AMBON, Siwalimanews – Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Ambon, Sirjhon Slarmanat membelah bawahannya dengan mengatakan tidak ada pungli di Pasar Waiheru.

“Beberapa waktu lalu kita sudah turun langsung ke pasar melalui penjabat Desa Waiheru. Dan itu tidak benar karena, retri­busi itu ada dalam perda,” katanya kepada Siwalima, dihalaman par­kiran Balai Kota Ambon, Senin (26/7).

Setelah pengecekan, kata Slar­manat pihaknya mengambil keputusan untuk melakukan transparansi terkait dengan tarif retribusi per lapak, dan yang berjualan di pelataran.

“Transparansi itu nanti akan dibuat. Makanya dianjurkan itu untuk tarif akan dibuat Dalam ben­tuk spanduk sehingga dita­ruh disana untuk diketahui para pedagang,” ungkapnya.

Tak hanya itu, untuk pena­gihnya sendiri akan dilengkapi bertujuan agar tidak ada oknum-oknum yang mengatasnamakan dinas tidak meraup keuntungan.

Baca Juga: Pemprov Akui Lamban

“Penagih yang akan mena­nggih itu adalah pegawai yang bertugas pada UPT pasar jadi tidak lagi ada penagih-penagih yang tidak ada identitas yang tidak jelas,” cetusnya

Dirinya juga menjelaskan untuk Waiheru, belum ada UPT resmi dan tidak mungkin tidak berdiri sendiri.

Dirinya juga telah meminta kepada para pedagang untuk tak takut melapor kenakalan oknum tertentu yang meng­atas­namakan dirinya sebagai pegawai dinas, dan berusaha un­tuk meraup keuntungan, “Mereka diharuskan melapor langsung,” ujarnya.

Tutup Mata

Seperti yang diberitakan sebelum­nya, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Ambon. John Slarmanat diminta untuk tidak menutup mata terhadap persoalan dugaan retribusi ilegal di Pasar Waiheru, Kecamatan Baguala, Kota Ambon.

Kepada Siwalima, Ketua APKLI Kota Ambon, Sutan Marsida menga­takan, sikap cuci tangan yang ter­kesan dilakukan Kadisperindag itu ditunjukan melalui suratnya Nomor: 510/236/Indag tertanggal 1 Juli 2021, dengan tembusannya Kepala Desa Waiheru dan melalui surat itulah Pemerintah Desa Waiheru menge­luarkan suratnya Nomor:002/PGG/DW/VII/2021, yang ditandatangani oleh Pjs Kepala Desa Waiheru, Siti Saoda Lasima untuk melakukan pertemuan membahas persoalan retribusi di Pasar Waiheru, di Kantor Desa Waiheru, Rabu (14/7).

Sebelumnya diberitakan, kegeli­sahan yang dialami para pedagang kaki lima (PKL) di Pasar Perumnas Waiheru, Kecamatan Baguala, Kota Ambon akibat ulah Izack Molle, oknum preman penagih retribusi tanpa karcis itu ternyata ditanggapi serius oleh Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Kota Ambon.

Diduga oknum Disperindag Kota Ambon ini bekerja sama dengan Izack Molle untuk menggarap upeti dari PKL di Pasar Waiheru.

“Setelah kita menerima laporan dan melakukan investigasi ternyata ada dugaan korupsi yang dilakukan dengan menggarap retribusi dari PKL di Waiheru dan kita sementara siapkan bukti-bukti itu untuk dila­porkan ke Kejari Ambon,” tandas Ketua APKLI Kota Ambon, Sutan Marsida, kepada Siwalima, di Ambon, Kamis (15/7).

Disinggung soal bukti-bukti apa saja yang sementara disiapkan, Masida enggan membeberkannya.

“Saya belum bisa sampaikan ke pub­lik, bukti apa saja yang semen­tara kami siapkan. Yang pasti, bukti-bukti ini akan segera kami sam­paikan ke Kejari,” cetusnya.

Sebelumnya diberitakan, retribusi yang ditagih dari PKL di Pasar Wai­heru, Kecamatan Baguala Kota Ambon diduga ilegal. Pasalnya, retri­busi yang ditarik oleh oknum Izack Molle tidak dibarengi dengan pem­berian karcis.

