AMBON, Siwalimanews – Ketua DPRD Maluku, Lucky Wattimury me-ngakui kesa­-lahannya. Surat gubernur soal usulan pinjaman Rp 700 miliar ke  PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) didiamkan.

Surat Gubernur, Murad Ismail tertanggal 26 September 2020 perihal pemberitahuan pinjaman itu, tersimpan di meja Wattimury tanpa diberitahukan kepada pimpinan dan anggota DPRD lainnya.

“Memang pemberitahuan soal rencana pinjaman itu telah di­sampaikan gubernur kepada DP­RD, tetapi ketua dewan dengan tugas-tugas yang ada sehingga ter­jadi miss komunikasi. akibatnya pimpinan sendiri tidak ada yang  tahu tentang pinjaman, sebagai ketua dewan saya bertanggung ja­wab atas kealpaan itu,” tandas Wattimury, kepada wartawan usai rapat Badan Anggaran DPRD Maluku dan tim anggaran Pemprov Maluku, Kamis (26/11) malam.

Rapat yang dimulai pukul 20.30 WIT itu, berlangsung di ruang  rapat paripurna DPRD Maluku secara  tertutup, dan baru berakhir pukul 11.30 WIT.

Tim anggaran pemprov yang hadir adalah Sekda Kasrul Selang, Kepala BPKAD Zulkifli Anwar, Kepala Bappeda Anton Lailossa dan Sekretaris Dinas PUPR Maluku.

Baca Juga: Proyek 700 M Lewat Jalur tak Resmi

Wattimury mengatakan, semua anggota badan anggaran memahami dan memberi dukungan atas pinja­man yang dilakukan pemprov ke PT SMI untuk pemulihan ekonomi Maluku.

Lanjut Wattimury, dalam rapat badan anggaran DPRD juga menyo­roti dana Rp 700 miliar yang tidak dimasukan dalam APBD perubahan 2020. Karena itu, disepakati nantinya pinjaman itu akan dimasukan dalam APBD Perubahan yang se­men­tara dievaluasi oleh Kemente­rian Dalam Negeri.

“Badan anggaran meminta kepada tim anggaran pemerintah daerah untuk dapat mensinkronkan pinjaman itu dengan APBD Perubahan. Penem­patannya akan dibicarakan dengan badan anggaran, sehingga menjadi satu dengan postur APBD untuk dijalankan pemda,” jelasnya.

Sementara Sekda Kasrul Selang menjelaskan, pinjam dilakukan karena kondisi APBD yang tertekan dan diperhadapkan dengan kebutuhan pembangunan yang mendesak.

“Karena itu pemerintah memu­tuskan untuk mengajukan pinjaman dengan adanya relaksasi aturan de­ngan bunga pinjaman nol persen,” katanya.

Dalam pengusulan pinjaman itu, Pemprov Maluku mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional.

Sesuai dengan PMK Nomor 105 itu, kata Kasrul, tidak mengharuskan untuk persetujuan DPRD.

“Sesuai PMK itu, hanya kepala daerah memberitahukan kepada DPRD dalam jangka waktu paling lama lima hari kerja terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan,” jelasnya.

Kasrul juga menjelaskan, devisit saat ini Rp 102 miliar,  sehingga pemprov dapat melakukan pinjaman melebihi devisit, dan wajib meminta persetujuan Kemendagri dan Kementerian Keuangan.

“Pemda juga telah berkonsultasi dengan Kemendagri terkait RAPBD Perubahan  yang telah disetujui dan ditegaskan pinjaman SMI dapat dimasukan dalam hasil evaluasi RAPBD perubahan, karena itu total APBD perubahan sebesar 3.59 triliun yang ditetapkan dalam paripurna DPRD akan mengalami penambahan sebanyak 700 miliar,” terangnya.

Sementara untuk pengembalian pinjaman, menurut Kasrul, akan di­lakukan selama 8 tahun. Pembaya­ran akan mulai dilakukan tahun ke­tiga melalui pemotongan DAU sebesar Rp 140 miliar per tahun.

Kasrul mengungkapkan, jika dimungkinan pendatanganan kerja sama pinjaman akan dilakukan pada Jumat  (27/11). “Pencairannya akan dilakukan tiga tahap. Untuk tahap I sebesar 25 persen, tahap II sebesar 45 persen, dan sisanya 30 persen dan pencairannya hingga tanggal 15 Maret 2021,” urainya.

