DALAM pendidikan, kurikulum digunakan sebagai pedoman bagi guru dalam membimbing dan membantu siswa sehingga mereka dapat belajar secara efektif. Sebagai pedoman, kurikulum memiliki sejumlah tujuan yang meliputi konten, keterampilan dasar, dan pemahaman konsep, dan transfer. Keempat tujuan itu merupakan acuan yang seharusnya digunakan guru dalam mendesain program pembelajaran. Namun, seiring dengan semakin kuatnya penetrasi buku paket, fungsi, dan peran kurikulum semakin tergeser. Buku paket seharusnya hanya menjadi sumber belajar, berubah fungsi menjadi acuan utama proses pembelajaran. Dengan begitu, ketidakselarasan antara kurikulum, penilaian, dan pembelajaran terjadi. Akibatnya, prestasi rerata siswa pada penilaian berskala besar yang diselenggarakan baik pada tingkat nasional maupun global (seperti AKM, PISA, dan TIMSS) masih tergolong rendah.

Pencapaian pembelajaran Kenapa bisa? Karena dalam mengajar, guru diduga tidak mengindahkan ‘pesan’ kurikulum. Lebih jauh, guru telah menjadikan buku paket sebagai acuan utama dalam mendesain dan melaksanakan program pembelajaran. Pada buku paket pembahasan materi dan tugas berupa latihan soal umumnya lebih banyak berfokus pada hal-hal yang bersifat superfisial (root-learning), seperti konten (berupa hapalan) dan keterampilan dasar, dan sedikit sekali tentang pemahaman konsep. Sebaliknya, kemampuan transfer, penalaran kritis hampir tidak terjangkau. Padahal, desain penilaian yang dikembangkan penyelenggara ujian menggunakan kurikulum sebagai acuan utama dalam mengembangkan soal-soal penilaian, desain penilaian yang dikembangkan itu digunakan untuk mengukur kemampuan penalaran kompleks. Jadi rendahnya prestasi siswa pada penilaian AKM, PISA, TIMSS, dan penilaian eksternal lainnya bukan sepenuhnya akibat dari rendahnya kemampuan siswa, melainkan lebih disebabkan kurangnya eksposur terhadap pembelajaran yang melatih penalaran kompleks, berpikir kritis, dan keterampilan transfer. Buku paket telah membatasi pengalaman belajar siswa dari yang seharusnya mereka peroleh.

Desain pembelajaran baru Perubahan teknologi dan lapangan kerja telah menjadikan kemampuan penalaran, berpikir kritis, dan transfer menjadi lebih penting. Pembelajaran saat ini sudah harus dirancang untuk membantu siswa berpikir kritis dan berfokus pada keterampilan dan pengetahuan yang dapat digunakan secara luas dan menumbuhkan keinginan untuk menggunakannya. Jay McTighe dan Grant Wiggins menyebutnya Understanding by Design, sebuah desain pembelajaran yang dirancang mundur atau desain pembelajaran yang dimulai dari akhir. Kerangka kerja desain ini menawarkan proses dan struktur perencanaan untuk memandu merancang kurikulum, penilaian, dan pengajaran. Ide kunci yang terkandung dalam desain ini, menurut Jay McTighe dan Grant Wiggins (2011) ialah: mengajar dan menilai untuk pema­haman dan transfer pembelajaran, dan merancang kurikulum secara terbalik/mundur atau desain pembelajaran dimulai dengan merumuskan tujuan akhir yang hendak dicapai/diperoleh dan keter­capaiannya dapat diukur, sedangkan kerangka kerja desain pembelajaran didasarkan pada tujuh prinsip, sebagai berikut: pertama, pembelajaran dapat ditingkatkan ketika guru dalam perencanaan kurikulum memiliki tujuan yang jelas.

