AMBON, Siwalimanews – Mantan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy divonis ringan oleh majelis hakim Pengadilan Tipokor Ambon, Kamis (9/2).

RL sapaan akrab mantan walikota dua periode itu, divonis 5 tahun penjara, lebih ringan 3,6 tahun, dari tuntutan jaksa Komisi Pemberan­tasan Korupsi yang menuntutnya 8,6 tahun penjara.

Kendati begitu, RL belum boleh bernafas lega, karena dari rangkaian penyelidikan, KPK menemukan sejumlah fakta yang mengarah ke tindak pidana pencucian uang yang dilakukan mantan orang nomor satu di Kota Ambon itu.

Karenanya KPK langsung mene­tapkan RL sebagai tersangka TPPU.

“Untuk kasus TPPU yang ber­sang­kutan sudah kita tetapkan se­bagai tersangka,” ujar Ketua Tim JPU KPK, Taufiq Ibnugroho kepada wartawan di Pengadilan Negeri Ambon, Kamis (9/2).

Baca Juga: Bocah 12 Tahun Tewas di Tangan Teman Sendiri

Putusan Hakim

Dalam amar putusan majelis hakim yang diketuai Wilson Shiver, mantan Ketua DPRD Maluku itu dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersama melakukan tindak pidana berupa suap dan gratifikasi, seba­gai­mana diatur dalam pasal 12C ayat (2) UU Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebaimana telah diubah de­ngan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Ta­hun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain pidana badan, RL juga divonis membayar denda sebesar 500 juta rupiah, subside satu tahun penjara.

RL juga divonis membayar uang pengganti sebesar Rp.8.045.910.000 dengan ketentuan jika tidak mampu membayar diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.

Hakim berpendapat hal yang mem­beratkan, RL tidak peka terhadap program pemerintah tentang pembe­rantasan korupsi, selain itu selaku Walikota, RL tidak memberikan contoh yang baik bagi masyarakat serta telah menerima gratifikasi se­besar Rp.8.045.910.000 dan tidak melaporkan.

Sementara hal yang meringankan, RL tidak pernah dihukum sebelum­nya.

Selain RL, anak buahnya, Andre Erin Hehanusa juga divonis bersa­lah. Orang kepercayaan RL ini divo­nis 2.6 tahun penjara, denda Rp.200 juta subsider 3 bulan penjara.

Atas putusan tersebut kedua ter­dakwa dan penasehat hukum mau­pun JPU KPK menyatakan pikir-pikir.

Vonis hakim ini lebih ringan diban­dingkan dengan tuntutan Jaksa KPK, yang menuntut RL dengan pidana 8,6 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider 1 tahun penjara, serta membayar uang pengganti se­besar Rp8.045.000.000 dengan ke­ten­tuan jika tidak mampu membayar, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.

Tersangka TPPU

Belum lolos dari jeratan kasus gratifikasi dan suap, mantan Wali­kota Ambon Richard Louhenapessy yang baru divonis 5 tahun penjara, kembali tersandung kasus lain.

Dari sejumlah rangkaian penyeli­dikan KPK menemukan sejumlah fakta yang mengarah ke tindak pi­dana pencucian uang yang dilaku­kan mantan orang nomor satu di Kota Ambon itu.

Dalam kasus TPPU ini KPK kem­bali menetapkan RL sebagai ter­sangka.

“Untuk kasus TPPU yang ber­sangkutan (Richard Louhenapessy-red) sudah kita tetapkan sebagai tersangka,” ungkap Ketua Tim JPU KPK, Taufiq Ibnugroho.

Ditanya soal berapa nilai TPPU yang sementara diusut, Taufiq belum bisa menyebutkan lantaran masih dalam pengembangan. “Soal itu prosesnya masih terus dikem­bangkan,” tandasnya.

Untuk mengusut lebih jauh kasus ini, pihak KPK akan melakukan sejumlah pemeriksaan termasuk pemeriksaan saksi saksi.

“Proses sementara jalan termasuk sejumlah pemeriksaan,” jelas Taufiq.

Sementara itu, juru bicara KPK, Ali Fikri yang coba dikonfirmasi, belum merespon panggilan telepon.

Dituntut 8,6 Tahun

Sebelumnya RL dituntut 8,6 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum KPK.

Tuntutan itu dibacakan dalam persidangan yang digelar di Peng­adilan Tipikor, pada Pengadilan Negeri Ambon, Selasa (17/1) malam.

Selain hukuman badan, KPK juga menuntut RL membayar denda sebesar Rp500 juta subsider 1 tahun penjara.

Mantan Ketua DPRD Maluku ini juga dituntut membayar uang peng­ganti sebesar Rp8.045.000.000 de­ngan ketentuan jika tidak mampu membayar, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.