Ia menambahkan,  dari 700 miliar pinjaman itu, sebanyak 40 miliar lebih akan dialihkan untuk  program padat karya di bidang infrastruktur.

Soal lelang yang telah dilakukan, Kasrul mengatakan, dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010  tentang  Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ada dikenal lelang dini atau lelang pra DIPA dan lelang mendahuli DIPA. Karena  itu, dalam rangka efisiensi waktu maka lelang dilakukan.

“Dengan ketentuan dalam proses lelang tersebut terdapat klausul, apabila anggaran tidak mencukupi maka tidak terjadi kontrak dan resiko ditanggung penawar,” ujarnya.

Bantah Atur

Kepala Dinas PUPR Provinsi Ma­luku, Mohammat Marasabessy mem­bantah dirinya yang  mengatur pinjaman Rp 700 miliar ke SMI.

Mat, panggilannya menyebutkan, soal pinjaman yang bertujuan untuk pemulihan ekonomi nasional (PEN) itu, diketahui oleh Sekda Kasrul Se­lang, dan pimpinan organisasi perang­kat daerah (OPD) yang masuk dalam tim anggaran pemerintah daerah (TPAD).

“Bukan saya yang mengaturnya, saya memang terlibat dalam rapat bersama TPAD yang dipimpin oleh Sekda dan Sekda tahu kok soal pinjaman itu,” tandas Marasabessy, kepada Siwalima, melalui telepon selulernya, Rabu (15/11).

Mantan Kepala Balai Wilayah Sungai Maluku ini menjelaskan, rapat TPAD itu sudah dilakukan be­berapa waktu lalu untuk membahas pinjaman ke PT SMI, dan rapat terakhir berlangsung di Lantai 2 Kantor Gubernur Maluku pada 24 Oktober, pukul 14.00 WIT.

“Rapat terakhir di kantor gubernur itu dipimpin langsung oleh Sekda untuk membahas pinjaman PEN Pe­merintah Provinsi Maluku,”  ujarnya.

Marasabessy mengungkapkan, usulan pinjaman itu sudah diajukan oleh gubernur pada 26 September.

Lanjutnya, pinjaman PEN itu hanya digunakan untuk pekerjan jalan, irigasi, dan air bersih. Tidak diperbolehkan memperbaiki rumah dinas maupun kantor.

Disinggung soal pinjaman ke PT SMI dilakukan tanpa persetujuan DPRD, Marasabessy mengatakan, Pemprov Maluku mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional.

Dalam PMK Nomor 105  pasal 10 ayat 1 disebutkan, kepala daerah yang mengajukan permohonan pinja­man PEN daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam jangka waktu paling lama 5  (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan.

“Makanya Pemprov Maluku telah menyurati ke DPRD tertanggal 26 September 2020 dan ditandatangani lang­sung oleh pak gubernur, dan sesuai de­ngan PMK itu hanya sekedar pemberitahuan ke DPRD bersamaan dengan surat ke PT SMI,” jelas Ma­rasabessy.

Bantah Terima Fee

Marasabessy juga membantah keras informasi yang beredar, kalau dirinya telah menerima fee 5 persen dari kontraktor yang memenangkan tender proyek yang didanai dari pinjaman SMI.

“Itu tidak benar, itu informasi dari siapa? Saya tidak menerima fee atau apapun, kerja kita dipantau langsung oleh KPK, sehingga kita tidak mu­ng­kin sewenang-wenang, termasuk me­nerima fee dan sebagainya,” tegasnya.

Marasabessy mengaku, tender dila­kukan melalui layanan penga­daan secara elektronik (LPSE) sejak awal November untuk 174 paket pekerjaan dengan total anggaran Rp 700 miliar, yang adalah pinjaman dari PT SMI.

“Jadi ada 174 paket yang akan dikerjakan dengan menggunakan anggaran pinjaman dari PT SMI sebesar Rp 700 miliar, dengan tenor waktu pinjamannya selama tujuh tahun,” terangnya.

Kendati begitu, Pemprov Maluku hanya membayar pinjaman itu selama lima tahun melalui pemotongan dana alokasi khusus (DAK).

Walaupun sudah diumumkan peme­nang tender, namun kata Marabessy, sampai saat ini belum ada kontrak yang diteken. Kalau pinjaman tidak disetujui PT SMI, maka proyek yang tender dibatalkan.

Akademisi Fisip UKIM, Amelia Tahitu mengatakan, berapa pun besar pinjaman dapat dilakukan oleh Pemprov Maluku, tetapi harus sesuai dengan aturan. Salah satunya, mendapat persetujuan DPRD.

