ILMU geopolitik tidak banyak dikenal dan diketahui masyarakat luas. Padahal, dampaknya sangat besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia di seluruh penjuru dunia. Geopolitik selama ini hanya dikenal mereka yang belajar ilmu politik dan sosial sehingga tidak semua disiplin ilmu pengetahuan mempelajari ilmu geopolitik.

Studi mengenai geopolitik sangat menarik dan semestinya perlu dipelajari lebih banyak orang. Mengingat pengetahuan tentang geopolitik tersebut menggabungkan pengetahuan mengenai masalah politik, ekonomi, dan geografi sekaligus dalam suatu tema permasalahan yang sedang terjadi.

Banyak fakta dan kejadian telah memberikan bukti bahwa ilmu geopolitik memberikan pengaruh yang besar terhadap berbagai ragam kebijakan pemerintahan secara global di banyak negara. Suatu peristiwa besar maupun kebijakan politik ataupun ekonomi yang dibuat oleh suatu negara bisa memberikan dampak dan pengaruh luas terhadap negara-negara lain, baik sebagian maupun seluruhnya.

Munculnya risiko geopolitik

Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, faktor geopolitik global semakin menguat sehingga memberi­kan pengaruh yang sangat besar bagi semua negara di dunia. Menguatnya risiko geopolitik global tersebut dimulai dengan munculnya pandemi covid-19 di awal 2020. Pandemi tersebut membuat semua negara kalang kabut dan tidak siap menghadapi penularan virus yang sangat cepat menyebar ke mana-mana dan membawa korban manusia yang sangat banyak.

Baca Juga: Buru Hotong dan Ketahanan Pangan

Kebijakan yang diambil semua pemerintah di hampir semua negara tentunya sama, yaitu bagaimana menghentikan penularan covid-19 tersebut dan mencari solusi pengobatannya. Di sinilah kita bisa melihat bagaimana penularan virus itu tidak hanya menimbulkan krisis kemanusiaan di muka bumi ini, tetapi juga menyebabkan krisis turunan, yaitu krisis ekonomi dan krisis sosial. Interaksi kehidupan sosial manusia memang telah mulai menuju ke kondisi normal. Namun, tidak seorang pun bisa meramalkan kapan pandemi tersebut akan segera berakhir.

Risiko geopolitik kedua yang bisa kita saksikan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini ialah tensi politik yang semakin memanas antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Memanasnya tensi politik di antara kedua negara tersebut, dipicu masalah perdagangan maupun isu dukungan Amerika Serikat terhadap independensi Taiwan yang semakin menguat. Menguatnya tensi politik itu membawa pengaruh yang sangat besar, bukan hanya terkait isu politik dan perdagangan di antara kedua negara tersebut, melainkan juga menyebar ke kawasan Pasifik dan Asia Timur.

Risiko geopolitik yang ditimbulkan semakin membesar, tatkala Tiongkok mulai memperkuat tuntutannya atas wilayah perairan di Laut China Selatan. Kondisi tersebut membuat negara-negara yang diklaim wilayah perairannya oleh Tiongkok memperkuat benteng pertahanan mereka dengan belanja militer yang sangat besar, termasuk Indonesia.

Munculnya perang antara Rusia dan Ukraina pada Februari 2022, telah memperkuat kehadiran risiko geopolitik global yang sedang berlangsung sejak pandemi covid-19. Perang tersebut tidak hanya menyebabkan kerugian korban manusia dan harta benda, tetapi juga mengubah peta dan tatanan perdagangan global. Munculnya embargo minyak bumi dan gas alam dari Rusia ke negara-negara Eropa maupun negara lain telah memperburuk krisis energi yang mulai muncul di akhir 2021.

Krisis energi itu menjadi semakin parah karena ternyata negara-negara Eropa belum seluruhnya siap melakukan transisi dari energi fosil menuju energi baru yang ramah lingkungan. Perang yang berkepanjangan di antara kedua negara tersebut dan sampai saat ini belum selesai, telah memperparah aliran suplai energi ke berbagai negara. Kondisi itu memaksa harga minyak bumi dan komoditas batu bara semakin meroket serta sulit dikontrol lagi.