Dalam persidangan yang diketuai majelis hakim Wilson Shiver itu, tim JPU KPK yang dipimpin Taufiq Ibnugroho menyatakan, perbuatan RL sapaan akrab Richard yang mela­kukan suap dan gratifikasi dalam kasus Persetujuan Izin Prinsip Pem­bangunan Alfamidi tahun 2020 di Kota Ambon, terbukti lewat sejum­lah bukti berupa keterangan saksi.

Selain itu, apa yang disampaikan RL tidak pernah dilaporkan ke KPK dalam kurun 30 hari kerja sejak di­terima gratifikasi sebagaimana diatur dalam pasal 12C ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberanta­san Tindak Pidana Korupsi sebagai­mana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun1999 ten­tang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Karena itu, lanjut KPK, seluruh pe­nerimaan uang tersebut merupa­kan gratifikasi yang diterima ter­dakwa yang tidak ada alas hak yang sah menurut hukum.

Selain RL, anak buahnya yakni Andre Erin Hehanusa juga tak luput dari tuntutan jaksa.

Orang kepercayaan RL yang turut terlibat menjadi jembatan aliran suap masuk ke RL ini dituntut 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta sub­sider 3 bulan penjara.

Sidang kemudian ditunda majelis hakim pada Jumat (27/1) depan de­ngan agenda pembelaan/pledoi ter­dakwa.

Minta Keringanan

Mantan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy menilai, tuntutan 8,6 tahun dari jaksa KPK tidaklah sesuai dengan fakta-fakta persidangan, karenanya dirinya meminta keringa­nan hukuman.

Permintaan keringanan hukuman tersebut disampaikan, penasehat hukum RL, sapaan akrab Richard Louhenapessy dalam sidang lan­jutan di Pengadilan Tipikor Ambon, Kamis (2/2) dengan agenda persi­dangan pembacaan nota pembe­laan/pledoi terdakwa.

Penasehat hukum mantan Ketua DPRD Maluku itu berpendapat, KPK keliru dan tidak cermat dalam  me­ngeluarkan tuntutan.

“Kami menilai jaksa KPK keliru  dan tidak cermat dalam menge­luarkan tuntutan, harusnya mereka berdasar pada fakta dalam persi­dangan,” ungkap Edo Diaz, pena­sehat hukum RL kepada wartawan di Ambon, Kamis (2/2).

Terima Aliran Dana 

RL didakwa jaksa penuntut umum KPK menerima aliran dana mencapai Rp 11 miliar, dari aparatur sipil negara dan sejumlah pengusaha.

Sidang dengan agenda pemba­caan dakwaan oleh JPU KPK itu dipimpin hakim Nanang Zulkarnain Faisal dan digelar secara online, yang menghadirkan RL dari Gedung KPK di Jakarta.

Mantan Ketua DPRD Maluku itu didakwa atas dua kasus yaitu, pe­nerbitan izin prinsip gerai Alfamidi di wilayah Kota Ambon serta gra­tifikasi.

Selain mantan walikota dua periode Kota Ambon ini diadili, anak buahnya, Andre Erin Hehanusa, dan Perwakilan Alfamidi Cabang Ambon, Amri.

Tim JPU KPK yang diketuai Tau­fiq Ibnugroho membeberkan aliran dana yang mengalir ke kantong mantan Ketua DPRD Maluku itu sebesar Rp11 miliar.

JPU mengungkapkan, terdakwa RL selaku Walikota Ambon pada tahun 2011 sampai bulan Maret 2022 melakukan dan turut serta mela­kukan beberapa perbuatan yang harus dipandan sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan.

JPU menyebutkan, terdakwa me­nerima gratifikasi yaitu, selaku walikota secara langsung maupun tidak langsung telah menerima uang yang seluruhnya berjumlah Rp11. 259.960.000 yang berhubungan de­ngan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.

Aliran dana dengan jumlah fantastis itu diketahui diterima dari be­berapa ASN pada Pemkot Ambon dan para rekanan atau kontraktor.

Pada tahun 2011 sampai Maret 2022 terdakwa menerima uang lang­sung berjumlah Rp8.222.250.000.

Dari ASN uang yang diterima Rp824.200.000 dengan rincian menerima dari Alfonsus Tetepta selaku Plt Direktur PDAM Kota Ambon sebesar Rp260.000.000, dari kepala Dinas PUPR Enrico Matita­puty sebesar Rp150.000.000.

