AMBON, Siwalimanews – Anggaran besar pinjaman Pemerintah Provinsi Maluku yang dikucurkan untuk membangun sejumlah proyek infrastruktur, malah menyisahkan banyak persoalan.Sejumlah proyek infrastruktur yang dibiayai dengan pinjaman dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), amburadul dan diduga banyak bermasalah.

Sebut saja proyek pekerjaan pembangunan jalan Waisala-Seri-Kambelu di Kecamatan Huamual Belakang yang tak selesai dikerjakan hingga kini.

Berikutnya proyek drainase yang dikerjakan asal-asalan di Talake, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon.

Ada pula pengerjaan troator yang dibangun pada sejumlah jalan utama di Kota Ambon dengan menggunakan keramik licin dan membahayakan kesela­matan pejalan kaki.

Kesemuanya itu adalah bukti pengelolaan proyek yang tidak terencana dan terkesan asal-asalan oleh Pemrov Maluku.

Baca Juga: DPRD Kritisi Kenaikan Retribusi Parkir

Anggota DPRD Provinsi Ma­luku, Alimudin Kolatlena menilai proyek infrastruktur yang dibiayai dengan pinjaman PT SMI me­rupakan proyek yang amburadul.

“Sejak Proyek SMI dilakukan banyak masyarakat yang mela­porkan tentang ketidak beresann­ya dan itu membuktikan bahwa Pemprov tidak memiliki peren­canaan, akibatnya semuanya terlihat amburadul,” ujar Ali­muddin kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Sabtu (22/5).

Menurutnya, banyak proyek yang sampai saat ini menimbulkan banyak persoalan, misalnya trotoar di Kota Ambon yang telah makan korban, serta masih adanya sejumlah proyek yang belum selesai digarap, hingga pertenga­han tahun 2021 ini.

Menurut Anggota Fraksi Gerindra ini, pelaksanaan proyek yang amburadul ini, didasari tak adanya perencanaan yang matang dari Pemprov Maluku sejak awal, sehingga tidak terlihat ada prioritas kepentingan pembangunan.

“Terlihat seperti tiba masa tiba akal, jadi tidak memiliki perencanaan yang matang yang terlihat dari pilihan program yang tidak menyentuh skala prioritas yang menjadi kebutuhan di Maluku,” tegasnya.

Kolatlena mengakui jika infra­struktur di Provinsi Maluku masih sangat terbelakang, tetapi bila meli­hat proyek yang dikerjakan dan di­hubungkan dengan kepentingan untuk peningkatan ekonomi masya­rakat, sama sekali jauh dari harapan.

“Rata-rata yang dibangun talud pekerjaan sampai sekarang masih menyisahkan masalah, karena belum selesai belum lagi trotoar di Kota Ambon yang bermasalah. Proyek itu seperti menggarami air asin karena dibongkar dan dibangun lagi dan akhirnya terlihat tidak melewati perencanaan yang matang. Fakta­nya, trotoar pun belum selesai di­kerjakan,” cetusnya.

Bermasalah

Diberitakan sebelumnya, sedi­kitnya ada tiga proyek yang dibiayai dengan pinjaman SMI yang diduga bermasalah.

Pertama, proyek drainase abal-abal di Talake, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, yang dikerjakan juga tidak sesuai bestek.

Secara kasat mata terlihat jelas per­bedaan pada jalan Ot Pattimaipauw dengan jalan-jalan yang lain pada pusat kota, karena ada perbedaan dimana ada trotoar yang memakai keramik, namun pada sebagian lokasi hanya dilakukan pengecatan.

Selain tak sesuai bestek, proyek yang dibiayai dana pinjaman dari PT SMI senilai Rp10,5 milyar dime­nangkan oleh PT Dewi Sakti Indah Utama sebagaimana tertera data yang dilansir lpse.go.id dengan kode tender 14493288 tahun anggaran 2020.

PT Dewi Sakti Indah Utama, yang beralamat di Jalan Soabali Nomor 126, Ambon diketahui hanya mempercantik trotoar lama yang sudah ada, kemudian mengecatnya.

Padahal, sebagai kawasan yang sering jadi langganan banjir, seha­rusnya drainase dan trotoar diper­lebar dari 30×35 centimeter, menjadi 70×75 centimer seperti sudah dibangun di kawasan pengeringan pantai Waihaong.

Selanjutnya, adalah proyek pe­ngerjaan jalan Waisala-Seri-Kambelu di Kecamatan Huamual Belakang, Kabupaten Seram Bagian Barat yang menghabiskan dana yang berasal dari dana pinjaman SMI sebesar Rp 11 miliar lebih hingga saat ini tak kunjung selesai dikerjakan.

Pasalnya, PT Isoiki Bina Karya selaku pihak kontraktor pelaksa­naan pekerjaan jalan ini baru mengerjakan proyek jalan tersebut sepanjang 1 kilometer, itupun jalan yang dihotmix baru sebagian.

