BELAJAR dan mengajar adalah dua hal yang tidak pernah bisa lepas dari kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tidak sedikit dari kita mempunyai pola pikir bahwa belajar dan mengajar itu harus di sekolah atau di tempat formal lainnya. Bahkan tidak sedikit dari kita berpandangan bahwa selain di sekolah, kita tidak bisa belajar. Sebenarnya belajar dan mengajar ini bisa diterapkan dalam lingkungan kehidupan kita, baik di dalam masyarakat maupun keluarga.

Dalam proses belajar dan mengajar khususnya di lingkungan sekolah, cukup banyak dinamika yang timbul di dalam kelas maupun di luar kelas. Baik itu dengan siswa maupun dengan rekan kerja, tidak sedikit muncul perbedaan pendapat ataupun kesalahpahaman dalam bersikap.

Dinamika ini terjadi karena masing-masing dari kita mempunyai cara tersendiri untuk merespons hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Pun demikian, kejadian sema­cam ini sangat lumrah terjadi karena tiap-tiap individu mempunyai pola pikir tersendiri dalam memaknai kehidupan.

Dalam dunia filsafat, stoik atau stoikisme mengajarkan bagaimana hidup dalam pengendalian diri dan pene­rimaan terhadap apa yang ada di dalam diri kita. Paulinus Pandiangan (2021) mengungkapkan bahwa yang ada dalam kendali adalah pikiran dan pilihan tindakan. Selebihnya ada di luar kendali kita.

Kita dapat mengendalikan penilaian, tindakan, dan pikiran, tetapi tidak dengan hal-hal di luar kendali kita. Sederhananya, filsafat ini ingin mengajarkan dan memberitahukan bahwa kita harus bisa menerima, tetapi tidak bisa mengubah sepenuhnya hal yang tidak bisa kita kendalikan.

Baca Juga: Mengenal Bahasa Daerah Melalui Film

Belajar bahagia 

“Lebih tepat bagi kita untuk menertawakan kehidupan daripada meratapi hal itu.” Kalimat tersebut diung­kapkan oleh Seneca, salah seorang pelopor filsafat stoa atau stoikisme. Lebih kurang tafsiran dari kalimat ini ialah dalam menjalani kehidupan kita dituntut untuk lebih berpikir ke arah positif supaya kebahagian itu tumbuh dari dasar diri kita.

Seneca menggunakan dua kata yang saling kontradiktif, yaitu ‘menertawakan’ dan ‘meratapi’. Dua kata itu merupakan ekspresi kita sebagai manusia utuh untuk merespons kebahagiaan dan kesedihan. Tertawa adalah ekspresi paling dasar yang ditunjukkan oleh kita ketika sedang merasakan kebahagian, sedangkan ratapan adalah aksi kita untuk mengekspresikan kesedihan atau keputusasaan.

Pada dasarnya, stoikisme menawarkan jalan bahagia bahkan di dalam keadaan ekstrem sekalipun, bukan dengan menarik diri dari keadaan, tetapi dengan melibatkan diri di dalam ekstremitas dan keruwetan itu tanpa terpengaruh dengan situasi. Hal ini merupakan inti dari ajaran stoikisme itu sendiri.

Prinsip dasar kebahagiaan adalah setiap orang harus berani menerima hal-hal yang tidak bergantung padanya atau hal-hal yang di luar kendalinya, seperti kematian, kekayaan, dan kemiskinan. Karena begitu banyak hal yang tidak bergantung pada kita, maka kita dituntut untuk dapat mengendalikan hal-hal yang bergantung pada diri kita, seperti pemahaman, emosi, dan logika.

Kebahagiaan yang sebenarnya ialah ketika kita bisa dan mampu mengendalikan atau mengelola nafsu/emosi dengan baik karena nafsu/emosi adalah segala rasa yang sangat kuat, yang kadang menguasai kita, mengalahkan kehendak, dan melemahkan daya untuk menilai dengan tepat.

