HARI Toleransi Sedunia memasuki usia perak. Dua puluh lima tahun yang lalu, tepatnya 16 November 1995, Perserikatan Bang-sa-Bangsa (PBB) yang menangani pengembangan pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization/UNESCO) yang bermarkas di Paris, Prancis, mendeklarasikan setiap 16 No- vember sebagai Hari Toleransi Sedunia. Penetapan 1995 disengajakan berkenaan dengan peringatan hari kelahiran Mahatma Gandhi, sang pencetus ide perdmaian sejati me- lalui jalan tanpa kekerasan atau tanpa melukai (ahimsa). Mayoritas mutlak dari negara-negara anggota UNESCO, yakni 185 dari 191, menya- takan setuju. Dari pengadopsian pribadi Gandhi dan konsep ahimsa, sudah jelas bahwa toleransi dan ahimsa (jalan tanpa kekerasan, tidak melukai) sejatinya ibarat saudara kembar. Ada relasi dialektik antara keduanya. Dengan kata lain, ada hubungan sebab akibat secara langsung antara ahimsa dan toleransi. Jalan haram kekerasan atau tanpa melukai menciptakan suasana toleran. Sebaliknya toleransi adalah sebuah situasi atau hasil dari sebuah kehidupan tanpa kekerasan dan tidak melukai.

Toleransi menuntut keterbukaan dan pengorbanan Berbagai sumber ilmiah sepakat bahwa etimologi toleransi ialah bahasa Latin tolerans dengan kata kerja tolerare yang berarti menanggung, menerima, menahan (untuk), mendukung, atau menyokong. Tolerare dari asal kata berkonotasi ganda, baik negatif maupun positif. Menanggung, menerima, dan menahan (untuk) mengasumsi sebuah situasi tidak enak, tidak menyenangkan, dan mengganggu, malah dianggap beban. Oleh karena itu, tolerare bermakna membuka diri atau memberanikan diri untuk menanggung dan menerima apa yang dirasa mengganggu atau membebankan. Menahan diri untuk tidak menolak atau melawan, melainkan merangkul. Tidak ada pilihan lain selain itu. Nuansa positifnya ialah mendukung atau menyokong. Artinya, sesuatu di depan mata yang berbeda didukung dan disokong karena dinilai bermakna dan berharga. Kedua aspek pemahaman di atas tentu saja bermuara pada sebuah disposisi batin tunggal, yakni keterbukaan. Keterbukaan untuk menerima, menanggung, merangkul, mendukung, dan menyokong hanya memilki basis tunggal pula, yakni pengorbanan.

Tanpa kedua nilai itu, toleransi tidak akan ada, kecuali apatisme atau ketidakpedulian (ignorance).   Intoleransi agama Intoleransi ialah antonim dari toleransi. Situasi orang tidak bisa menerima dan tidak bisa merangkul atau mendukung sesuatu yang baik dan benar di depan mata. Intoleransi berwajah banyak. UNESCO merumuskan masalah intoleransi pertama dan utama dalam konteks budaya. Di halaman depan situs resminya, UNESCO menulis ‘Toleransi adalah respek, pengakuan atau penerimaan dan penghargaan terhadap kebinekaan budaya dunia yang besar, bentuk-bentuk ekspresi kita, dan cara-cara kita sebagai manusia’. Intoleransi budaya umumnya memanifestasi diri melalui diskriminasi etnik atau rasialisme.

Di dalam arus globalisasi dunia yang berdampak pada heterogenitas dunia yang sangat tinggi, rasialisme ialah sebuah masalah krusial. Inilah yang ingin diperangi UNESCO. Tentu saja UNESCO sebagai sebuah organ insekular merasa diri tidak terlalu kompeten untuk masuk ke persoalan intoleransi agama. Namun, intoleransi ialah sebuah term yang sudah sangat kental dengan ranah agama. Malah orang mengaitkan kata intoleransi secara otomatis dengan masalahmasalah retaknya relasi di dalam kehidupan lintas agama. Indonesia tidak luput dari tendensi ini karena bangsa kita terusmenerus menghadapi kasus-kasus intoleransi agama. Menyakitkan. Kalau terjadi satu atau dua kali boleh dianggap sebagai gesekangesekan kecil dan normal untuk sebuah negara besar dan majemuk seperti Indonesia. Sayangnya, terjadi terus-menerus dan dalam berbagai bentuk serta dimensi. Sudah masuk kategori masalah serius dan besar. Awal mula dari sikap intoleran ialah kebencian di dalam hati tiaptiap individu yang entah dibawa dari rumah, lingkungan, atau tempat pendidikan awal. Embrio tersebut menemukan jaringan yang kemudian bisa menginstitusi atau berjemaah. Intoleransi akan hilang kalau orang berhenti membenci. Sesuatu yang sulit dilakukan untuk kaum pembenci. Akan tetapi, bukan tidak mungkin.

Orang-orang beriman dan beragama yakin bahwa doa ialah jalan spiritual yang menembus segala ketidakmungkinan. Berdoa setiap hari secara jujur dan ikhlas untuk mereka yang kita anggap musuh atau yang membenci kita ialah jalan ahimsa, tanpa kekerasan, tanpa melukai. Di dalam doa, orang merasa hampa dan kecil di hadapan Tuhan. Kerendahan hati tanpa batas dan pengalaman akan kerapuhan manusia di hadapan Tuhan menyadarkan manusia bahwa sejatinya dia tidak lebih atau tidak kurang dari sesamanya. Doa memiliki makna edukatif dan transformatif menuju tobat dan rekonsiliasi.

Baca Juga: Disdukcapil Target 2021 Pelayanan Berbasis Online

Toleransi menuju persaudaraan insani Februari 2019, Paus Fransiksus dan Imam Besar Al-Azhar, Dr Ahmad Al-Tayyib, menandatangani dokumen Human Fraternity for World Peace and Living Together (Persaudaraan Insani demi Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama) di Abu Dhabi. Salah satu poin pentingnya berisi ‘seruan kepada diri mereka sendiri, kepada para pemimpin dunia serta para arsitek kebijakan internasional dan ekonomi dunia, agar bekerja keras untuk menyebarkan budaya toleransi dan hidup bersama dalam damai; agar mengadakan intervensi pada kesempatan paling awal untuk menghentikan penumpahan darah orang yang tidak bersalah dan mengakhiri perang, konflik, kerusakan lingkungan, serta kemerosotan moral dan budaya yang dialami dunia saat ini’.

Keduanya memohon dengan sangat agar dunia, kita semua, menjadikan toleransi sebagai sebuah budaya. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan ‘membudayakan’ sebagai proses menjadi kebudayaan, adat, kebiasaan yang dianggap wajar dan mendarah daging. Di dalam benak dunia, Indonesia dari sononya ialah sebuah bangsa toleran, ramah, suka bersaudara, dan cinta damai. Aksi-aksi intoleransi yang terjadi berulang kali hendaknya menjadi reminder keras bahwa kita harus berbenah diri, meninggalkan jalan yang salah dan kembali ke jalan yang benar. Kita Indonesia. Kita toleransi. Kita bisa.( Markus Solo Kewuta, Rohaniwan Katolik, Anggota Serikat Sabda Allah (SVD), Staf pada Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama di Takhta Suci Vatikan)