Proyek yang ditangani perusa­haan lokal asal Kota Piru, mulai dihotmix, Kamis (22/4) dan direncanakan akan diselesaikan pada Jumat (23/4), namun sampai dengan saat ini proyek tersebut baru dikerjakan sebagian, dari ujung Desa Waesala menuju Dusun Alune Ujung, sepanjang 1 kilometer.

Padahal, sesuai laman www.lpse. malukuprov.go.id, proyek yang ditenderkan sejak 5 November 2020 kemarin, sudah harus dikerjakan setelah pengumuman pemenang tender. Sayangnya, sampai dengan pertengahan tahun 2021 proyek ini belum juga rampung.

Berikutnya adalah proyek trotoar di Kota Ambon yang viral bela­kangan ini, lantaran sudah banyak warga yang jatuh karena licin.

Selain itu, saat musim penghujan, trotoar ini juga dimanfaatkan anak-anak untuk bermain berselancar, karena tegel yang digunakan me­mang licin dan memungkinkan anak-anak untuk bermain ski.

Namun Kepala Bidang Cipta Karya pada Dinas PUPR Maluku Ella Sopalauw memastikan, tortor tersebut masih dalam tahap finishing.

“Tegel trotoar yang katanya licin itu, nanti saat finising akhir akan dikasih coating anti slip dengan produk yang diaplikasikan diatas keramik yang didesign untuk concrete,” ucap Sopalauw, sebagaimana dilansir Siwalima, Kamis (20/5).

Bermasalah Sejak Awal

Hal senada juga diungkapkan penggiat LSM,  Kollin Leppuy. Menurutnya, sejak awal proyek yang dibiayai oleh SMI ini telah menimbulkan banyak persoalan di masyarakat. “Sejak awal memang pinjaman ini sudah bermasalah,” ungkap Leppuy.

Dijelaskan, persoalan yang ada dimulai dengan distribusi anggaran yang tidak adil terhadap beberapa Kabupaten seperti KKT, MBD, Kepulauan Aru, Maluku Tenggara dan Kota Tual hingga proyek yang belum kunjung selesai.

Alhasil, pembangunan infra­struktur yang dibiayai pinjaman SMI telah mengorbankan masyarakat sebagai pengguna, sehingga dapat diklasifikasikan sebagai proyek yang amburadul.

“Kalau kita lihat kasat mata kita melihat proyek itu sendiri bisa dinilai sebagai proyek amburadul maka kita bisa klasifikasikan seperti itu,” ujarnya.

Menurutnya, jika diikuti, PT SMI ini dibentuk oleh pemerintah pusat agar pemda dapat meminjam uang guna melakukan pemulihan ekonomi khususnya dari aspek infrastruktur akan tetapi infrastruktur yang dibangun seharusnya infrastruktur yang memberikan dampak balik artinya daerah bisa mendapatkan pendapatan seperti sektor pariwisata yang terpukul akibat covid-19.

“Dari awal kita tidak setuju ketika pinjaman dipakai untuk membangun trotoar di Kota Ambon, karena trotoar tidak bisa memberikan sumbangsi PAD, padahal fokus dari dana SMI adalah membangun infrastruktur yang kemudian bisa memberikan pendapatan daerah belum lagi ada proyek yang belum selesai,” jelasnya.

Menurutnya, yang namnaya dana pinjaman, tetap harus kembalikan. Karenanya harus digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang dapat mendatangkan PAD, artinya jika proyek seperti trotoar tidak mungkin meningkatkan PAD.

“Bagaimana mungkin Pemprov akan menggantinya, apakah harus mengorbankan APBD sebesar 700 M? Ataukah akan menjadi utang daerah ke depan? Ini kan problem,” cetusnya.

Abaikan Konsultan

Sementara itu, Akademisi Teknik Sipil UKIM, Nus Weriharilla mengatakan sejak awal proses tender proyek, Dinas PU telah melakukan kesalahan dengan tidak melibatkan konsultan perencana dan konsultan pengawas.

“Proyek ini sesuai informasi yang saya terima langsung dimana dalam proses lelang antara PU sebagai pengguna jasa dengan kontraktor tidak melibatkan konsultan,” ungkap Nus.

Dijelaskan, tidak salah jika dari awal tak melibatkan konsultan perenca­naan dan pengawas, tetapi dari sisi pengawasan teknis justru jauh penting karena jika Dinas PU menginginkan kualitas dan mutu.

Akibat tidak melibatkan konsultan perencana dan pengawas, proyek yang dikerjakan tidak memuaskan hati masyarakat dan menuai banyak komplain.

Nus mengungkapkan sejak awal pengerjaan pengerjaan proyek, terjadi kendala pada sisi kesehatan dan kesejahteraan pekerja dimana tidak ada rambu-rambu pekerjaan, sehingga menjadi peringatan.

Terkait proyek yang sampai saat ini belum selesai, Nus menduga telah terjadi negosiasi yang tidak wajar antara kontraktor dan Dinas PU, sebab jika kontraktor beralasan adendum maka hal ini tidak wajar.