Bahagia ala SSB

Pada hakikatnya, manusia selalu ingin merasakan ketenangan dan kedamaian dalam menjalani kehidupan. Ingatan terhadap hal itu mendorong manusia untuk senantiasa mengusahakan kebahagiaan dan kedamaian dalam hidupnya. Kendati demikian, kita tidak akan mampu mencegah dan harus menerima tentang hal-hal yang terjadi di luar kendali kita agar pikiran kita tidak dikuasai oleh insting dan nafsu.

Sekolah Sukma Bangsa (SSB) Bireuen menerapkan program baseclass untuk siswa. Kegiatan ini dilakukan 30 menit sebelum dimulainya proses pembelajaran. Dalam kegiatan ini, guru yang bertindak sebagai wali kelas mendengarkan aspirasi siswa, keluh kesah yang mereka bawa dari rumah dan sebagainya.

Kegiatan ini ber­tu­juan menyiapkan raga, pikiran, dan mental siswa untuk menghadapi pelajaran pada hari itu. Pada per­temuan tatap muka langsung ini, guru juga memotivasi siswa untuk lebih giat dan serius dalam belajar serta membekali siswa agar lebih siap menjalani kehidupan.

Tidak hanya siswa, direktur sekolah juga mengadakan kegiatan bagi guru yang bernaung di bawah SSB Bi­reuen untuk berkumpul seminggu sekali. Hal ini dila­kukan untuk memotivasi dan menyamakan persepsi sehingga visi dan misi sekolah dapat dijalankan secara bersama-sama. Tidak jarang juga, dalam kegiatan itu turut dihadirkan guru tamu untuk memberikan perspektif dan kiat-kiat kepada seluruh guru agar lebih bisa memaknai hidup dengan baik sehingga tercipta lingkungan pendidikan yang positif bagi seluruh warga sekolah.

Guru SSB Bireuen juga melakukan pertemuan rutin setiap Sabtu pagi untuk berbagi refleksi dengan sesama teman, baik itu refleksi guru dalam melakukan proses belajar mengajar maupun refleksi kehidupan di luar pembelajaran. Hal ini bertujuan saling berbagi ilmu dalam bentuk refleksi yang didapat dan dibagikan secara lisan antarsesama sehingga semua guru mampu melihat kehidupan ini dengan luas. Semua itu dilakukan agar guru dapat mengendalikan pikirannya sehingga tidak membiarkan pengaruh negatif eksternal mengganggu­nya.

Aktivitas di SSB Bireuen ini selaras dengan ide stoikisme, yakni meraih kebahagiaan dalam bekerja dan–seperti diajarkan dalam stoikisme–dapat berdamai dengan hidup dan bahagia dalam menjalani kehidupan secara individu ataupun dalam kelompok. Menurut Susilo Mardani Akbar (2020), kita harus fokus pada apa yang ada dalam kontrol kita, memilih untuk memberdayakan pikiran, sambut segala sesuatu yang terjadi, serta tempatkan hidup dalam perspektif.

Intinya kita akan lebih tenang jika menerima apa pun yang kita dapatkan. Sebaliknya kita akan merasakan kekecewaan jika mengharap kalau akan mendapatkan apa yang kita mau. Kendatipun berat, kita harus menganggap bahwa menerima ini merupakan suatu proses untuk mencapai kebahagiaan yang sebenarnya. Kita akan menjadi lebih rasional dan bisa mengontrol emosi yang kita alami serta persepsi terhadap apa pun yang menimpa kita.

Singkatnya, stoikisme mengajarkan kita untuk tidak membiarkan peristiwa eksternal mengendalikan emosi atau perilaku karena hanya kita yang dapat meng­endalikan pemikiran, emosi, dan tindakan kita sendiri.Oleh: Rivanda Anwar Guru SD Sukma Bangsa Bireuen.(*)