DALAM empat bulan terakhir, Presiden Joko Widodo memberikan perhatian terkait ekspor bahan mentah dan melarangnya, mulai nikel, bauksit, timah, hingga tembaga. Oktober lalu, Indonesia dinyatakan World Trade Organization (WTO) melanggar ketentuan karena melarang ekspor nikel. Namun, Indonesia akan banding atas keputusan itu. Apalagi pelarangan tersebut merupakan implementasi dari UU No 3/2020.

Meskipun terlambat, kebijakan ini diapresiasi agar fondasi pereknomian kuat dan lepas dari middle income trap (MIT). Janji yang disampaikan pada pelantikan periode keduanya. Hasilnya, pelarangan ekspor nikel meningkatkan pendapatan ekspor Indonesia 22 kali lipat, juga hal yang sama untuk bauksit dan bahan mentah lainnya. Ini merupakan strategi pemerintah agar Indonesia memiliki produk dengan kompleksitas dan keekonomian tinggi, yakni baterai mobil listrik.

Namun, Presiden Jokowi menyoroti tantangan bagaimana menyinergikannya ke dalam sebuah ekosistem industri. Selain wilayah asal bahan mentah beragam, sinergi antarpemain dalam ekosistem industri tersebut perlu dikembangkan. Bagaimana melakukannya?

Kompleksitas ekonomi

Kompleksitas produk sebuah negara menentukan nilai tambah dan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan. Begitu argumentasi ekonom Harvard, Ricardo Hausmann. Kompleksitas produk yang dihasilkan meningkat bilamana kapabilitas inovasi yang dimiliki tinggi. Salah satu produk yang memiliki kompleksitas tinggi ialah teknologi informasi.

Baca Juga: MK dan Pilihan Sistem Pemilu

Data United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) menunjukkan bahwa seperempat output dari industri Korea Selatan (+US$507 miliar) dari teknologi informasi. Teknologi informasi memiliki kompleksitas produk tinggi, dan tentunya memiliki nilai tambah tinggi. Kontribusi teknologi informasi Tiongkok memiliki total output naik tiga kali lipat ketimbang tahun 2005.

Adapun Amerika Serikat (AS), kontribusi teknologi informasinya sebesar 7,41% (2018) dengan total ouput industri sebesar +US$2,61 triliun. Bagaimana dengan Indonesia? Industri makanan dan minuman, petrokimia, dan otomotif adalah tiga kontributor utama, dengan total output sebesar +US$163 miliar.

Dalam Economic Complexity Index (ECI) yang dikeluarkan Harvard, terlihat posisi Korea Selatan secara konsisten #4 dalam 10 tahun terakhir. Tiongkok meningkat 22 peringkat dari tahun 2000. Adapun Indonesia pernah #55 (2002), tapi turun menjadi #67 (2020). Kondisi itu tidak mengherankan karena ekspor Indonesia (net) masih didominasi CPO, batu bara, emas, dan gas alam.

Ekosistem industri

Sharma (2020) membuktikan secara empiris bahwa industri manufaktur berperan penting meningkatkan kesejahteraan, bahkan di era revolusi industri 4.0 pun belum tergantikan. Meskipun kontribusinya menurun seiring kemajuan negara, 40% pertumbuhan produktivitas terjadi di dalamnya.

Globalisasi saat ini terfasilitasi dengan digitalisasi dan transportasi yang integratif. Spesialisasi terjadi di beragam belahan dunia, dan semakin jarang ditemukan produsen mengerjakan produknya dari desain hingga siap dikonsumsi.

Dalam rantai pasok global, Breznitz (2021) membagi 4 peran. Pertama, penemuan dan desain produk yang biasanya didominasi Silicon Valley dan Israel. Kedua, prototyping dan teknik produksi sebelum dilakukan produksi massal, dan biasanya dilayani oleh perusahaan-perusahaan Taiwan. Ketiga, inovasi inkremental pada produk-produk yang sudah ada, misalnya otomotif oleh produsen Jerman dan Jepang. Keempat, produksi dan perakitan yang menggabungkan puluhan hingga ribuan komponen produk dari beragam dunia. Tiongkok, khususnya Provinsi Guangdong, contoh terbaiknya.

Spesialisasi dalam rantai pasok global di atas tentu membutuhkan ekosistem industri yang berbeda. Transformasi ekonomi Tiongkok dimulai dari peran keempat, khususnya memproduksi salah satu komponen produk, misalnya teknologi informasi. Tiap-tiap daerah di Guangdong kemudian memiliki spesialisasi komponen tertentu. Perakitan dan produksinya dilakukan pada wilayah yang memiliki konektivitas terbaik. Sebagaimana yang dilakukan oleh Foxconn yang dikontrak Apple untuk memproduksi semua produknya.

Ketika Indonesia memutuskan akan berperan dalam industri mobil listrik, khususnya baterai mobil listrik, langkah awal tentunya mengidentifikasi tiap-tiap pemainnya. Dalam Ecosystem Pie Model (Talmar dkk, 2020), setiap pemain perlu diidentifikasi sumber daya apa yang dimiliki, aktivitas apa yang akan dilakukan, nilai tambah apa yang diberikan, dan nilai yang didapatkan. Dalam konteks industri baterai mobil listrik yang akan dikembangkan pemerintah, dibutuhkan keterlibatan tim pengembang teknologi (perguruan tinggi/PT), pabrik baterai, pabrikan mobil, pemerintah daerah (kabupaten/kota), pemerintah pusat, dan lembaga pembiayaan (bank).

Tentu pada level aktivitas, masing-masing bisa saling membantu untuk akselerasi implementasi yang ada. Misalnya, pabrikan baterai maupun perbankan meminta pengurangan pajak bila terlibat dalam ekosistem ini, atau PT meminta fasilitasi dari pabrikan baterai agar mahasiswa yang dimiliki dapat magang atau riset aplikatifnya dibiayai, dan seterusnya.

Rekomendasi

Dalam dua dekade terakhir, kontribusi industri manufaktur pada PDB Indonesia menurun signifikan. Jika awal tahun 2000 masih 29,1%, di kuartal III 2022 menjadi 18,3% saja. Data tersebut menunjukkan bahwa pelarangan ekspor bahan mentah yang semakin dominan dalam dua dekade terakhir ini perlu dilakukan dan reindustrialisasi wajib dijalankan.

Industrialisasi akan meningkatkan kompleksitas ekonomi Indonesia. Seiring dengan meningkatnya nilai tambah yang dihasilkan, pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Indonesia akan sukses mendiversifikasi industri manufakturnya menjadi lebih kompleks dengan light touch strategy. Sumber daya alam tersedia, kapabilitas yang dimiliki dan yang akan dikembangkan, dan tentunya peran apa yang akan dipilih dalam rantai pasok global.

Memulai peran memproduksi komponen produk, seperti baterai mobil listrik, adalah langkah paling rasional saat ini. Namun, perlu ada roadmap dan timeline, kapan meningkatkan perannya pada level ketiga, bahkan memiliki merek mobil listrik nasional seperti halnya Tiongkok.

Selain baterai mobil listrik, pemerintah perlu memilih dan memilah industri manufaktur apalagi yang perlu dikembangkan di Indonesia. Reindustrialiasi perlu untuk meningkatkan kompleksitas ekonomi dan keluar dari MIT. Nilai tambah yang memungkinkan Indonesia menjadi negara maju di 2045. Oleh: Badri Munir Sukoco Guru Besar Manajemen Strategi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga (*)