PADA 13 Desember kemarin bangsa Indonesia memperingati Hari Nusantara. Penetapannya terkait Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Deklarasi ini menyatakan bahwa perairan Indonesia merupakan wilayah teritorial yang menyatu dengan daratannya. Dengan demikian, seluruh perairan Indonesia yang menghubungkan daratan menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, peringatan Hari Nusantara setiap tahunnya tak sekadar seremonial, melainkan di dalamnya mengandung nilai historis-kultural dan visi jauh ke depan. Secara historis-kultural Hari Nusantara bermakna kita bangsa Indonesia adalah bangsa maritim yang memiliki wilayah laut 5,8 juta kilometer. Di samping itu, Nusantara di masa silam jadi pusat gravitasi maritim yang jadi kekuatan ekonomi dan menghegemoni dunia abad 15-17 berbasiskan komoditas rempah-rempah. Makanya, rentang waktu itu dikenal masa keemasan jalur rempah maritim.

Secara visioner, momentum Hari Nusantara mesti jadi pemicu bangsa Indonesia di usia 75 tahun, mengukuhkan dirinya sebagai negara maritim. Laporan OECD 2016 meramalkan bahwa ekonomi maritim dunia bakal berperan penting dalam percaturan dunia hingga 2030. Nilainya diperkirakan mencapai USD3 triliun. Indonesia mesti memanfaatkan momentum ini agar berkontribusi bagi perekonomian nasionalnya.

Pilar Ekonomi Maritim

Di masa silam kekuatan ekonomi maritim Nusantara ditopang empat pilar, yaitu transportasi laut (pelayaran), kepelabuhanan, kota-kota pantai, dan pasar. Transportasi laut (pelayaran) jadi faktor penting menopang masa keemasan ekonomi maritim abad 15-17 di kepulauan Nusantara. Di masa itu kemaritiman berbasiskan komoditas andalan rempah-rempah jadi kekuatan ekonomi yang menopang kerajaan-kerajaan di Kepulauan Nusantara. Komoditas itu di antaranya cengkeh, pala, kayu manis, gambir, kapur barus, dan lada. Komoditas ini jadi incaran bangsa penjelajah sejak abad pertengahan semacam Portugis, Spanyol, hingga Belanda yang kemudian menjajah Nusantara.

Baca Juga: Buah-buahan Unggul Indonesia Punah?

Bahkan, jauh sebelum itu dokumen Dinasti Ptolemy yang berkuasa di Mesir dan tersimpan di Perpustakaan Alexandria mengindikasikan kejayaan dunia maritim pantai barat Sumatera. Dokumen itu menyebut negeri Barosai dan Karpura Dwipa/Minanga Kambwa sebagai pemasok kamper (kapur Barus) dan lada Mesir pada masa itu. Sejarawan PH Brans menafsirkan “Barosai” yang tertulis dalam disertasinya, Sumatra Benzoe, sebagai Barus. Brans juga menjelaskan, ketika pasokan kamper dan lada berhenti bangsa Mesir berlayar ke negeri sumbernya disertai pembesar kerajaan dan sebagian menetap di negeri itu. Artinya transportasi laut menjadi kekuatan ekonomi maritim Nusantara sebelum masehi hingga abad pertengahan.

Kepelabuhanan, kota-kota pantai, dan pasar adalah tiga komponen yang berkelindan dalam era perdagangan maritim Kepulauan Nusantara berbasis komoditas strategis Sebelum Masehi hingga Abad Pertengahan. Barus yang berlokasi di pantai barat Sumatera, kepulauan Maluku, pulau Sulawesi, pantai utara dan selatan Jawa, Bali, pesisir Kalimantan hingga Nusa Tenggara berkembang menjadi pelabuhan dan kota-kota pantai. Di pantai barat Sumatera kita mengenal Pelabuhan Barus, Sibolga, dan Teluk Bayur-Padang. Di pantai timur Sumatera pelabuhan Sabang dan Belawan-Medan.

Di pantai utara dan selatan Jawa terdapat Pelabuhan Tanjung Priok-Jakarta, Banten, Cirebon, Semarang, Gresik, Tanjung Perak-Surabaya, Pelabuhanratu, dan Cilacap. Di Sulawesi Selatan dikenal Pelabuhan Paotere dan kini Pelabuhan Makassar, Bau-Bau, Ambon, Bitung hingga Ternate. Di masa silam berkembangnya kota-kota pantai dan pasar serta pelabuhan menjadi pusat gravitasi ekonomi maritim dari kerajaan-kerajaan pesisir. Utamanya kerajaan Islam pesisir. Di masa kini pelabuhan dan kota-kota pantai berkembang menjadi kawasan ekonomi berikat, seperti wilayah Gresik dan Surabaya. Komoditasnya pun kian beragam. Bedanya dengan masa silam, Nusantara jadi kiblat perdagangan internasional. Klaim sebagai poros maritim dunia masa itu jadi keniscayaan.

