AMBON, Siwalimanews – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Water Front City (WFC) Kota Namlea, Kabupaten Buru tahun anggaran 2015-2016 kembali digelar di Pengadilan Tipikor Ambon, Rabu (18/9).

JPU Kejati Maluku, Ber­thi Tanate dan Prasetya Djati Negara yang meng­hadirkan Sahran Uma­sugi, sebagai saksi mah­ko­ta untuk terdakwa Mu­hammad Duila alias Me­met, PPK Sri Jaurianty dan Muhammad Ridwan Pattilouw, mengaku, pro­yek pembangunan WFC bukan miliknya, tapi CV. Aego Pratama.

Perusahaan ini merupa­kan pemenang tender proyek WFC tahap I tahun 2015 sebesar Rp 5,5 miliar dan II tahun 2016 senilai Rp 3 miliar lebih.

“Setahu saya proyek WFC itu adalah milik CV. Aego Pratama, karena perusahaan itulah yang memenangkan tender proyek itu. Lagipula anggaran mulai tahap I dan II itu langsung ke rekening CV. Aego Pratama,” kata Sahran, menjawab pertanyaan JPU.

Mendengar pengakuan Sahran, ke­tua majelis hakim Christina Tete­lepta mengingatkannya untuk berkata jujur. Sebab saksi-saksi yang telah dipe­riksa sebelumnya, menga­ku kalau pro­yek WFC itu adalah milik Sahran Uma­sugi yang juga terdakwa di kasus ini.

Baca Juga: 10 Tahun Bui untuk Pemilik 3 Paket Sabu

“Tolong sudara saksi jujur, karena semua saksi sebelumnya sudah men­jelaskan peran saksi di kasus ini. Kalau saksi terus berbohong maka resikonya ditanggung sendiri,” tandas Tetelepta.

Ketika ditanya JPU, siapa Dirut CV. Aego Pratama. Sahran menyebut nama Mulyadi. Itu pun diketahui, setelah proyek WFC bermasalah hukum dan diusut Kejati Maluku.

“Proyek itu bukan milik saya, tapi mi­lik CV. Aego Pratama dengan Di­rut­nya, Mulyadi. Anggaran proyek WFC baik tahap I dan II semuanya masuk ke rekening perusahaan itu,” ungkap Sahran.

Ia mengaku menerima Rp 310 juta dari CV Aego Pratama, dan dipakai­nya untuk membayar hutang.

“Saya hanya menerima Rp 310 juta dari proses pengerjaan proyek itu, uang tersebut juga saya pakai untuk membayar hutang Rp 250 juta ke te­man saya,” katanya.

Ditanya JPU Berthi Tanate, soal uang Rp 1 miliar lebih yang diterima­nya dari Halija Somia, Sahran me­ngaku, tidak pernah menerima uang sepeser pun darinya.  “Saya tidak pernah menerima uang dari saksi Halija Somia sepeser pun,” tandas­nya.

Ketika ditanya soal uang Rp 1,5 miliar yang diberikan Munir Letsoin di ru­mah­nya, lagi-lagi Sahran memban­tah­.

JPU meminta Sahran untuk ber­kata jujur, sehingga tidak membe­rat­kannya di kasus ini. Karena semua bukti terkait keterlibatannya sudah dibeberkan saksi-saksi se­be­lumnya.

“Saudara saksi apakah tetap pada keterangan­nya,” tanya JPU.  Deng­an tegas Sah­ran, mengatakan, tetap pada keterangannya.

Selain Sahran, jaksa juga me­nyeret kuasa Direk­tur CV. Aego Pra­tama Muhammad Duila alias Me­met, PPK Sri Jaurianty dan  Muha­mmad Ridwan Pattilouw, sebagai Site enggineer CV Inti Karya sekaligus se­laku konsultan peng­awas ke penga­dilan.

Menurut JPU, tindak pidana ko­rupsi yang dilakukan para terdakwa terbukti merugikan keuangan negara mencapai Rp 6.638.791.370,26. Hal ini ber­dasarkan laporan hasil peme­rik­saan investigatif BPK terhadap pemba­ngunan WFC Kota Namlea tahap I tahun 2015 dan tahap II tahun 2016 pada Dinas PUPR Ka­bupaten Buru.

Perbuatan para terdakwa seba­gaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No.31 tahun 1999 tentang pem­berantasan korupsi sebagaimana dirubah dengan UU No.20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) ke 1.

Usai mendengar keterangan saksi, majelis hakim kemudian menunda sidang hingga, Rabu (25/9) dengan agenda pemeriksaan saksi. (S-49)