“Kalau adendum hanya terjadi terhadap waktu pekerjaan dan tidak bisa adendum dengan waktu lebih dari satu bulan, ini pasti ada negosiasi yang tidak wajar,” ujar Nus.

Dihubungi terpisah, akademisi Fisip UKIM, Marthen Maspaitella menegaskan, sebuah perencanaan proyek pembangunan mestinya didesain dalam dokumen perenca­naan yang baik, matang dan terukur.

Menurut Maspaitella, saat ini terjadi polemik tentang penggunaan anggaran yang berkaitan dengan pembangunan, mestinya instrumen pengawasan harus dilakukan oleh pelaksana pembangunan. Dan suatu perencanaan pembangunan ber­basis kepentingan rakyat, tentunya mendapatkan pengawasan dari semua episentrum yang berkaitan dengan kepentingan rakyat.

“Pembangunan trotoar di Kota Ambon apakah didasarkan pada perencanaan yang parmanen dike­luarkan oleh pemerintah, sehingga kalaupun dilakukan dalam dokumen perencanaan maka harus diperta­nggungjawabkan dengan baik tetapi jika di luar perencanaan, maka pe­ngawasan sangat penting sehingga pemerintah tak semena-mena melakukan hal di luar perencanaan itu,” ungkap Maspaitella.

Dia juga menyoroti lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh DPRD, yang ikut memberi sum­bangsih terhadap semua proses yang terjadi.

“Justru karena fungsi pengawasan yang tidak ketat akibatnya persoalan muncul, kalau sudah amburadul begini sapa harus bertanggung­jawab, seharusnya semua yang ter­libat didalamnya,” ujar Maspaitella.

Menurutnya, dengan terjadi pole­mik, sudah harus dilakukan evaluasi oleh pemerintah daerah artinya pemerintah dengan jiwa besar dan terbuka harus melakukan penga­wasan dengan memberikan per­tanggungjawaban kepada publik.

Amburadul

Akademisi Fisip Unpatti, Victor Ruhunlela mengatakan semua yang dimulai dengan proses yang tidak baik sudah pasti akan menghadapi persoalan termasuk proyek yang dibiayai dengan dana pinjaman SMI.

Dijelaskan, semua proyek yang dikerjakan oleh Pemprov Maluku dalam hal ini Dinas PUPR, merupakan proyek yang amburadul. “Karena mestinya dicek proyeknya apakah layak atau tidak,” ungkap Ruhunlela.

Menurutnya, selama ini Pemprov tidak pernah melibatkan akademisi terkait untuk membuat studi kela­yakan terhadap suatu proyek, aki­bat­nya menimbulkan banyak masalah.

Ruhunlela sangat menyesalkan keberadaan DPRD Provinsi Maluku yang tidak melakukan pengawasan padahal instrumen pengawasan sangat ampuh untuk mencegah pembangunan yang bermasalah, apalagi telah memakan korban.

“Terkait dengan proses yang sudah memakan korban mestinya ditegur oleh DPRD sehingga proyek ini tidak dilanjut artinya dihentikan dan diganti tapi seakan-akan ada kerja sama. Aneh juga ini persoalan besar di depan mata, tapi DPRD tidak bersuara ini persoalan padahal lembaga ini memiliki kewenangan,” tegasnya.

Sementara itu praktisi hukum, Munir Kairoty mengatakan semua proyek yang di bangun oleh Pe­merintah Provinsi Maluku dengan menggunakan pinjaman SMI terlibat amburadul.

“Tidak memiliki perencanaan yang matang artinya memperhitungkan lebih dan kurang sehingga ambu­radul pengerjaannya,” ujar Munir.

Menurutnya, Pemerintah Provinsi Maluku seharusnya melakukan pembangunan sesuai dengan ren­cana pembangunan agar bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Dengan adanya pengerjaan yang amburadul ini, Munir mendorong aparat penegak hukum untuk mengusut jika tidak sesuai dengan peruntukan dari proyek tersebut.

“Semua kan harus sesuai aturan, jadi kalau ada terindikasi pekerjaan proyek tidak sesuai dengan per­untukan atau manfaatnya, maka instansi yang berwenang harus mengusut jika ada indikasi pekerjaan tidak sesuai dengan peruntukan karena ini uang negara,” tegasnya.

Ditambahkan semua proyek yang dilakukan oleh Pemprov Maluku harus berbasis pada kepentingan masyarakat agar tujuan pemba­ngunan dapat tercapai.

Sementara itu Kepala Dinas PUPR Maluku, Muhamat Marasabessy yang dikonfirmasi Siwalima melalui telepon selulernya beberapa kali, Minggu (23/5) terkait proyek infrastruktur yang menggunakan anggaran SMI pada sejumlah wilayah tinggalkan banyak masalah, tidak memberikan respon. pesan singkat yang di kirim via WhatsApp juga tidak di balas. (S-50/S-39)