Berikutnya, dari mantan Kadis Pendidikan Fahmi Sllatalohy se­besar Rp240.000.000, Kepala Badan Pe­ngeluaran dan Aset Daerah, Ro­berth Silooy Rp50.200.000, Kepala Bidang Lalu lintas Dinas Perhubungan Kota Ambon Izack Jusac Said Rp116. 000.000 dan pada bulan Desember 2018 di rumah Dinas Walikota Ambon, terdakwa menerima uang dari Kepala Dinas Perhubungan kota Ambon, Robert Sapulette Rp8.000. 000.

Sementara dari rekanan Richard diketahui menerima uang sebesar Rp.7.398.050.000 dengan rincian  menerima dari Pemilik PT Hoatyk, Victor Alexander Loupatty, sebesar Rp.342.500.000 yang diberikan secara bertahap.

Selanjutnya dari  Direktur Utama PT Azriel Perkasa Sugeng Siswanto sebesar Rp.55.000.000, kontraktor Benny Tanihattu USD 2.500 atau Rp.34.950.000, Direktur CV Waru Mujiono Andreas Rp.50.000.000.

Kemudian dari pemilik Toko Buku NN Sieto Nini Bachry Rp.50.000.000, dari Tan Pabula Rp.85.000.000, dan Direktur CV Glen Primanugrah Thomas Souissa Rp70.000.000.

Berikutnya, Direktur CV Angin Timur Anthoni Liando Rp740.000. 000, Komisaris PT Gebe Industri Nikel Maria Chandra Pical Rp250. 000.000, Kontraktor Yusac Harianto Lenggono Rp.50.000.000, Direktur Talenta Pratama Mandiri Petrus Fatlolon Rp100.000.000 dan pemilik AFIF Mandiri Rakib Soamole sebe­sar Rp165.000.000.

RL juga menerima uang dari Apotek Agape Mardika Rp.20.000. 000, Direktur PT Karya Lease Abadi Fahri Anwar Solikhin sebesar Rp.4. 900.000.000, Yanes Thenny Rp.50. 000.000 dan Novry E Warella sebesar Rp.435.600.000.

Selain penerimaan langsung ter­dakwa juga menerima uang sebesar Rp3.037.000.000 melalui terdakwa Andrew Erin Hehanussa dengan rincian dari ASN sebesar Rp1.466. 250.000 dan rekanan sebesar Rp1. 216.250.000.

Terdakwa juga menerima dari Karen Dias Rp811.460.000, kemudian melalui Hervianto Rp75.000.000 dan Imanuel Arnold Noya Rp150.000. 000.

Selain gratifikasi, RL juga dijerat kasus penerimaan hadiah dari PT Midi Utama Indonesia terkait izin prinsip pembangunan sejumlah gerai di Kota Ambon. Dalam kasus ini, RL diketahui menerima uang fee sebesar Rp500.000.000.

JPU menjelaskan pada tahun 2019 PT Midi Utama Indonesia  bermak­sud untuk mengembangkan usaha retail dengan membangun gerai  atau toko alfamidi di kota Ambon, dimana dalam proses pembangu­nannya diperlukan beberapa periji­nan diantarannya ijin prinsip dari terdakwa RL selaku Walikota Ambon.

Selanjutnya Solihin selaku kuasa direksi PT MUI atas masukan Agus Toto Ganefgian selaku GM license PT MUI menunjuk terdakwa Amri untuk melakukan pengurusan per­ijinan dengan alasan terdakwa Amri sudah berpengalaman.

Saat itu terdakwa mengajukan biaya untuk perngurusan ijin setiap titik atau lokasi sebesar Rp.125.000. 000 yang sumber dananya berasal dari PT MUI.

JPU menyebutkan, pada Juli 2019 terdakwa Amri dan License Manager PT MUI cabang Ambon Nandang Wibowo melakukan pertemuan de­ngan terdakwa RL dan Terdakwa Andrew Erin di Kantor Walikota Am­bon, terkait pembukaan gerai toko yang kemudian di setujui RL yang meminta terdakwa Andrew untuk mempercepat proses penerbitan izin.

Selanjutnya terdakwa Andrew meminta terdakwa Amri dan Nandang Wibowo terkait kelancaran administrasi.

Berikutnya, pada tanggal 23 Juli 2019, PT MUI mengajukan permo­ho­nan izin prinsip pendirian 27 gerai, dan pada hari yang sama juga RL menerbitkan surat perihal persetu­juan prinsip pembangunan gerai Alfamidi, tanpa ada kajian dari dinas terkait.

Parahnya lagi pada bulan September, pihak PT MUI kembali menemui RL untuk maminta tambahan gerai. Lagi-lagi RL menerbitkan persetu­juan prinsip pembagunan tanpa ada kajian dari dinas terkait.

Setelah izin prinsip terbit, ter­dakwa Amri memberikan uang secara bertahap berjumlah Rp500.000.000 kepada terdakwa RL melalui ter­dakwa Andrew Erin. (S-10)