MENJELANG tahun pelajaran baru 2021/2022, dunia pendidikan sibuk berdeliberasi soal modus pembelajaran, luring ataukah daring. Jemaah murid, guru, orangtua, pemerhati, dan birokrat pendidikan seperti satu suara bahwa pembelajaran sebaiknya dilaksanakan luring. Tentu saja itu disertai catatan pertimbangan akan situasi new normal dan protokol kesehatan.Salah satu survei terbaru, yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam periode 11-18 Desember 2020, menunjukkan bahwa 78% siswa menginginkan pembelajaran tatap muka. Alasan mereka beragam. Sebanyak 57% menyatakan kesulitan terkait materi pelajaran dan praktikum ketika tidak tatap muka dan 25% merasa jenuh, ingin berkonsultasi dengan guru bimbingan konseling (BK), mengalami kekerasan di rumah, dan rindu teman-teman.

Sementara itu, jumlah siswa yang tidak setuju mencapai 10% dan ragu-ragu 11,83%. Para siswa yang tidak setuju itu menyatakan khawatir dengan penularan covid-19 dan kondisi kelengkapan infrastruktur sekolah dalam menjalankan new normal.Alasan mereka yang baik setuju maupun tidak setuju pada dasarnya faktual dan dilematis. Dikatakan faktual karena memang demikianlah adanya. Setelah hampir satu setengah tahun pandemi, tak bisa dikatakan bahwa proses transisi ke dalam kebiasaan baru dalam dunia pendidikan berhasil secara kualitatif. Belum ada data-data komprehensif yang menunjukkan itu. Demikian pula, dikatakan dilematis karena tak ada bukti-bukti sahih terkait dengan persiapan dan kesiapan sekolah-sekolah menyelenggarakan pembelajaran luring sesuai dengan berbagai persyaratan new normal.Jika dilihat dari segi kebijakan publik terkait dengan pendidikan di masa new normal, birokrasi pendidikan baru sampai pada tahap penyusunan, sosialisasi kebijakan-kebijakan, dan penganggaran.

Sementara itu, dalam aspek pengawasan dan audit implementasi sangatlah jauh panggang daripada api. Tidak ada data, misalnya, sekolah mana saja yang sudah terbukti siap dari segi infrastrktur dan sekolah mana saja yang belum.Aspek persiapan dan kesiapan yang juga masih diabaikan ialah soal edukasi murid, orangtua, dan bahkan para guru. Memakai masker bagi sebagian orang bisa jadi karena alasan kesehatan. Akan tetapi, bagi sebagian lain ialah soal ketakutan akan hukum. Ketaatan menjalankan protokol kesehatan dalam new normal tak bisa dikatakan telah menjadi darah-daging pada diri murid, guru, orangtua, dan masyarakat pada umumnya.

Luring atau daring?Seandainya ditanya, baik sebagai guru maupun orangtua, pilihan luring atau daring tak jadi soal bagi saya. Jika infrastruktur dan warga sekolah telah terbukti siap dengan pembelajaran luring, saya setuju saja dijalankan demikian. Namun, karena pertimbangan kesehatan dan keamanan, pembelajaran daring yang kemudian dipilih sekolah, juga akan diterima dengan senang hati.Pada titik ini, para guru, orangtua, dan stakeholders pendidikan lainnya harus sampai pada kesepahaman tentang makna pendidikan yang sebenar-benarnya. Harus ada kesanggupan untuk move-on dari perspektif konvensional tentang ‘belajar’ dan ‘mengajar’ ke arah perspektif yang lebih situasional dan terbuka.Dalam perspektif konvensional, pendidikan diandaikan seperti mengisi botol kosong [murid] yang dilakukan guru yang hadir secara fisik sebagai sumber ilmu pengetahuan.