Dampak dari risiko geopolitik

Risiko geopolitik bersifat universal karena tidak hanya terjadi di satu atau beberapa negara, tetapi juga bisa dialami sebagian besar bahkan semua negara di dunia. Di sini kita bisa menyaksikan bahwa dampak dari risiko geopolitik memang sangat dahsyat dan luar biasa. Penanganannya tidak bisa dilakukan sendirian oleh satu atau beberapa negara, tetapi perlu kerja sama dan kolaborasi global. Bahkan, dalam praktiknya tidak ada negara yang benar-benar imun dari risiko geopolitik tersebut, terlepas apakah itu negara maju ataupun negara berkembang.

Di bawah ini dapat kita lihat beberapa risiko geopolitik yang sekarang dialami hampir semua negara di dunia. Risiko tersebut sangat menakutkan apabila tidak bisa diatasi negara-negara yang tidak memiliki sumber daya yang memadai dan kebijakan ekonomi yang tidak tepat. Pertama, krisis energi. Dunia saat ini sedang menghadapi krisis energi dengan semakin mahalnya harga bahan bakar minyak (BBM) di seluruh dunia. Harga minyak mentah dunia di akhir 2019 sebelum pandemi masih di kisaran US$62-67 per barel. Namun, pada Agustus 2022 harganya sudah mencapai US$102-105 per barel.

Mengingat suplai minyak semakin terbatas dan kebutuhan meningkat, beberapa negara maju terpaksa mengaktifkan kembali pembangkit listrik berbasis batu bara. Hal tersebut telah memicu lonjakan harga batu bara dari sekitar US$60 per ton pada Desember 2020 menjadi sekitar US$321 per ton pada Agustus 2022.

Rumah tangga di hampir semua negara saat ini harus membayar biaya listrik yang lebih mahal dari sebelumnya karena beban kenaikan harga komoditas itu pada akhirnya akan dikembalikan kepada konsumen. Penaikan harga listrik juga membuat harga barang-barang dan jasa naik karena listrik masih menjadi salah satu bagian penting dalam menggerakkan mesin-mesin industri, selain untuk kebutuhan hidup. Tentunya kondisi tersebut akan mendorong laju inflasi ke level yang lebih tinggi lagi sebagai akibat dari naiknya harga barang dan jasa.

Kedua, krisis pangan. Rusia dan Ukraina selama ini dikenal sebagai salah satu negara pemasok gandum terbesar di dunia dan peperangan di antara mereka telah menyebabkan global supplay chain gandum menjadi terganggu. Peperangan itu mengakibatkan peta perdagangan gandum dunia menjadi terganggu sebagai akibat dari adanya gangguan dari sisi suplai.

Gandum menjadi salah satu makanan pokok bagi penduduk dunia sehingga terbatasnya stok gandum akan membuat harganya semakin mahal. Di samping itu, mahalnya harga gandum juga didorong oleh mun­culnya fenomena cuaca ekstrem dan kekeringan di bebe­rapa negara, dampak pandemi yang masih terus berjalan, serta meningkatnya biaya hidup secara keseluruhan. Krisis pangan tidak lagi menjadi suatu potensi, tetapi sudah terjadi di beberapa negara saat ini.

Bank Dunia telah memberikan peringatan bahwa meroketnya harga pangan menyebabkan munculnya potensi risiko turunan lainnya, seperti munculnya bahaya kelaparan, kekurangan gizi khususnya bagi anak-anak, dan kualitas hidup manusia. Oleh sebab itu, krisis pangan memiliki dampak langsung yang akan dirasakan masyarakat, khususnya masyarakat kelompok bawah yang tidak memiliki kemampuan untuk merespons kenaikan harga pangan.