Pemprov kata Tahitu, tidak boleh me­­ngesampingkan DPRD dalam se­tiap pemgambil kebijakan, apalagi ber­kaitan dengan pembangunan yang dapat berdampak bagi masya­rakat.

Menurutnya, anggaran Rp 700 mi­liar seharusnya tidak hanya difo­kuskan pada pembangunan infra­struktur. Justru sektor yang juga terdampak pandemi Covid-19 seperti kesehatan, ekonomi dan pendidikan harus mendapat perhatian serius.

Tahitu juga meminta pemprov terbuka soal pinjaman ke SMI, sehingga tidak menimbulkan polemik.

Lewat Jalur tak Resmi

Seperti diberitakan, paket proyek pembangunan infrastruktur senilai Rp 700 miliar yang ditender diduga tak melalui mekanisme pembahasan resmi panitia anggaran Pemprov Maluku.

Pemprov memotong jalur pembaha­san. Paket bernilai jumbo ini dibahas hanya oleh sekda dan bagian keua­ngan. Bappeda yang selama ini men­jadi “dapur” panitia anggaran ekse­kutif untuk menggodok semua proyek untuk dimasukan dalam APBD, tak lagi dilibatkan secara penuh.

Selain mekanisme pembahasan di panitia anggaran eksekutif tak melewati jalur semestinya, pinjaman uang Rp 700 miliar dari PT SMI juga tak diketahui DPRD.

Sekretaris Fraksi Demokrat DPRD Provinsi Maluku, Asri Arman, menilai, Pemprov melecehkan DPRD.

Uang ratusan miliar dipinjam untuk membiayai proyek infrastruktur yang akan dikelola Dinas PUPR yang dipimpin Muhamat Marasabessy itu, tanpa melibatkan DPRD. Padahal setiap kerja sama pemerintah daerah dengan pihak ketiga harus mendapat persetujuan DPRD. Hal itu ditegaskan jelas dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasal 317 ayat 1.

Dalam Pasal 317 ayat 1 huruf 1 disebutkan, DPRD provinsi mem­pu­nyai wewenang dan tugas, membe­rikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membe­bani masyarakat dan daerah.

Dalam Peraturan Pemerintah No­mor: 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah Pasal 18 ayat 2 juga mene­gaskan, berdasarkan pertimbangan Menteri Dalam Negeri, kepala daerah menyampaikan usulan rencana pinjaman daerah kepada Menteri Ke­uangan untuk mendapatkan persetu­juan dengan melampirkan dokumen, diantaranya seperti yang disebutkan pada huruf a. persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Begitupun dalam lampiran Permen­dagri Nomor 33 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyusunan ABPD Tahun 2020 pada 57 butir 4 disebutkan, Pemerintah daerah dapat melaku­kan pinjaman daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pinjaman daerah. Bagi pemerintah daerah yang berencana untuk melakukan pinjaman daerah harus dianggarkan terlebih dahulu dalam rancangan peraturan daerah tentang APBD tahun anggaran berkenaan sesuai dengan ketentuan dalam pasal 15 Peraturan Peme­rintah Tahun 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah.

Selanjutnya, persetujuan DPRD untuk  pinjaman jangka menengah dan pinjaman jangka panjang dilakukan bersamaan pada saat pembahasan kebijakan umum APBD dan prioritas dan plafon anggaran sementara seba­gaimana maksud pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah.

“Sudah jelas ini pelecehan,  karena salah satu fungsi DPRD adalah ang­garan, tapi kalau tidak dilibatkan, lalu mau dibahas dan diawasi bagai­mana,” tandas Asri Arman, kepada Siwalima, Senin (23/11).

Sebagai lembaga yang memiliki fungsi anggaran dan pengawasan, kata Asri Aman, maka setiap kebijakan pemprov dalam kaitan dengan anggaran mesti diketahui oleh DPRD, apalagi dalam bentuk pinjaman.

Wakil Ketua DPRD Provinsi Ma­luku, Aziz Sangkala juga mengaku, tidak ada pembicaraan sama sekali de­ngan DPRD untuk pemprov me­min­jam dana di PT SMI. “Sampai dengan saat ini tidak ada pembicaraan terkait dengan pinja­man yang dila­kukan oleh Pemprov Maluku di PT SMI,  kok tiba-tiba ada ada pinjaman seperti itu,” tandas Sangkala kepada Siwalima, Minggu (22/11). (S-50)