AMBON, Siwalimanews – Ferry Tanaya menyerang balik. Ia menggugat Kejati Maluku atas penetapannya sebagai tersangka dugaan korupsi pembelian lahan PLTG Namlea, Kabupaten Buru.

Melalui tim penasehat hu­kum­nya, Ferry menilai pene­tapannya sebagai tersangka menabrak KUHAP. Ia menolak mengembalikan uang, karena lahan yang dibeli PLN Unit In­duk Pembangunan (UIP) Ma­luku adalah miliknya.

“Hari ini, resmi kami daftarkan praperadilan di pengadilan atas penyidik Kejati Maluku,” kata Hendri Lusikooy, salah satu penasehat hukum Ferry Tanaya, kepada Siwalima, Kamis (10/9).

Lusikooy mengatakan, praperadi­lan adalah bagian dari hak Ferry Tanaya yang dijamin oleh undang-undang. Tetapi ia tak mau membe­ber­kan materi praperadilan, dengan alasan akan dibuka saat persida­ngan.

“Ada beberapa hal yang menjadi tujuan praperadilan ini. Namun, kami belum bisa sampaikan karena itu akan menjadi senjata kami saat praperadilan nanti, intinya hari ini kami nyatakan praperadilan,” ujar­nya.

Baca Juga: Kajati Tantang Tanaya Buka-bukaan

Sebelumnya, Fery Tanaya menilai dirinya dijadikan tumbal kesalahan pihak lain dalam dugaan korupsi pembelian lahan bagi pembangunan PLTG Namlea. Tidak ada niat menjual lahan seluas 48 ribu meter persegi itu, tapi ibunya dibujuk oleh pihak PT PLN UIP Maluku dengan dalih kepentingan umum, sebelum lahan tersebut dilepas denga harga Rp 6 miliar lebih.

Ferry Tanaya sendiri menolak me­ngembalikan uang tersebut, karena ia yakin lahan itu sah miliknya sesuai bukti surat yang dimiliki. Sayang­nya, penyidik menetapkan dirinya sebagai tersangka bersama Abdul Gafur Laitupa, mantan Kasi Peng­ukuran Badan Pertanahan Kabu­paten Buru. “Bagi kami Ferry Tanaya dan Gafur hanya tumbal. Sementara PLN dewa. Tak disentuh,” tandas Lusi­kooy.

Lusikooy mengungkapkan, lahan seluas 48 ribu meter persegi itu awalnya milik milik Zadral Wakano, yang di tahun 1985 dijual ke Ferry Tanaya dan sah milik Ferry berda­sarkan surat kepemilikan yang diterbitkan oleh PPAT yakni  Camat setempat saat itu.

Olehnya tanah tersebut bukanlah tanah erfpacht atau tanah pemerin­tah, sebagaimana disebut jaksa. Sehingga, kerugian negara Rp. 6 miliar lebih sebagaimana disebut penyidik sangatlah keliru.

“Diketahui Ferry tidak ada nego­siasi disitu. Karena dengan dalil kepentingan umum maka tanah itu dijual.  Tanah itu sah milik Ferry, sehi­ngga terjadi jual beli itu sah. Kalau terjadi korupsi, ya PLN dong,” ujar Lusikooy.

Sementara Abdul Gafur Laitupa , menurut Lusikooy, melakukan peng­ukuran tanah untuk pengembalian batas atas perintah atasannya ketika itu almarhum Jhon Sorsery. Tapi hasilnya belum final, pihak PLN UIP Maluku, buru-buru mengajukan hasil appraisal atau taksiran harga lahan senilai Rp 125 ribu/meter persegi. Alhasil lahan dibayarkan ke Ferry Tanaya, tapi anehnya dia malah jadi tersangka.

“Kalau kenapa UIP PLN tidak (tersangka) kami tidak bisa menje­laskan. Karena itu wewenang jaksa penyidik,” kata Lusikooy.

Terkait pernyataan Kepala Kejati Maluku, Rorogo Zega yang menye­butkan Ferry Tanaya tidak jujur mengungkapkan jumlah uang yang diterima dari pihak PLN, penasehat hukum Ferry Tanaya lainnya, Herman Koedoeboen mengatakan, pihaknya tidak bisa memberi panda­ngan terhadap sesuatu yang masih menjadi asumsi.

“Intinya, kita berdasarkan fakta saja. Itu kan kewenangan penyidik. Silakan saja, karena itu sebuah ke­wenangan yang perlu ditindak­lan­juti,” jelasnya.

Menurutnya, dalam pemeriksaan tidak mewajibkan ada pengakuan. Jaksa harusnya kembali kepada alat buki yang menunjukkan adanya indikasi perbuatan yang dianggap merugikan keuangan negara.

“Karena yang mengetahui fakta persidangan adalah penyidik. Kami hanya bisa menyimpulkan dari BAP. Kalau proses sudah berjalan baru kita bisa mengetahui fakta yang terungkap itu,” kata Koedoeboen.