Bagi negara-negara miskin dan tidak memiliki sumber daya pertanian penghasil bahan pangan, tentunya kondisi seperti ini akan semakin memperburuk kehidupan masyarakatnya. Mereka juga tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli bahan pangan yang diimpor dari negara lain karena harganya sudah tidak terjangkau lagi. Yang juga ditakutkan ialah apabila mereka terpaksa harus mengurangi konsumsi kalori dari kebutuhan minimal dan mengurangi konsumsi makanan sehingga dapat mengganggu kelangsungan kesehatan mereka.

Ketiga, risiko stagflasi. Setelah pandemi covid-19 mulai mereda di pertengahan 2021, pertumbuhan ekonomi global mulai memperlihatkan tanda-tanda pertumbuhan positif. Perlahan-lahan banyak negara yang telah keluar dari jurang resesi dan menikmati pertumbuhan ekonomi yang positif dan ekspansif sehingga mampu menuju ke arah pemulihan. Momentum pertumbuhan positif tersebut juga diikuti dengan tingkat konsumsi yang luar luar biasa. Tak pelak lagi, pertumbuhan ekonomi di banyak negara mengalami kenaikan yang pesat, bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi. Namun, pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu, ternyata juga diikuti dengan laju inflasi yang mulai meroket.

Dalam situasi demikian sangat disayangkan apabila pertumbuhan ekonomi yang ekspansif itu, tidak diikuti dengan laju inflasi yang rendah atau moderat. Akibat selanjutnya ialah munculnya ancaman stagflasi, yaitu suatu kondisi pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata kemudian diikuti dengan adanya inflasi yang juga tinggi sehingga memunculkan adanya kontraksi ekonomi. Para ekonom sangat mengkhawatirkan gejala stagflasi tersebut dapat memicu terjadinya kontraksi ekonomi yang pada akhirnya akan melahirkan resesi ekonomi kembali.

Sebagai contoh pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat mencapai 6,9% di triwulan IV-2021, tetapi mengalami kontraksi dan menjadi minus 1,6% pada triwulan I-2022, dan terus mengalami kontraksi lagi sebesar minus 0,6% di triwulan II-2022. Menurunnya pertumbuhan ekonomi itu, salah satunya ditengarai adanya laju inflasi yang begitu tinggi di negara tersebut selama setahun terakhir.

Fenomena yang sama seperti itu diramalkan juga dialami negara-negara lainnya sehingga memunculkan kekhawatiran bahwa perekonomian dunia akan kembali lagi ke jurang resesi, seperti yang terjadi di medio 2020. Banyak negara sudah mulai melihat ancaman stagflasi semakin hari menjadi semakin nyata pada 2022 ini. Tentunya, diperlukan respons kebijakan yang tepat guna menangkal ancaman itu. Para pakar ekonomi meramalkan, seandainya stagflasi tidak terjadi di 2022, kemungkinan besar akan terjadi di awal 2023.

Upaya mitigasi risiko

Potensi kondisi ekonomi yang semakin menurun juga telah disuarakan Bank Dunia (World Bank) dan International Monetary Fund (IMF), yang meramalkan pertumbuhan ekonomi pada 2022 di angka 3,2%, lebih rendah jika dibandingkan dengan 2021 yang mencapai 5,7%. Bahkan, Bank Dunia dan IMF juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi global di 2023 akan menjadi lebih rendah lagi jika dibandingkan dengan 2022, yaitu di kisaran 2,9%.

Ramalan tersebut memang belum tentu sepenuhnya benar, munculnya fenomena-fenomena ekonomi yang bersifat positif maupun kejadian-kejadian penting yang akan terjadi di depan, bisa saja membalikkan keadaan. Namun, setidaknya peringatan yang sudah disampaikan para ahli ekonomi itu, memberikan awarness kepada kita semua bahwa kondisi ke depan masih dalam kabut ketidakpastian. Oleh: Agus Sugiarto Kepala OJK Institute Sumber:mediaindonesia.com