UMKM, sering kali disebut sebagai sektor usaha yang paling kenyal terhadap berbagai tekanan. Namun, menghadapi pandemi covid-19 yang berkepanjangan, para pelaku UMKM tampaknya tak lagi tahan. Di berbagai daerah, tidak sedikit pelaku UMKM yang terancam kolaps. Bila sebelumnya banyak pelaku UMKM mampu bertahan menghadapi tekanan krisis ekonomi seberat apa pun, kini situasinya berbeda.Akibat perpanjangan PPKM yang terpaksa dilakukan untuk meredam penyebaran covid-19, sekitar 50% atau 32,1 juta pelaku UMKM kini terancam gulung tikar. Sekitar 88% usaha mikro dilaporkan tidak lagi memiliki tabungan. Sekitar 60% usaha mikro terpaksa harus mengurangi pekerjanya.

Nasib pelaku UMKM saat ini benar-benar di ujung tanduk. Jejaring digital Untuk mencegah agar UMKM tidak benar-benar kolaps, pemerintah telah menggulirkan program BPUM (bantuan presiden produktif usaha mikro). Dengan dibantu sebesar Rp1,2 juta, diharapkan bisa menjadi penyangga kebutuhan pelaku UMKM selama situasi krisis.Menurut kalkulasi matematis, bantuan dana bagi pelaku UMKM memang dapat menjadi penambal untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, lain soal tatkala manfaat bantuan ini diharapkan berlaku efektif di lapangan. Jika dibandingkan dengan kebutuhan hidup sehari-hari, dana hanya Rp1,2 juta tentu jauh dari mencukupi.Untuk memastikan agar UMKM tidak kolaps, di luar bantuan dana, salah satu peluang yang diharapkan mampu mendukung mekanisme survival UMKM ialah melalui proses digitalisasi UMKM.Para pelaku UMKM yang semula hanya memasarkan produk lewat jalur konvensional, kini dicoba dikaitkan dengan platform digital.

Pemasaran produk UMKM diharapkan tidak hanya door to door atau melalui pasar tradisional. Untuk memperluas pangsa pasar bagi produk UMKM, kini pemasaran dilakukan secara digital, dan sistem pembayarannya pun dilakukan melalui transaksi daring.Pangsa pasar pelaku UMKM, yang semula hanya di tingkat desa atau maksimal di tingkat kota/kabupaten, kini difasilitasi melalui pengembangan jejaring online. Gojek, misalnya, dalam tiga tahun terakhir tercatat telah mem­pekerjakan sekitar 1,7 juta penduduk sebagai mitra pengemudi ojek online, dan terhubung pada lebih dari 400 ribu pelaku UMKM.

Sementara itu, Bukalapak tercatat paling tidak telah terhubung dengan lebih dari 700 ribu pelaku usaha mandiri dan lebih dari 500 ribu warung di seluruh Indonesia sejak 2019.Sementara itu, Tokopedia telah menjalin 5 juta kemitraan termasuk menyalurkan bantuan permodalan pada UMKM. Di Indonesia, kehadiran fintech dan e-commerce berpotensi membuka peluang inklusivitas kepada 51% penduduk dewasa unbanked dan 62,9 juta UMKM.Masalahnya sekarang ialah sejauh mana pelaku UMKM mampu memanfaatkan tawaran dan perkembangan baru di era digital? Meskipun perkembangan perilaku online shopping di kalangan masyarakat memicu munculnya pergeseran perilaku konsumsi baru bagi produk UMKM.

Namun demikian, harus diakui tidak semua pelaku UMKM memiliki kemampuan literasi digital yang memadai untuk merespons perkembangan baru ini.  Kesenjangan digitalKetika pelaku UMKM terhubung dengan jejaring pasar melalui berbagai platform digital, memang peluang mereka memasarkan produk yang dihasilkan semakin terbuka. Para pelaku UMKM, melalui pemasaran online bisa menawarkan produk yang dihasilkan ke konsumen di seluruh dunia. Batas administrasi wilayah, atau bahkan negara tidak lagi menjadi hambatan.Hasil studi yang dilakukan Bank Indonesia (2020) melaporkan inovasi digital telah mengubah interaksi sosial ke arah demokratisasi ekonomi, meningkatkan efisiensi karena tambahan kemampuan agen ekonomi dalam mengakses dan memanfaatkan informasi serta memungkinkan lahirnya model bisnis, industri, dan sumber pertumbuhan ekonomi baru. Interkonektivitas agen ekonomi memotong rantai distribusi barang dan jasa, mendorong sebaran informasi secara lebih merata, dan secara keseluruhan mengefisienkan aktivitas ekonomi.Para pelaku UMKM yang melek teknologi informasi, peluang mereka membuka pasar baru niscaya lebih baik.

Baca Juga: Bersatu Padu Melawan Covid-19

Peluang pelaku UMKM untuk bersaing dan merebut pasar digital menjadi lebih terbuka. Mereka dapat menawarkan produk yang dihasilkan melalui platform digital. Namun, persoalannya kemudian ialah seberapa banyak pelaku UMKM di Tanah Air yang sudah melek teknologi informasi? Seberapa banyak pelaku UMKM yang telah memiliki rekening perbankan yang dibutuhkan dalam perdagangan atau pemasaran produk secara online?Di Indonesia, jujur harus diakui salah satu kendala yang dihadapi para pelaku UMKM ialah belum meratanya kemampuan literasi digital. Alih-alih semua pelaku UMKM mampu memanfaatkan platform digital, dalam kenyataan kita tidak menutup mata terhadap adaanya persoalan digital device (kesenjangan digital).Sebagian besar pelaku UMKM,masih gaptek memanfaatkan teknologi informasi untuk memasarkan produknya.

Jangankan memanfaatkan platform digital yang tersedia untuk memasarkan produknya, bahkan gadget yang layak pun tidak banyak pelaku UMKM yang memiliki.Dengan latar belakang pendidikan yang rendah, sulit diharapkan pelaku UMKM mampu memanfaatkan teknologi informasi, untuk mendukung perkembangan usahanya. Sebagai jargon, program digitalisasi UMKM memang terdengar menjanjikan. Namun, kenyataan tidak selalu sama dengan retorika.Di berbagai daerah, tidak sedikit UMKM tumbang karena imbas pandemi covid-19.

Tawaran agar pelaku UMKM memanfatkan pemasaran digital jangan sampai menjadi pukulan kedua, yang lebih mematikan karena kesenjangan digital antarpelaku UMKM yang terjadi. Sepanjang kemampuan literasi digital masih belum merata di kalangan pelaku UMKM, sepanjang itu pula nasib pelaku UMKM akan tetap berada di ujung tanduk, bahkan gulung tikar.( Rahma Sugihartati, Dosen Isu-Isu Masyarakat Digital FISIP Universitas Airlangga)