AMBON, Siwalimanews – Kalau saja Kejati Maluku tidak mengusik lahan pembangunan proyek pembangunan PLTMG Namlea, saat ini masyarakat di Kabupaten Buru dan Bursel sudah hidup menikmati pasokan listrik dari proyek dimaksud.
Sejak Indonesia merdeka 76 tahun hingga saat ini, Kabupaten Buru dan Bursel belum sepenuhnya menikmati listrik. Olehnya itu, pemerintah pusat melalui PT PLN akhirnya menempatkan proyek PLTMG tersebut pada 2016 di Namlea. Proyek ini merupakan proyek strategis nasional sebagai upaya pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya.
Untuk memperoleh lahan guna pembangunan proyek dimaksud, PT PLN Maluku dan Malut melirik lahan milik Fery Tanaya di Dusun Jikubesar Desa Sawa Kecamatan Namlea Kabupaten Buru.
Lahan milik Ferry dinilai PLN sangat strategis untuk pembangunan proyek dimaksud. Sebagai anak daerah, Fery akhirnya mau melepaskan lahan miliknya itu ke PLN, mengingat proyek tersebut untuk kepentingan umum.
Sayangnya, Kejati Maluku terusik karena Fery pengusaha besar. Kejati Maluku lalu melakukan pengusutan dengan segala cara untuk menjerat Fery Tanaya yang adalah pemilik lahan.
“Merujuk ke belakang, kalau saja jaksa tinggi Maluku tidak usik lahan pak Fery, katong di Buru dan Bursel sudah nikmati pasokan listrik dari proyek ini. Mungkin sekarang listrik di Buru dan Bursel nyala sampai pagi dan tidak padam-padam lagi. Nelayan punya hasil-hasil laut sudah bias disimpan di alat pendingin sehingga tidak rusak, Memang kalau bicara listrik di Buru dan Bursel sulit. Tapi mau bikin apa lagi, nasi sudah jadi bubur, ulah jaksa katong seng bias nikmati listrik,” ungkap warga Buru di Namlea, Thalim Wamnebo kepada Siwalima, Senin (16/8).
Dikatakan, mencermati persoalan hukum yang dituduhkan kepada Fery Tanaya dalam proyek PLTMG 10 MW di Pulau Buru telah membuat banyak pihak kebingungan dan malah menjadi bahan tertawaan termasuk saya.
Sejak kasus ini sengaja digulirkan, Kejati Maluku telah melakukan propaganda melalui media massa sejak 2017–2020, dengan menggunakan berbagai skenario untuk menjerat Fery Tanaya.
Mulai dari dugaan mark up harga tanah yang sudah terjawab saat sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Ambon beberapa waktu lalu, adanya salah pembayaran, hingga skenario menjual tanah milik negara.
Dijelaskan, dari fakta persidangan terungkap harga ganti rugi tanah yang diterima Fery Tanaya sama dengan pemilik lahan lainnya yaitu Rp.125. 000/M2. Lebih anehnya lagi, pihak Kejati Maluku sendiri turut serta dalam sosialisasi bagi pemilik lahan lainnya agar dapat menerima harga ganti rugi yang telah ditetapkan yaitu Rp. 125.000/M2.
Setelah gagal menjerat Fery Tanaya dengan dugaan mark up, skenario lainnya yang diciptakan Kejati Maluku adalah tentang salah pembayaran, seakan-akan tanah yang dibebaskan pihak PLN tersebut bukan milik Fery Tanaya, tetapi milik pihak lain.
Tuduhan ini dipakai berdasarkan dokumen yang disita pihak Kejati Maluku dari pihak BPN Buru. Terdapat Nomor Induk Bidang (NIB) yang adalah NIB lahan orang lain.
Padahal sudah dijelaskan oleh pihak BPN Buru, bahwa form yang dipakai oleh petugas BPN pada saat pengukuran adalah form copy paste yang NIB-nya belum dihapus. Ini hanya masalah teknis adminsitrasi yang semestinya tidak perlu dipermasalahkan, karena sudah diklarifikasi juga oleh pihak BPN. Tudingan ini akhirnya gugur, karena saat peninjauan lokasi ternyata tanah yang dibebaskan pihak PLN tersebut adalah milik Fery Tanaya.
Wamnebo menambahkan, lahan atau tanah yang NIB-nya dipersoalkan tersebut letaknya jauh dari tanah milik Fery Tanaya yang dibebaskan pihak PLN, sehingga gagal lagi skenario kedua yang dipakai pihak Kejati Maluku.
Cara-cara tidak elegan yang dipakai Kejati ini sebenarnya publik dapat menilai oknum-oknum penyidik di Kejati Maluku dalam kasus ini sedang mencari-cari peluru untuk menembak Fery Tanaya.