Dikatakan, penetapan tersangka adalah kewenangan penyidik,  tanpa harus membebani tersangka. “Ka­rena beban pembuktian ada di penyidik. Tersangka hanya punya hak melakukan pembuktian terbalik. Meskipun sifatnya terbatas. Karena itu sebagian dugaan apapun men­jadi beban penyidik. Sekarang ya hasil pemeriksaan penyidik yang harus ditindaklanjuti,” ujarnya.

Tantang Tanaya

Sebelumnya Kepala Kejati Malu­ku, Rorogo Zega menantang Ferry Tanaya buka-bukaan soal kasus korupsi pembelian lahan untuk pembangunan PLTG 10 megawatt di Namlea, Kabupaten Buru. Ferry Tanaya dinilai tak jujur.

Tanaya terkesan melindungi pihak PLN Maluku. Ia tak mau transparan menyangkut uang Rp 6 miliar lebih yang dibayar oleh perusahaan ber­plat merah itu.

“Saya memang baca di koran-ko­ran terkait pernyataan Ferry Tanaya soal pihak PLN. Kan yang dicurigai begini, setelah uang diterima Ferry ada pengembalian ke PLN. Harus­nya Ferry ngomong dong, uang saya terima itu tidak sebesar itu,” kata Zega kepada wartawan, di Kan­tor Gubernur Maluku, Rabu (9/9).

Zega tak terima jika pihak Ferry Tanaya menuding jaksa merekayasa kasusnya. Ia menegaskan, jaksa me­mi­liki  bukti-bukti yang cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka.

Soal permintaan pihak Ferry Tanaya agar PLN juga dijerat, Zega mengatakan, jaksa tidak memiliki bukti-bukti yang cukup.

Apabila Ferry Tanaya bersikukuh bahwa pihak PLN yang bersalah, kata Zega, harusnya Tanaya mem­bantah soal uang yang diterima dari hasil penjualan lahan.

“Tapi tidak ada tanda-tanda dari pihak PLN. Artinya kan begini, PLN itu membeli tanah dia membayar selesai disitu. Sedangkan, Ferry te­rima uang yang bukan haknya. Itu milik negara,” tandas Zega.

Zega menegaskan, pihaknya akan menuntaskan kasus pembelian lahan untuk pembangunan PLTG Namlea, karena merugikan negara Rp. 6 miliar lebih. “Kita tetap akan tanga­ni,” tandasnya lagi.

Untuk diketahui Kejati Maluku resmi menahan Ferry Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa sebagai ter­sang­ka kasus dugaan korupsi pem­belian lahan pembangunan PLTG di Namlea, Senin (31/8).

Tanaya dan Laitupa ditahan di Rutan Polda Maluku Tantui. Pena­hanan dilakukan selama 20 hari sejak 31 Agustus 2020 sampai 19 September 2020.

Penahanan kedua tersangka di­lakukan setelah penyidik memeriksa keduanya pukul 09.30 sampai pukul 16.00 WIT dengan didampingi tim  penasehat hukum masing-masing.

Ferry Tanaya didampingi penase­hat hukumnya, Herman Koedoe­boen, Firel Sahetapy dan Fileo Pistos Noija. Sedangkan, Laitupa didampi­ngi penasehat hukumnya Syukur Kaliky.

Ferry Tanaya telah ditetapkan se­bagai tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-749/Q.1/Fd.1/05/ 2020, tanggal 08 Mei 2020. Sedangkan Abdur Gafur Lai­tupa, ditetapkan sebagai tersangka, berdasarkan Surat Penetapan Ter­sangka Nomor: B-750/Q.1/Fd.1/05/2020, tanggal 08 Mei 2020, dalam ka­sus yang merugikan negara lebih dari Rp 6 miliar itu.

Lahan seluas 48.645, 50 hektar di kawasan Jikubesar, Desa Namlea, Ke­camatan Namlea, Kabupaten Bu­ru milik Ferry Tanaya dibeli oleh PLN untuk pembangunan PLTG 10 megawatt.

Sesuai nilai jual objek pajak (NJOP), harga lahan itu hanya Rp 36.000 per meter2. Namun diduga ada kongkalikong antara Ferry Tanaya, pihak PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang saat itu dipimpin Didik Sumardi dan oknum BPN Kabupaten Buru untuk menggelem­bungkan harganya. Alhasil, uang ne­gara sebesar Rp.6.401.813.600 ber­hasil digerogoti.

Hal ini juga diperkuat dengan hasil audit BPKP Maluku yang dise­rahkan kepada Kejati Maluku.

“Hasil penghitungan kerugian negara enam miliar lebih dalam perkara dugaan Tipikor pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangu­nan PLTG Namlea,” kata Kasi Pen­kum Kejati Maluku, Samy Sapulette.

Sapulette mengatakan, Ferry Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa dite­tapkan sebagai tersangka berda­sarkan bukti-bukti yang dikantongi jaksa.

“Berdasarkan rangkaian hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik ditemukan bukti permulaan yang mengarah dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka tersebut yaitu FT dan A.G.L,” ujarnya. (Cr-1)