Sikap dan tindakan Molle yang ber­tingkah preman ini sangat  me­resahkan para PKL.

Sebanyak 300 lebih PKL yang memiliki lapak dan kios di Pasar Perumnas Waiheru itu diwajibkan membayar retribusi tanpa diberikan bukti pembayaran berupa karcis.

Ilham, pedagang sembako menga­ku, selama dua tahun lebih, tagihan retribusi dilakukan namun tidak per­nah diberikan karcis bahkan untuk pembayaran pajak setiap bulannya, hanya diberikan kwitansi tanpa cap.

“Kita hanya diberikan kwitansi untuk pembayaran pajak sebesar Rp 174 ribu per bulan tanpa cap bahkan tanda tangannya pun berbeda-beda setiap bulan tanpa ditulis nama penerima.

Sementara pembayaran  retribusi­nya sebesar Rp5000 per hari tidak di­berikan karcis,” tandas Ilham, ke­pada Siwalima,  Rabu (14/7).

Menurut Ilham, Molle itu orang dinas, kenapa tidak pakai pakaian dinas bahkan saat lakukan tagihan hanya memakai sendal, kacamata yang diletakan diatas kepala dan menggunakan celana pendek.

“Saat  tagihan, dia juga mencatut nama kepala dinas dan dia orang suruhan dari dinas,” ujarnya.

Senada dengan itu Cilo, pedagang kentang dan wortel mengatalan,  ulah Izack Molle ini sangat mere­sahkan pihaknya, pasalnya Molle dalam melakukan penagihan retri­busi bertingkah preman bahkan ter­kesan melakukan intimidasi apalagi saat PKL tidak berjual tapi tetap ditarik retribusi.

“Masa katong tidak bajual tapi ditarik retribusi, inikan aneh ? Kalau kemana uang-uang itu,” cetusnya.

Ia mencontohkan, untuk liburan Idul Fitri misalnya, walaupun tidak berjualan namun tetap ditarik retri­busi padahalkan kita libur karena hari raya.

Selain itu, Yano,  pedagang kelapa dan sayur mengaku setiap harinya harus membayar retribusi Rp18 ribu tanpa diberikan karcis.

Begitu juga dengan Arfin, peda­gang sembako. Arifin menuturkan,  pada awal Pasar Waiheru mulai ber­operasi April 2019 lalu, PKL mem­bayar retribusi untuk Pemkot Ambon Rp2000,  sampah Rp2000,  keamanan Rp2000 kemudian ada kenaikan dari Disperindag Kota Ambon melalui UPTD menurut  Izack Molle.

“Yang menjadi keluhan kita bahwa telah dilakukan kenaikan retribusi untuk Pemkot 5000 ribu, sampah 2000 ribu dan keamanan 2000 ribu tanpa dilakukan sosialisasi tapi langsung dinaikan sepihak. Lalu kata Izack Molle, itu aturannya dari dinas, itu instruksi dari kepala dinas sementara kita sampai sekarang ini belum pernah ketemu dengan dinas, apa­lagi sampai saat ini Pasar Wai­heru belum diresmikan,” tandasnya.

Arifin juga mempertanyakan kapa­sitas Izack Molle untuk menangih retribusi dari para pedagang.

“Kita heran kenapa penagihan retribusi itu harus dilakukan oleh Izack Molle,  kapasitas dia itu apa? kita bayar retribusi setiap hari tapi tidak ada karcis.  Contoh saja,  kalau kita mau beli tiket kan diberikan bukti tiket  tapi ini tidak ada,  sehingga kami pertanyakan kemana uang-uang retribusi yang telah ditagih itu,”  ujarnya.

Selain itu,  kata dia,  menurut  Izack Molle, untuk ukuran kios ukuran 2×2,5 meter maka pajak yang harus  dibayar setiap bulan itu Rp155 ribu,  sementara untuk kios ukuran 2×2 meter bayarnya Rp102 ribu.

“Yang sangat  disayangkan kalau pedagang tidak membuka lapak atau kios, tetap retribusi dibayar. Tidak pernah disosialisasi sebelumnya kepada para PKL,”  terangnya. (S-52)