Lebih sadisnya ungkap Wamnebo, jaksa penyidik itu tak habis akal menjerat Fery lahan yang dimiliki Fery milik negara. Adanya skenario lain yang dimunculkan, bahwa Fery Tanaya telah menjual tanah milik negara salah besar. Padahal tanah tersebut dibeli dari ahli waris Zadrach Wacanno pada tahun 1985 melalui Akta Jual Beli yang dibuat oleh Camat Namlea, sekaligus sebagai PPAT.
Zadrach Wacanno sendiri membeli tanah tersebut dari Pemerintah Belanda pada tahun 1932 melalui Akta Nomor 19 tertanggal 9 April 1932.
Wamnebo tak habis pikir, pernyataan Kajati Maluku, Roro Zega bahwa hak erfpacht tidak bisa dipindah tangankan baik kepada ahli waris atau pihak lain, bahwa setelah pemegang hak meninggal maka selesai sudah hak atas tanah itu dan dikembalikan haknya ke negara. “Pak Kejati kok bisa ngomong seenak perutnya. Ini tanah punya orang. Bukan milik pak Kejati lalu asal bicara. Pakai UU yang mana,”tanya dia.
Wamnebo curiga, dasar hukum yang dipakai pihak kejati ini hanya karena Fery Tanaya membeli dari ahli waris Zadrach Wacanno.
Jurus yang dipakai Kajati Maluku juga disebutnya telah mengenyampingkan bukti yuridis milik Fery Tanaya berupa akta jual beli serta bukti-bukti pendukung lainnya, serta bukti penguasaan fisik sejak tahun 1985 atau sudah 35 tahun.
“Kajati mengartikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara sama dengan tanah milik negara atau asset negara sehingga langsung merubah stataus tanah atau kebun milik Fery Tanaya menjadi tanah milik negara atau asset negara untuk memperkuat alasannya bahwa Fery Tanaya telah menjual tanah negara dan kemudian meminta pihak BPKP untuk menghitung kerugian negara yang menurut BPKP telah terjadi kerugian negara total lost. Memang sangat luar biasa,” pungkasnya.
Aneh bin ajaib, institusi Kejati Maluku melalui eks Kajati, Rorogo Zega membatalkan bukti juridis yang diterbitkan pejabat negara yakni PPAT dalam hal ini akta milik Fery.
“Setahu beta, kewenangan pembatalan itu ada pada institusi Pengadilan dan PTUN untuk membatalkan bukti juridis yang diterbitkan oleh pejabat negara yaitu PPAT, dan bukan kepada institusi Kejaksaan. Apalagi dibatalkan hanya dalam acara konfrensi pers saat menahan Fery Tanaya hanya Kajati lupa mengetok palu setelah selesai penjelasannya. Kajati secara sepihak langsung menyatakan bahwa AJB Fery Tanaya yang dibuat oleh PPAT batal secara hukum dan langusng menjadikan tanah kebun Fery Tanaya menjadi tanah milik negara / aset negara,” tandas Wamnebo.
Penegakan hukum di kasus Tanaya ini lebih aneh lagi karena dalam proses ganti rugi lahan untuk proyek PLTMG 10 MW tersebut, Said Bin Thalib juga ikut menerima ganti rugi dengan harga yang sama dengan yang diterima Fery Tanaya.
Padahal tanahnya juga bekas erfpacht yang dibeli leluhurnya jauh sebelum Indonesia merdeka yaitu pada tahun 1928. “Milik Said Bin Thalib justru pihak Kejaksaaan Tinggi Maluku yang diwakili Jaksa Agus Sirait yang melakukan verifikasi dan terlibat dalam proses pembayarannya. Dengan melihat kenyataan yang ada saya khawatir masyarakat Maluku akan berkata bahwa kalau penerima ganti rugi bukan pengusaha Fery Tanaya maka Proyek PLTMG tersebut pasti sudah dapat dinikmati oleh masyarakat Pulau Buru dan penderitaan masyarakat di Pulau Buru akibat kekurangan listrik sudah teratasi,”tukasnya.
Ia berharap, kedepan kejati Maluku lebih professional lagi, karena masyarakat sangat mendukung penegakan hukum apalagi yang berkaitan dengan Korupsi, tetapi janganlah orang yang bukan koruptor dipaksakan untuk berstatus sebagai koruptor hanya karena yang bersangkutan punya nama besar atau karena ada pesanan.
“Kita juga berharap semoga untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap institusi kejaksaan, Kajati Maluku yang baru harus berani menindak oknum-oknum penyidik nakal, dan bukan sebaliknya Kajati memberikan angin surga buat oknum-oknum tersebut menyeret orang yang tidak bersalah. (S-32)