Perbaikan ketiga indikator kinerja sektor pangetahuan di atas jelas memerlukan kerja keras berjangka panjang yang konsisten dan terukur untuk mengembalikan arah pembangunan sektor ini ke rel yang benar. Satu-satunya perangkat hukum yang dapat melancarkan implementasinya ialah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, yang dirinci secara teknokratis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) setiap lima tahun.

Indonesia Emas 2045

Banyak kalangan membicarakan harapan dan cita-cita mencapai Indonesia Emas 2045, termasuk pasangan capres dan cawapres. Sementara itu, kalangan lain agak galau karena Indonesia sudah lama berada dalam jebakan MIT yang berkepanjangan. Indonesia telah ditinggalkan Jepang dan 4 macan Asia, yaitu Singapura, Korea Selatan, Hong Kong, dan Taiwan, yang sudah lolos dari MIT sejak 2010. Bahkan Malaysia pun sudah lolos sejak tahun lalu.

Menurut Bank Dunia, negara yang memiliki produk domestik bruto (PDB) per kapita US$1.000-US$12.000 tergolong dalam kategori dengan produktivitas menengah. Dengan PDB per kapita sebesar US$4.783, Indonesia masih terjebak dalam MIT.

Untuk keluar dari jebakan ini, ekonomi Indonesia harus tumbuh paling sedikit sebesar 7%. Karena itu, produktivitas dan daya saing produk Indonesia harus ditingkatkan. Syaratnya, pertumbuhan itu harus tidak lagi mengandalkan sumber daya alam (natural resource based). Pertumbuhan harus didorong oleh peningkatan sektor pengetahuan.

Produktivtas (kuantitas) dan daya saing (kualitas) barang-barang ekspor Indonesia harus ditingkatkan melalui hilirisasi yang terjaga kualitasnya. Kita tidak bisa lagi hanya menjual bahan mentah yang nilainya masih rendah.

Untuk mencapai semuanya itu, Indonesia harus membangun kembali dan mengatasi ketertinggalan dalam sektor pengetahuan. Ekonomi yang kreatif memerlukan generasi muda yang gesit (agile) dan mampu bersaing (competitive) melalui produk barang dan jasa yang tidak biasa, termasuk ICT dan teknologi digital lainnya.

Membangun Indonesia Emas dengan karakteristik PDB tinggi perlu diplotkan pada peta demografi yang akurat. Membangun dengan dasar RPJPN dan RPJMN tidak boleh dilakukan dengan cara yang biasa-biasa saja (business as usual) seperti rencana masa lalu. Dunia sudah berlari, dan dalam mengatasi ketertinggalan itu banyak hal yang lepas dari perhatian dan tercecer di jalan. Koreksi mendasar dan konkret perlu dilakukan pada sektor pengetahuan.

Mendidik guru

Generasi baby boomer masih ingat bagaimana kreativitas guru-guru sekolah dasar dan menengah di tengah impitan masalah ekonomi saat itu. Tanpa bermaksud merendahkan kreativitas guru-guru kita saat ini, seandainya mereka dididik oleh generasi baby boomer yang berorientasi pada pengembangan sektor pengetahuan, boleh jadi skor PISA anak-anak kita sudah dientaskan balasan tahun yang lalu.

Akar masalah rendahnya kualitas pendidikan dasar dan menengah yang dicerminkan oleh skor PISA yang rendah ialah kelangkaan guru berkualitas. Di sisi lain, kita masih sering melihat praktik KKN yang marak dalam perekrutan guru. Guru harus dididik dan direkrut secara meritokratis atau berdasarkan kemampuan dan kapasitas mereka.

Pemerintah baru nanti harus berani menerobos kebuntuan ini. Calon guru harus dididik dan dibina secara nasional dalam program nasional yang masif dan inklusif. Jika perlu, SPG dan IKIP dihidupkan kembali. Wibawa dan harga diri guru harus dikembalikan oleh pemerintah yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Guru adalah profesi yang sangat terhormat dengan penggajian yang sangat menarik dan kompetitif. Dengan demikian, stagnasi kinerja sektor pengetahuan dan tabrakan beruntun menuju jalan tol Indonesia Emas 2045 dapat dihindarkan. Oleh: Daniel Murdiyarso, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). (*)