AMBON, Siwalimanews – Tabir kasus dugaan korupsi dana pengadaan lahan untuk pembangu­nan PLTMG 10 MW di Namlea Ka­bupaten Buru terungkap penuh rekayasa.

Fakta persidangan ditemukan kasus yang dituduhkan kepada pe­milik lahan Fery Tanaya (FT) ber­nuansa lain dan rekayasa.

Selain  tuduhan korupsi terhadap FT dalam kasus PLTGM 10 Mw didesa Jiku Besar mulai terungkap, tapi secara hukum telah terjadi ke­jahatan besar di dunia hukum de­ngan menuduh seseorang yang tidak bersalah.

“Menurut saya ini adalah suatu kejahatan hukum luar biasa. Korps Adhyaksa Maluku dibawah pimpi­nan Rorogo Zega  tidak peduli kalau proyek ini adalah  proyek strategis nasional untuk kepentingan umum yang sangat dibutuhkan rakyat, seperti penjelasan PLN  di persida­ngan kepada majelis hakim, jelas Hendry Lusikooy pekan kemarin.

Dalam persidangan fakta terung­kap bahwa harga ganti rugi berda­sarkan nilai penganti wajar dan ditentukan oleh KJJP. Keterangan ini sudah dijelaskan kepada peyidik dan peyidik Korps Adyaksa Maluku semua sudah tahu hal ini.

Baca Juga: Jaksa Tahan Tiga Tersangka Korupsi ADD-DD Gale-Gale di Rutan

“Bagi saya tuduhan mark up ini sangat memalukan bagi manusia yang memiliki moral malu , karena Korps Adyaksa Maluku mengguna­kan media begitu hebat untuk mem­bangun opini publik bahwa nilai ganti rugi terjadi mark up. Pembo­hongan berita mark up ini awalnya diberitakan oleh Kasipenkum Kejati Maluku sejak tahun 2017 dan yang luar biasa. Kajati Maluku  Rorogo Zega langsung mengambil alih pem­bohongan yang selama ini dilakukan Kasipenkum.

Kajati Maluku Rorogo Zega menyatakan kepada   pers  di kantor Gubernur  9 september 2020 bahwa FT ditahan korps Adyaksa Maluku karena melakukan pengelembungan harga dan menantang FT buka bukaan berapa uang yang dikem­balikan kepada PLN.

“Padahal sesungguhnya penyidik kejaksaan sudah mengetahui bahwa harga ganti rugi ditentukan oleh KJJP berdasarkan Nilai Pengganti Wajar. Kejahatan besar dalam pene­gakkan hukum ini semua terungkap dipersidangan,” ujarnya.

Sementara itu, tokoh masyarakat Buru, Talim Wamnebo menyayang­kan proses penegakan hukum yang dilakukan pihak Kejati Maluku.

“Sebagai  rakyat kita memper­tanyakan ahklak, moral dari pembo­hong- pembohongan ini. Hal lain yang terungkap juga  dalam Proyek PLTMG ini,  pihak PLN melakukan ganti rugi bukan hanya milik FT tapi ada juga pemilik lain untuk keper­luan gardu induk dan gardu mini,” jelas Wamnebo.

Dia mengungkapkan, untuk Gardu Induk,  pihak PLN menggandeng Ke­jati Maluku untuk melakukan veri­fikasi  dokumen dan mengawal sampai pembayaran.

“Disini fakta persidangan terbukti Korps Adyaksa Maluku juga mem­buat kejahatan hukum yang tidak berkeadilan. Peyidik Kejati Maluku menetapkan FT sebagai tersangka dengan alasan kebun yang dibeli ber­dasarkan AJB tahun 1985 itu bekas hak barat yang tidak dikon­fersi sehingga menjadi tanah yang langsung dikuasai negara.  Tapi fakta persidangan terungkap kalau Korps Adyaksa Maluku juga mengutus tim yang diketuai jaksa Agus Sirait meloloskan dokumen bekas hak barat yang tidak dikonfersi milik Waris Said Bin Thalib, dan melaku­kan pembayaran ganti rugi lang­sung kepada pemiliknya. Bagaimana penerapan hukum seperti ini bisa terjadi di negara kita,” heran Wam­nebo.

Di sisi lain Lusikooy menam­bahkan, dua pemilik lahan bekas hak barat yang tidak dikonfersi tapi satu dijadikan tersangka dan satu dilo­loskan verifikasi dan dibayar oleh Korps Adyaksa yang sama sama dari Kejati Maluku. “Mengapa , mengapa dan mengapa penerapan hukum begitu diskriminasi dilakukan Koprs Adyaksa Maluku. Terungkap juga kalau PLN melakukan ganti rugi berdasarkan UU No 2 tahun 2012, Kepres dan aturan internal PLN dan berlaku untuk semua proyek ganti rugi di seluruh Indonesia.

