KOTA bukanlah lingkungan buatan manusia yang dibangun dalam waktu singkat, tetapi merupakan lingkungan yang dibentuk dalam waktu yang relatif panjang. Kondisi wilayah perkotaan sekarang ini merupakan akumulasi dari setiap tahap perkembangan yang terjadi sebelumnya dan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor politik, ekonomi dan sosial budaya. Dapat pula dikatakan bahwa kota merupakan sebuah artefak urban yang kolektif dan pada proses pembentukannya mengakar dalam budaya masyarakat.

Secara konsepsional kota adalah produk dari suatu adaptasi dan interaksi sekelompok manusia dalam jumlah relatif besar terhadap lingkungan budayanya dan lingkungan alamnya. Kota biasanya ditujukan untuk suatu pemukiman yang fungsi dan strukturnya lebih tinggi dan kompleks dibandingkan desa. Salah satu indikator dari tingkat kompleksitas yang tinggi adalah jumlah penduduk yang besar dan padat serta memiliki strategi hidup yang bervariasi pada bidang mata pencaharian.

Kota-kota kuno di Indonesia secara harafiah didefenisikan sebagai bangunan tembok keliling yang berfungsi sebagai pagar atau tembok bangunan satuan ruang. Biasanya mengacu  dalam model perbentengan lingkungan tinggal istana raja atau ningrat kerabat dan perangkat kerajaan. Sebagaimana nampak dalam sumber-sumber sejarah seperti Babad yang mengenal istilah kutho. Dengan demikian kota memiliki kedudukan sebagai pusat administrasi politik. Dalam pengertian yang lebih luas kutho meliputi pula pasar sebagai pusat kehidupan perekonomian, terutama sebagai ruang temu manusia dan transaksi barang, jasa dan informasi. Kesatuan kedua komponen ini kemudian membentuk Central Business District atau lebih tepatnya pusat keramaian dari suatu negoro (Nurhadi, 1994). Kondisi ini nyata pada masa klasik saat sudah dikenal kota yang sisa-sisanya masih ada saat ini seperti di Trowulan, di Mojokerto, Jawa Timur. Setelah berakhirnya masa Hindu Budha, dan masuk masa Islam, tumbuh kota-kota yang menunjukan adanya kesamaan unsur dan bentuk tata kotanya, seperti: Cirebon, Demak dan Yogyakarta. Kota-kota ini dibangun pada masa pra-kolonial dan terus bertumbuh selama masa kolonial. Kota-kota ini biasanya dikenal sebagai dual city yaitu kota yang mempunyai unsur ganda, unsur tradisional maupun unsur Eropa (Lubis, 2000).

Selain jenis kota tersebut, terdapat juga kota yang dibangun pada masa kolonial. Pada masa ini terdapat perkembangan dengan munculnya pusat administrasi kolonial dan sarana militernya untuk mengimbangi kekuasaan politik penguasa lokal yang menempati ruang central business district. Pembangunan kota kolonial pada abad ke 16 – 19  merupakan salah satu bentuk perubahan struktur sosial di Indonesia, yang bergerak dari masyarakat kota yang dibentuk oleh kelompok pedagang Islam, menuju masyarakat kota yang diciptakan oleh kelompok pendatang Eropa. Munculnya kota kolonial juga merupakan salah satu indikasi perubahan sosial dalam tatanan masyarakat, yang bergerak dari masyarakat berciri agraris menuju masyarakat urban yang non agraris.  Kota Ambon adalah salah satu kota yang dibangun pada awal masa kolonial oleh bangsa Eropa.

Pada dasarnya kelahiran Kota Ambon melalui proses yang panjang, dengan memperlihatkan perkembangan dan perubahan baik pada kondisi fisik maupun nonfisik. Perubahan fisik kota dapat dilihat pada bangunan dan perkampungan masyarakat, sementara perubahan non-fisik kota dapat dilihat pada perkembangan ekonomi dan politik masyarakat kota. Perdagangan paling ramai dan mudah dilakukan adalah melalui jalur laut, hal inilah yang mengakibatkan munculnya pemukiman-pemukiman baru dan bermulanya perkembangan kota Ambon dari sekitar wilayah pantai. Hal ini ditandai dengan munculnya pemukiman baru orang Eropa, Cina, dan Arab. Seiring dengan perubahan sosial yang semakin luas, terjadi juga perubahan dalam hal ekologi sehingga kota Ambon menjadi semakin teratur. Perubahan itu terlihat pada fasilitas kota, diantaranya pendirian tempat ibadah, gedung kantor, sekolah, pasar, toko, pelabuhan dan sebagainya yang mengikuti jaringan jalan raya.

Baca Juga: Imperialisme Hoaks Masa Pandemi

Salah satu hal menarik, mengenai penataan kota Ambon di masa kolonial adalah terkait dengan penataan pasar yang mendetail dan terpola menurut pengelompokannya. Yaitu, ditata berdasarkan pengelompokan dari tujuan penjualannya masing-masing, sehingga proses pembelian dan penjualan lebih mudah dan teratur. Bentuk bangunan pasar tersebut terdiri dari beberapa bangunan, Sehingga ada bangunan pasar yang khusus berjualan buah, sayuran, sagu, ikan, kayu bakar, dan sebagainya.

Penyerahan kekuasaan dari pemerintah kolonial Belanda kepada pemerintahan Republik Indonesia  pada tanggal 27 Desember 1949 merupakan sebuah tonggak bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena penanganan, pengelolaan serta pengembangan kota Ambon yang dahulunya dibawah wewenang pemerintah kolonial telah beralih. Dengan demikian, wajah kota Ambon pun berubah. Pada masa setelah penyerahan kedaulatan tersebut, maka tentunya kota Ambon dibangun dengan tidak menonjolkan gaya kolonial termasuk arsitektur kolonial dalam hal penataan kota.

Suatu tindakan perubahan pembangu­nan infrastruktur tinggalan kolonial, telah menciptakan konsekuensi yang berdampak luas dalam pengembangan infrastruktur, sebagai sebuah kota yang baru terlepas dari penguasaan bangsa kolonial. Dalam sudut pandang Ambon, sebagai sebuah kota yang dibangun oleh pemerintah kolonial, ketika memasuki lingkup wilayah negara Indonesia, tidak hanya mengalami permasalahan yang sama dengan kota lain di Indonesia, yaitu tentang cara merancang kota mengikuti kebijakan dan rencana pembangunan dari pemerintah, termasuk infrastruktur penunjang kota tersebut.

Sebagai kota kolonial yang dirintis oleh Portugis dan Belanda, Ambon berkembang sebagai kota pemerintahan dan perdagangan. Bentuk fisik kota Ambon saat ini sesungguhnya adalah penyem­purnaan kota yang dibangun dari masa sebe­lumnya. Kenyataan itu nampak dalam sistem jaringan jalan dan jembatan, serta toponimi  dalam Kota Ambon yang masih bertahan hingga kini. Dapat dibuktikan dengan adanya kontinuitas pembangunan yang berhasil menciptakan penataan kota Ambon kini. Yaitu, jaringan jalan dan jembatan, kemudian banyak terdapat bangunan kantor, diantaranya adalah kantor pos, telekomunikasi, stasion radio, rumah sakit, perminyakan, peng­adilan, gedung pertokoan dan beberapa bangunan sekolah yang masih berada pada lokasi awalnya dan fungsinya tidak berubah. (ANDREW HUWAE, Peneliti di Balai Arkeologi Provinsi Maluku)