Para guru melakukan proses pengisian itu terutama dengan cara-cara lisan seperti ceramah dan menyuruh murid menghapal. Tempat belajar ialah sekolah yang disekat-sekat dalam bentuk kelas-kelas dan waktu belajar dijadwal sedemikian rupa.Asumsi dari perspektif konvensional ini ialah bahwa dengan cara demikian itu akan terdapat tamatan (outputs) yang mewarisi ilmu pengetahuan, berproses melalui tingkat-tingkat pendidikan dan bisa menyelesaikan pendidikan dalam jangka waktu tertentu. Pada gilirannya, para tamatan yang sudah berumur kerja akan diserap dunia kerja.Tentu saja banyak banyak masalah dalam perspektif konvensional ini. Misalnya, dari segi konten pendidikan terdapat risiko kemiskinan pengetahuan dan perspektif murid karena keterbatasan pengetahuan dan perspektif para guru. Dari segi proses, terdapat kemiskinan variasi pembelajaran yang memiskinkan pengalaman belajar murid. Demikian pula, keluasan dan kedalaman belajar sering terbentur dengan sekat guru, waktu dan tempat.

Baca Juga: Tantangan Hari Buku Nasional di Masa Pandemi

Dalam situasi-situasi yang tak normal, seperti situasi pandemi, perspektif konvensional ini tentu saja memusingkan semua orang; murid, guru, orangtua, birokrat, dan masyarakat pada umumnya. Seolah-olah, tanpa pembelajaran tatap muka, pendidikan tak bisa dikatakan bisa berjalan dengan baik sehingga murid-murid yang terbiasa ‘disuapi’ guru merasa harus bekerja ekstra keras untuk menyuap sendiri. Guru-guru yang terbiasa ‘menyuapi’ murid dengan hanya berceramah kini, misalnya, terpaksa berkorban energi dan waktu untuk membuat konten-konten multimedia. Para orangtua, terutama yang biasanya begitu saja menyerahkan pendidikan putra-putri mereka kepada para guru, menjerit tak kuat mengasuh dan mendampingi pembelajaran anak-anak mereka di rumah.Alhasil, secara beramai-ramai kuat sekali suara untuk ‘normalisasi’ dalam arti kembali ke cara-cara pembelajaran dalam perspektif konvensional meskipun, tentu saja, ada embel-embel ‘dengan mengikuti protokol kesehatan’ dan sebagainya. Padahal, keinginan ‘normalisasi’ semacam itu menjadi bukti nyata bahwa dunia pendidikan kita belum move-on secara baik paradigmatik maupun praksis dari zaman-zaman sebelumnya.

Dengan kata lain, pendidikan kita belum memiliki adaptabilitas atau daya penyesuaian diri yang memadai. Pemberdayaan guruKalaupun diputuskan bahwa proses pembelajaran di tahun pembelajaran 2021/2022 ialah luring, atau modus campur antara luring dan daring, perlu dicatat bahwa digitalisasi pendidikan pada dasarnya sudah sampai pada the point of no return. Bisa saja sekolah-sekolah atau sebagian guru tetap memakai cara-cara lama, tetapi lambat-laun mereka akan terpaksa berubah atau ditinggalkan.Dalam situasi ini, salah satu isu yang harus ditimbang saksama dan dicarikan jalan keluar yang cepat dan tepat ialah pem­berdayaan para guru sehingga betul-betul mampu memfa­silitasi pembelajaran daring atau campuran antara luring dan daring. Meskipun sekolah atau orangtua juga berkontribusi terkait dengan perkara ketidaknyamanan atau bahkan perasaan gagal belajar pada para murid di sepanjang masa pandemi, kepemilikan akses dan aset serta kemahiran atau expertise para guru menjadi paramater utama.

Dalam survei School Education Gateway 2020 di kalangan guru-guru di Eropa, ditemukan berbagai hal positif dan tantangan yang kiranya bisa dijadikan sebagai arah atau dasar pemberdayaan guru terkait dengan pembelajaran daring. Pertama, pembelajaran daring telah memungkinkan tersedianya ruang yang lebih luas bagi inovasi pembelajaran, fleksibilitas, variasi pilihan alat, aksesibilitas (platforms, konten, sumber belajar), peningkatan otonomi belajar murid (motivasi, manajemen diri), dan personalisasi cara belajar. Kedua, di sepanjang praktik pembelajaran daring sudah teridentifikasi beberapa tantangan yang juga sudah menjadi concern sebagian praktisi pendidikan di Indonesia. Tantangan ini meliputi kepemilikan akses, aset dan keterampilan teknologi oleh guru dan murid, peningkatan beban kerja dan stres, kendala partisipasi belajar murid, kendala kompetensi pedagogi digital, serta persoalan komunikasi. Kompetensi pedagogi digital di sini mencakup keterampilan mendesain, fasilitasi, dan penilaian hasil pembelajaran.