DI tengah pandemi covid-19, muncul sejumlah mafia. Mereka mengambil kesempatan untuk menangguk untung sebesar-besarnya dari orang sakit atau penderita covid-19. Salah satunya ialah mafia alat kesehatan (alkes) yang membuat peralatan menjadi langka di pasar. Dengan kelangkaan itu, mereka bisa mendongkrak harga gila-gilaan. Karena itu, Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Irman berniat menggandeng Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk menggulung mafia alkes tersebut (Media Indonesia, 28/7). Perilaku mereka memang di luar nalar sehat karena sengaja memainkan pasar dengan menciptakan situasi kelangkaan alat kesehatan agar bisa mematok harga tinggi. Setelah oksigen tersedia cukup di pasar, misalnya, kini pedagang memainkan harga tabung. Harga tabung ukuran 1 meter mereka jual dengan harga Rp2,5 juta. Padahal, harga sebelum pandemi cuma Rp300 ribu. Menurut laporan, polisi telah membongkar beberapa kasus penimbunan tabung oksigen itu. Penderita covid-19 yang meninggal pun sempat dilaporkan menjadi ‘sasaran’ mafia kremasi.

Dengan narasi terjadi antrean panjang berhari-hari menunggu proses perabuan di krematorium, mereka mendongkrak harga gila-gilaan. Tarif kremasi normal di sejumlah krematorium swasta berada pada kisaran Rp8 juta sampai Rp15 juta. Namun, di tangan mafia itu, tarifnya didongkrak menjadi Rp80-an juta. Sebelum terjadi krisis tabung oksigen dan kremasi, sempat terjadi kelangkaan obat covid-19 dan harganya pun melejit. Seolah ini sebagai trik pedagang yang menumpuk obat tersebut agar bisa mengerek harga lebih tinggi lagi di tengah permintaan obat pasien covid-19 yang meledak sejak awal Juli lalu. Ledakan pasien bukan hanya yang dirawat di rumah sakit, melainkan juga mereka yang melakukan isolasi mandiri (isoman). Lonjakan jumlah pasien dan isoman ini menjadi sasaran empuk para pedagang untuk memainkan harga. Untuk mengatasi mafia obat terse­but, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menetapkan pembatasan harga atau HET (harga eceran tertinggi) 11 jenis obat covid-19 dalam masa pandemi, Sabtu (3/7). Sebelum pembatasan harga obat yang baru dari Menkes tersebut, sebenarnya sudah ada HET yang tertulis di kemasan tiap obat. Oseltamivir, misalnya, HET-nya tertulis Rp20.185 per kapsul. Namun, ketika terjadi ‘krisis obat’ pandemi, obat jenis itu dijual di pasar dengan harga Rp50 ribu–Rp60 ribu. Kini, pemerintah menetapkan HET baru Rp26 ribu. Untuk favipiravir 200 mg yang sempat dipasarkan antara Rp80 ribu dan Rp85 ribu per tablet, pemerintah memangkasnya dengan HET menjadi Rp22.500.

Azithromycin dijual Rp17.500-Rp20.000. Berdasarkan HET terbaru jenis ini, harganya Rp1.700 per tablet. Ivermectin 12 mg, yang lagi naik daun, beberapa hari ini justru sulit ditemukan di pasar. Kalau toh ada, harganya di atas Rp250 ribu-Rp300 ribu per setrip atau Rp25 ribu per tablet. Pemerintah menetapkan HET obat cacing yang diyakini ampuh untuk covid-19 itu Rp7.500 per tablet atau Rp75 ribu per setrip. Agar obat covid-19 tidak melejit, 11 jenis obat untuk covid-19 dikendalikan. Penetapan HET merupakan kebijakan pemerintah untuk menjinakkan harga obat. Bahwa obat tidak bisa diperdagangkan dengan mekanisme pasar bebas seperti barang kebutuhan yang lain. Produsen dan pedagang tidak bisa sesuka hati menaikkan harga obat agar bisa mengeruk untung besar.

Orang sakit, konsumen kepepet Orang sakit yang mencari obat secara harafiah memang boleh dibilang sebagai konsumen. Artinya, kalau diartikan seperti itu, orang sakit mendapatkan perlindungan sebagai konsumen seperti tercantum dalam UU Perlindungan Konsumen (1999). Para produsen dan penjual obat dalam kasus melejitnya harga obat belakangan ini memperlakukan orang sakit sesuai dengan peraturan hukum itu, yaitu sebagai konsumen barang. Menurut UU Perlindungan Konsumen, konsumen adalah setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia di dalam masyarakat (Pasal 1 butir 2). Orang sakit yang mencari obat atau tabung oksigen, atau korban meninggal akibat covid-19 yang mencari krematorium atau permakaman, bisa disebut sebagai konsumen. Namun, tampaknya sudut pandang itu terlalu sempit untuk mengatakan orang sakit atau orang mati sebagai konsumen, seperti konsumen barang-barang lain dalam aturan pasar bebas. Orang sakit, apalagi penderita covid-19 yang jumlahnya meledak selama Juli ini, sebenarnya konsumen yang kepepet. Mereka terpaksa harus mendapatkan obat untuk kesembuhan sebagai penderita. Mereka juga kepepet harus membeli tabung dan oksigen untuk menolong penderita yang sulit bernapas. Untuk orang meninggal yang memerlukan permakaman atau kremasi juga mendesak untuk segera dimakamkan atau diperabukan. Baik pihak pabrik obat, distributor atau pedagang obat, maupun penyelenggara kremasi memang punya alasan untuk memandang mereka sebagai konsumen. Bisnis obat menghitung untung rugi dan mengikuti mekanisme pasar. Kalau permintaan meningkat dan suplai terbatas, harga pun naik. Demikian pula tabung oksigen dan jasa kremasi. Namun, ada batas yang jelas untuk wacana tentang orang sakit sebagai konsumen. Masalahnya, hubungan orang sakit dan obat atau jasa itu tidak sama dengan hubungan konsumen dan barang yang dipasarkan dalam ekonomi pasar bebas. Ada perbedaan mencolok. Orang yang tampil sebagai konsumen dapat memilih tempat berbelanja atau memilih tipe barang apa yang akan dibelinya dan banyak alternatif di pasar.