Kerangka kerja ini membantu proses pembela­jaran secara luwes, tidak kaku atau bersifat preskriptif. Kedua, kerangka kerja ini membantu memfokuskan kuri­kulum dan pengajaran pada pengembangan dan pendalaman pemahaman siswa dan transfer pembelajaran, yaitu kemampuan untuk mengguna­kan pengetahuan dan keteram­pilan konten secara efektif. Ketiga, pemahaman terungkap/teridentifi­kasi ketika siswa secara mandiri memaknai dan mentransfer pembelajaran mereka melalui kinerja autentik. Enam segi pemahaman— kapasitas untuk menjelaskan, menafsirkan, menerapkan, mengubah perspektif, berempati, dan menilai diri sendiri— dapat berfungsi sebagai indikator pemahaman. Kempat, kurikulum yang efektif direncanakan secara mundur, diawali dari merumuskan hasil yang diinginkan melalui proses desain tiga tahap, hasil yang diinginkan, bukti yang dapat diukur keterca­paiannya, dan rencana/strategi pembelajaran. Proses mundur ini membantu menghindari permasalahan umum yang selalu dikeluhkan, yaitu memperlakukan buku teks sebagai kurikulum, dan bukan sebagai sumber belajar, dan pembelajaran yang berorientasi hanya pada kegiatan tanpa prioritas dan tujuan yang jelas. Kelima, guru merupakan pelatih yang membantu pemahaman, bukan sekadar menjejalkan konten pengetahuan, keterampilan, atau aktivitas pembelajaran pada siswa. Fokus guru ialah memastikan bahwa pembelajaran terjadi. Jadi bukan hanya mengajar, mereka harus dapat mengarahkan dan memeriksa keberhasilan pembelajaran bermakna terjadi. Keenam, secara teratur menelaah unit-unit pembelajaran dan kurikulum untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas kurikuler, dan mengembang­kan diskusi yang menarik dan profesional. Ketujuh, kerangka kerja desain ini mencerminkan pendekatan perbaikan berkelanjutan terhadap prestasi siswa dan keahlian guru.

Backward design Desain ini menawarkan tiga tahapan proses dalam perencanaan pembelajaran. Konsep kunci dari kerangka ini, menurut Jay McTighe dan Grant Wiggins (2011), adalah penyelarasan, yaitu ketiga tahapan harus secara jelas menyelaraskan, bukan hanya terhadap standar nasional, melainkan juga terhadap satu dan lainnya. Dengan kata lain, konten dan pemahaman yang dirumuskan pada tahap pertama harus sebagaimana adanya dinilai pada tahap kedua, dan selanjutnya diajarkan pada tahap ketiga. Tahap pertama guru mengidentifikasi tujuan yang diinginkan, memeriksa standar konten, dan mempelajari tujuan kurikulum. Biasanya tersedia lebih banyak konten daripada yang seharusnya ditangani dalam waktu yang tersedia, karenanya, guru harus membuat pilihan prioritas.

Prioritas pembelajaran ditentukan oleh sasaran kinerja jangka panjang—apa yang diharapkan dari siswa dengan pengalaman pembelajaran yang mereka lalui. Tujuan pokok dari pendidikan ialah transfer. Sebagaimana diharapkan, tujuan sekolah bukan hanya untuk dapat berprestasi di kelas, melainkan juga dapat menggunakan pengetahuan yang telah dipelajari dalam kehidupannya. Pada tahap kedua, selain tugas kinerja, digunakan juga bukti lainnya seperti kuis, tes, observasi, dan contoh kerja untuk melengkapi gambaran penilaian guna memastikan apa yang sudah diketahui dan dapat dilakukan siswa. Ketiga, tahap rencana pengalaman pembelajaran. Pertanyaan kunci ialah bagaimana guru dapat membantu siswa memahami ide penting dan prosesnya.

Bagaimana guru menyiapkan siswa agar dapat secara mandiri mentransfer hasil pembelajaran yang telah dilalui? Apa pengetahuan dan keteram­pilan yang diperlukan siswa sudah terpenuhi/terlayani sehingga mereka mencapai hasil yang diinginkan? Mengajar untuk memahami mensyaratkan diberikannya kesempatan kepada siswa untuk membuat kesimpulan dan generalisasi sendiri dengan bantuan guru. Pemahaman tidak akan terjadi hanya dengan disampaikan, siswa harus secara aktif mengonstruksi makna. Mengajar untuk transfer berarti siswa diberikan kesempatan untuk menerapkan pembelajaran mereka pada situasi baru dan mendapatkan umpan balik segera terhadap kinerjanya sehingga mereka dapat menjadi lebih baik/meningkat kemampuannya. Oleh: Syamsir Alam Dewan Pengawas Yayasan Sukma.