“Penyidik hanya mengunakan pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : tanah hak guna usaha, hak guna bangu­nan dan hak pakai asal Barat , yang jangka waktunya berakhir selambat lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagai mana yg dimaksud dalam UU No 5 tahun 1960 , padahal berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai ne­gara,”sesalnya.

Penyidik Korps Adyaksa Maluku sengaja mengabaikan atau menghi­lang­kan ayat 2 yang menjelaskan pasal 1 berbunyi : tanah tanah ter­sebut ayat (1) ditata kembali  peng­gunaan penguasaan dan pemiliknya dengan memperhatikan: a. masalah tata guna tanahnya. b. sumber daya alam dan lingkungan hidup. c. keadaan kebun dan pemiliknya dst.

Sementara pasal 2, kepada bekas pemegang hak yang memenuhi syarat dan mengusahakan atau me­nggunakan sendiri tanah atau bangunan akan diberikan hak baru atas tanahnya kecuali apabila tanah tanah tersebut dipergunakan untuk proyek- proyek pembangunan bagi pe­nyelenggaraan kepentingan umum.

Selanjutnya pasal 3 kepada peme­gang hak yang tidak diberikan hak baru karena tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum, akan di­berikan ganti rugi yang besarnya akan ditetapkan oleh panitia pe­naksir.

Mengapa pasal-pasal lain dihi­langkan padahal sudah sangat jelas. Rekayasa dan kejahatan besar yang dilakukan Korps Adyaksa Maluku dengan sengaja menghilangkan pasal 1 ayat 2, pasal 3 yang telah jelas dan terang benderang adalah bukti bahwa, pemerintah mengakui hak kepemilikan atau hak keper­dataan bekas pemegang hak yang jelas jelas status tanahnya, tanah yang dikuasai negara  Penjelasan pasal 40 UU no 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah yang dipakai PLN sebagai dasar ganti rugi jelas- jelas mengakui hak kepemilikan tanah atau hak keperdataan atas pe­ngu­asaan tanah negara sebagai berikut, pemberian ganti rugi yang berhak antara lain huruf f yaitu pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik

“Bagaimana mungkin bisa terjadi begini?. Kepres yang sudah terang benderang dikaburkan oleh pe­nyidik dengan cara hilangkan pasal 1 ayat 2 dan pasal 3. Lalu menaf­sirkan sendiri arti tanah dikuasai langsung oleh negara sendiri adalah milik negara. Padahal tafsiran ahli ahli hukum Korps Adyaksa Maluku  bertentangan UUPA dan dengan kepres itu sendiri,” ujarnya.

Menurutnya, ini kejahatan reka­yasa hukum dan rasanya baru per­nah terjadi sejak Indonesia Merde­ka. Korps Adyaksa Maluku me­ngartikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara sebagai tanah milik atau aset negara.

“Kita masyarakat hanya berharap hanya kepada bapak Presiden Jo­kowi agar bisa memperhatikan masalah-masalah begini di daerah daerah. Kasus PLTMG  ini menurut saya perlu diaudit berapa uang negara yang sudah digelontorkan Kejati Maluku dalam proses pe­nyelidikan dan penyidikan karena ini diduga kuat rekayasa,”katanya.

Bisa dibayangkan tambah Lusi­kooy, penjelasan GM PLN bahwa ini proyek strategis nasional untuk pe­menuhan kekurangan listrik masya­rakat. mengapa ada pihak-pihak berani dan sengaja menggarong pro­yek ini sehingga menjadi gagal. Kalau Presiden masih berbiarkan rekayasa kasus ini, bukan tidak mungkin akan ada lagi proyek Strategis Nasional yg menjadi gagal karena digarong untuk kepentingan terselubung dan niat jahat oleh pihak pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dalam kesaksian penjelasan Ke­pala BPN Buru juga sangat jelas dan terang bahwa terhambatnya proses sertifikat HGB yang diajukan oleh PLN, disebabkan karena penyidik Kejati Maluku telah menyita semua berkas-berkas dari Kantor BPN Buru. Kalau tidak ada penyitaan, maka semua dokumen telah dikirim untuk Kakanwil menerbitkan ser­tifikat karena semua proses sudah clear sesuai Undang Undang.

“Kita akan menyaksikan lanjutan sidang kasus tuduhan korupsi ini dan melihat kejeniusan dari  3 orang hakim abdi negara, diharapkan ka­sus ini terungkap tuntas dan terang benderang agar rakyat mengetahui siapa abdi negara dan siapa musuh negara,” pungkasnya. (S-32)