Dalam mekanisme pasar, konsumen bebas memilih dan menentukan dalam membeli barang dan bisa menawar. Ada kesepakatan antara pembeli dan penjual. Orang yang mau membeli sepeda motor merek tertentu, misalnya, bisa memilih sesuai dengan selera dan uang di kantong. Tipe, warna, ukuran mesin, dan lain-lain bisa dipilihnya. Bahkan, kalau barang yang tersedia di suatu toko belum sesuai dengan seleranya, konsumen bisa menunda membeli atau mencari merek lain yang lebih cocok atau bisa juga menunda atau membatalkan membeli sepeda motor itu. Orang sakit tak punya banyak pilihan dan tidak menikmati kebebasan sebagai kosumen di pasar. Seperti kasus pasien covid-19, mereka perlu segera mendapatkan obat. Kalau tidak cepat memperoleh obat, dia bisa mati. Obat yang dicari juga terbatas, tidak banyak pilihannya. Bahkan jenis obat yang akan dibeli sudah ditetapkan dalam resep dokter. Jadi, orang sakit tidak memiliki kebebasan memilih seperti konsumen dalam pasar bebas. Orang sakit tidak bisa disejajarkan sebagai konsumen barang kebutuhan. Orang sakit memiliki kemendesakan untuk memperoleh obat. Pasien membutuhkan oksigen karena napasnya sudah sesak. Kalau tidak segera mendapatkan obat atau oksigen, ada ancaman atau risiko kematian.

Baca Juga: PEMERINTAH HARUS MEMPERCEPAT VAKSINASI KETIGA BAGI NAKES

Hak sosial orang sakit Setiap orang sakit pada dasarnya punya hak untuk mendapatkan pelayanan rumah sakit atau mendapatkan obat. Hak itu dalam ilmu etika disebut sebagai hak sosial. Orang sakit harusnya bisa mendapatkan obat dengan harga yang wajar untuk kesembuhan sakitnya. Hak sosial itu perlu dijamin ketentuan publik atau diatur sedemikian rupa agar setiap orang yang sakit bisa mendapatkan obat dengan mudah dan dengan harga yang wajar. Ketentuan HET obat covid-19 seperti disebut di atas boleh dibilang sebagai salah satu bentuk pemenuhan hak sosial bagi orang sakit. Pengaturan dari pemerintah itu dimaksudkan agar produsen dan pedagang obat tidak memberlakukan obat sebagai consumers goods yang bisa diperdagangkan di pasar bebas. Pengusaha dan pedagang obat memang berhak mendapatkan keuntungan. Namun, tidaklah etis kalau mereka memanfaatkan kemendesakan orang sakit dengan melejitkan harga obat sesuka hati menangguk keuntungan. Mungkin pemerintah layak memikirkan untuk melindungi hak sosial dari orang sakit, seperti dalam kasus pasien covid-19 dalam masa PPKM darurat kali ini. Mereka tiba-tiba dicekik harga obat yang gila-gilaan dan dipermainkan dengan ‘menghilangkan’ obat di pasar. Pemerintah diharapkan bisa merumuskan ketentuan agar para pelaku usaha dan pedagang obat-obatan tidak berperilaku seperti pedagang barang kebutuhan bagi konsumen umum. Ancaman akan mencabut izin usaha atau menggulung mafia-mafia obat, tabung oksigen, atau kremasi hanyalah gertakan sesaat. Selain penetapan HET dan pengawasan pelaksanaannya, perlu ada ketentuan tentang tata niaga yang mampu melindungi posisi orang sakit. Tata niaga itu tentu tidak mengacu pada permainan pasar bebas karena orang sakit tidak memiliki keleluasaan sebagai konsumen. Pasien harus segera mendapatkan obat tertentu atau oksigen.

Orang meninggal harus segera dimakamkan atau diperabukan. Tak ada kebebasan seperti konsumen barang lainnya. Keputusan memberikan pelayanan kesehatan bagi mereka yang melakukan isoman dengan telemedicine juga merupakan upaya untuk meredam gejolak harga obat saat ini. Apalagi, pemerintah akan memberikan obat covid-19 secara gratis bagi peserta isoman yang mendapat pelayanan telemedicine. Orang sakit secara moral mempunyai hak sosial untuk bisa sembuh, mendapatkan pelayanan obat dan alkes dengan mudah serta harga yang wajar. Perlu penataan tata niaga obat dan alkes yang memadai untuk melindungi hak sosial orang sakit.( A Margana, Wartawan, Pegiat Komunikasi Sosial, Anggota Komisi Komsos KWI)