AMBON, Siwalimanews – Pegawai honorer instalasi RSUD dr M Haulussy, John mengakui, hasil tes swab yang dilakukan saksi terhadap almarhum HK adalah positif.

Pengakuan saksi ini disampaikan dalam sidang lanjutan kasus perampasan jenazah Covid-19 di kawasan Galunggung, Jalan Jenderal Sudirman, yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Ambon, Senin (7/9) dengan 10 terdakwa yaitu, Adam Manitu, Muhammad Husni Leuli, Sarif Borut, Sahrul Ode Tami, Bayu Sarif, Hamsa Ode Adja, Moh Sukri Tuanaya, Hasna Suailo, Naci Iba dan Yana.

Dalam sidang yang dipimpin hakim  Ahmad Hukayat dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Elsye B. Leunupun saksi mengakui, almarhum HK terkonfirmasi positif. Namun saksi tidak tahu menahu soal perampasan jenazah.

Selain itu, saksi tidak bisa memastikan apakah memang benar pihak rumah sakit telah melakukan sosialisasi kepada pihak keluarga, atau belum terkait penanganan jenazah. “Saya melakukan swab kepada almarhum ketika dia dinyatakan meninggal. Memang hasilnya positif sama seperti tes sebelumnya. Saya langsung memberikan hasil tes kepada dokter yang bertanggung jawab menangani pasien covid. Nanti dokter itulah yang memberikan pemahaman kepada keluarga pasien,” ujar Jon.

Dia menceritakan, saat almarhum meninggal, dia mendapat perintah melakukan swab kepada almarhum. Hal itu dilakukan agar almarhum dapat dikuburkan sesuai dengan protokol covid. “Kalau soal kerumunan saya kurang tahu. Tapi yang jelas saat itu memang ada banyak orang di rumah sakit, saya tidak menyebut itu keluarganya saja, karena memang saya tidak tahu,” jelasnya

Baca Juga: Tiga Hari 183 Orang Tertular Corona

Setelah mendengar kesaksiannya itu, majelis hakim menunda persidangan hingga pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi.

Sesalkan Dakwaan JPU

Sementara itu, pengacara Hamdani Laturua menyesalkan dakwaan JPU. Ia menilai dakwaan tersebut terlalu berlebihan dengan pasal-pasal yang dijerat.

Ia menyebutkan, penggunaan pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, serta pasal 212 KUHP jo pasal 214 ayat (1) KUHP yang digunakan tidaklah tepat.

Menurutnya, pasal yang didakwakan ke para terdakwa sangat tebang pilih dan seakan dipaksakan mereka dijadikan terdakwa.

“Faktanya, dalam video visual para terdakwa tidak melakukan kejahatan. Itu hanya reaksi spontanitas dari masyarakat terhadap orang yang meninggal. Mereka tidak niat melakukan kejahatan. Semua ini dipaksakan jaksa,” ujarnya.

Dia menyebut, apabila mau melakukan penegakan hukum harusnya jangan cuma sepuluh orang saja. Namun, semua masyarakat yang ada pada saat kejadian tersebut.

“Kalau memang mau menegakkan hukun, kenapa cuma sepuluh orang yang dijerat?,” katanya.

Dia berkesimpulan, sebagian besar dakwaan jaksa direkayasa dan dipaksakan agar sepuluh terdakwa bisa dipidana.

Untuk diketahui, pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan berbunyi, “setiap orang yang tidak memetuhi penyelanggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelengga­raan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah). Pasal ini menurut Hamdani, terlalu berlebihan diterapkan kepada para terdakwa. (Cr-1)