Pertanyaannya, apakah basis kekuatan ekonomi maritim Indonesia kekinian supaya bertransformasi sebagai poros maritim sekaligus gravitasi ekonomi dunia? Apakah perkebunan, pertambangan, rempah-rempah, pariwisata bahari, atau perikanan itu sendiri? Tak mudah menjawabnya. Membutuhkan kajian mendalam supaya pengambilan keputusannya secara ekonomi politik tak menyimpang.

Sebetulnya pemerintah sejak 2014 telah mencanangkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Akan tetapi, hingga 2020 perkembangannya terkesan mati suri. Pembangunan nasional terlalu memfokuskan infrastruktur berupa jalan tol dan bandara. Pemerintah memang mengembangkan juga infrastruktur maritim. Di antaranya pelabuhan, tol laut, dan bandara di pulau kecil perbatasan. Sayangnya, implementasinya belum optimal. Kasus di Maluku sempat mencuat soal mahalnya ongkos distribusi barang dan jasa lewat tol laut yang masih relatif tinggi. Bandingkan dengan China yang kini jadi kekuatan raksasa dunia di bidang kemaritiman lewat visi jalur sutra maritimnya.

Presiden China Xi Jinping mencanangkannya One Belt One Road Innitiative (BRI) mencakup dua komponen utama, yakni the Silk Road Economic Belt (SREB) dan the 21st Century Maritime Silk Road (CMSR). SREB merupakan jalur darat yang tujuannya mengoneksikan provinsi tertinggal bagian barat China dengan Eropa lewat Asia Tengah. CMSR merupakan rute laut yang tujuannya mengoneksikan provinsi pesisir kaya dengan kawasan Afrika dan Asia Tenggara lewat pelabuhan laut dan jalur kereta api.

Makanya, wajar saja Vietnam permintaannya tinggi terhadap kebutuhan benih lobster dari Indonesia untuk memasok budi dayanya. Pasalnya, Vietnam mengekspornya ke China karena jaraknya dekat dan biaya rantai pasoknya murah. Bagaimana mentransformasikan kekuatan ekonomi maritim berbasiskan jalur rempah maritim (JRM) di era kekinian?

Transformasi

Mewujudkan gravitasi ekonomi maritim bagi Indonesia mestinya mentransformasikan JRM dalam konteks kekinian. Orientasinya mencakup dua komponen utama. Pertama, JRM yang mengoneksikan provinsi-provinsi pesisir di pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera, pesisir Kalimantan bagian barat dengan pesisir Afrika, Asia Barat, Asia Tengah dan Asia Tenggara.

Kedua, JRM yang mengoneksikan provinsi-provinsi pesisir di Kalimantan bagian timur, jazirah Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Jawa bagian timur, Bali dan Nusa Tenggara dengan Australia, Amerika Serikat, Asia Timur, negara-negara Pasifik, dan Oceania. Orientasi ini bakal berkembang pesat apabila memiliki basis ekonomi sumber daya alam strategis. Pertanyaannya, apakah sumber daya alam strategis dari daerah-daerah dan kota-kota pesisir yang berlokasi di kedua JRM itu?

Untuk mewujudkannya, pemerintah mesti terlebih dulu membangun “peta jalan” sebagai rujukan transformasi JRM. Peta jalan ini terintegrasi dengan alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) I,II dan III, dan kota-kota pantai berbasis teluk, selat, dan perairan pesisir strategis. JRM juga diharapkan mendekatkan akses pasar internasional sehingga tak perlu lagi bergantung negara ketiga semacam Singapura untuk mengekspor barang dan jasa. Utamanya yang berbasis sumber daya alam dan hasil olahannya. Akibatnya, Indonesia kian tinggi pajak ekspornya dan berkurang penerimaan devisanya.

Gagasan pembukaan terusan Kra di Thailand bernilai geostrategis dan geopolitik bagi Indonesia untuk mewujudkan JRM. Terusan ini bakal mempersingkat jalur transportasi laut dari Samudra Hindia, Selat Malaka ke Laut China Selatan atau sebaliknya. Imbasnya, distribusi dan rantai pasok kian efisien. Jika transformasi JRM ini sukses, Indonesia berpotensi kembali menjadi pusat gravitasi ekonomi maritim dunia. Sekaligus memeratakan pembangunan ekonomi maritim Indonesia yang berkeadilan.( Muhamad Karim, Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Dosen Universitas Trilogi Jakarta)