AMBON, Siwalimanews – Kalangan musisi  meng­kritik tajam perayaan satu ta­hun Ambon ditetapkan se­bagai kota musik atau biasa disebut Ambon City of Music (ACOM) digelar di Ja­karta.

Langkah yang dilakukan pemkot justru akan meng­hilangkan identitas Ambon sebagai icon kota music.

“Icon kota musik dunia itu harus lebih dulu dirasakan oleh masyarakat Ambon itu sendiri dan bukan masyarakat lain. Kalau pagelaran sebatas virtual, kenapa tidak bisa digelar di Ambon saja. Kenapa harus buang duit jauh-jauh ke Jakarta. Ini namanya pem­borosan,” kata musisi profesional asal Ambon, Figgy Papilaya kepada Siwalima Minggu (1/11).

Papilaya menyayangkan Pemkot Ambon menggelar acara Colorful ACOM secara virtual dan dilak­sanakan di Jakarta.

Papilaya mengkritik Pemkot Ambon, bukan karena dirinya tidak diikutsertakan dalam kegiatan ACOM tersebut. Tetapi sebagai orang yang berkecimpung di dunia musik, ia menilai pemkot tidak menghargai masyarakat Ambon.

Baca Juga: Sangkala Ajak Pemuda Bersinar di Masa Depan

“Ini bukan karena tidak dilibatkan atau sakit hati. Oh itu bukan ya. Saya juga sejauh ini puji Tuhan masih dipakai di ibukota. Tetapi sebagai seorang seniman musik saya mau bilang, bahwa kita kehi­langan identitas. Ambon ayo kita juluki aja kota deklarasi dan bukan kota musik. Bikin acara di Jakarta mengabaikan musisi-musisi lokal lainnya ini kan sesuatu yang sebenarnya tidak boleh terjadi,” kata Papilaya.

Menurutnya, pemkot harus me­rubah sistim jika ingin kota ini tetap dijuluki kota musik. Jangan sampai peletakan dasar Ambon kota musik yang tidak jelas, implikasinya generasi-generasi musik yang akan datang susah di kota musik sendiri.

“Jadi begini, beta bicara bukan karena beta bermusuhan dengan teman-teman atau tidak dipakai untuk acara-acara semecam itu, oh tidak ya. Yang beta permasalahkan adalah sistem kerjanya. Mungkin orang bilang Figgy bicara begini karena tidak pernah diajak itu sa­lah. Tidak diajak pun semua pe­kerja profesional baik di musik mau­pun di luar jalur musik. Dan buat beta, cara-cara yang dimain­kan pemerintah seperti ini, gene­rasi yang akan datang bisa men­jadi musisi, tetapi susah di kota musik sendiri,” ungkapnya

Disisi lain, Papilaya menilai pemerintah egois, karena tidak merangkul semua seniman musik yang ada di Kota Ambon. Icon Ambon kota musik itu jangan diang­gap biasa-biasa saja.

“Ingat loh, Ambon kota musik dunia. Icon ini jangan dianggap biasa saja. Lalu karena dianggap seperti itu, suka atau tidak suka, hanya orang-orang tertentu saja yang dipakai untuk kepentingan-kepentingan dalam acara-acara sejenisnya. Saya mau katakan jangan. Kalau dijuluki kota musik, berikan kesempatan itu kepada semua masyarakat yang punya potensi dalam bermusik. Setiap ada kegiatan apapun, ya orang-orang itu saja,” tandasnya.

Lanjut Papilaya, memangnya Ambon ini tidak ada generasi yang ber­po­­tensi. Berikan ruang kepada mu­sisi-musisi lokal lainnya atau mas­yarakat lainnya yang punya bakat.

Papilaya takutkan, icon Ambon kota musik dan kemampuan me­ra­ngkul musisi-musisi lokal yang mi­nim, berakibat kepada lahirnya mu­sisi-musisi pencemburu di kota musik sendiri lantaran terjadi pe­ng­kotak-kotakan diantara sesama mu­sisi akibat pemerintah meng­abaikan potensi-potensi lokal yang ada.

“Apakah selama ini kita saling merangkul. Ingat, teman-teman musisi lokal itu prodak utama dari Ambon City of Music guna mempro­mosikan ambon kota musik,” pungkas Papilaya.

Ada tiga hal dalam merangkul musisi-musisi membangun Ambon sebagai kota musik. Yang pertama mem­posisikan seniman musik dae­rah yang ada di Ambon. Kedua,  se­niman berdarah Ambon yang bekerja secara profesinoal di luar. Dan ketiga, musisi-musisi yang meramaikan industri pop musik daerah.

“Apakah tiga-tiga ini sudah di­rangkul. Kalau tiga-tiganya dirang­kul dan sejalan untuk bicara Ambon kota musik memperingati kegiatan pemerintah sejauh ini minim. Karena hanya orang-orang tertentu saja yang dilibatkan. Bisa dibilang coba nanya ke orang Ambon, pasti bosen itu mereka. Nilai seni orang Ambon tinggi. Jadi harus diingat mari kita rangkul semuanya,” himbau Papilaya.

Alasan Habiskan Uang

Kepala Dinas Parawisata Kota Ambon, Richo Hayat mengaku, ka­lau merayakan ulang tahun per­tama ACOM di Ambon dapat meng­habiskan uang.

“Biaya cukup besar, ini di Jakarta biaya tidak terlalu besar,” kata Hayat saat  dihubungi Siwalima, melalui telepon selulernya, Minggu (1/11).

Hayat menjelaskan, kegiatan ter­sebut dilaksanakan di Jakarta agar ditonton banyak orang, hingga ke luar negeri.

“Itu kan kita tembak ini keluar negeri semua orang pada lihat. Ka­lau bikin di lapangan Merdeka bia­ya besar, kemudian ini kita mem­presentasikan ke UNESCO, dunia melihat,” jelasnya.

Selain itu kata dia, kapasitas Kota Ambon masih belum mampu me­ng­cover kegiatan tersebut, sehing­ga Jakarta yang dipilih.

“Pertama itu kan dibikin di Jakarta karena kapasitas kota di Ambon belum bisa mengcover kegiatan tersebut dengan follower yang begitu banyak,” ujar Hayat.

Dia mengklaim, kegiatan yang dilakukan pada Sabtu (31/10) lalu tersebut, banyak ditonton berbagai kalangan dari berbagai negara. Followers menembus angka 48.000 orang yang kebanyakan bera­da di luar negeri.

“Orang semua komen di Youtube kebanyakan orang Maluku yang ada di luar, jadi ini memang promosi yang kita pakai. Kalau di Ambon biaya besar, yang nonton orang Ambon, ini kan kita tunjukan untuk dunia Ambon sebagai kota musik dunia, memecahkan kita punya rekor juga ke UNESCO,” tandas Hayat.

Sesali

Pemerhati musik Yopi Izaac juga menyesali sikap Walikota Richard Louhenapessy yang merayakan HUT ke-1 Ambon ditetapkan sebagai kota musik.

“Ini event yang dilakukan dalam rangka penetapan Ambon sebagai kota music. Selama satu tahun ini belum ada event yang dibuat di Ambon dan itu sangat disayangkan untuk HUT pertama mengapa ha­rus dilakukan di Jakarta kenapa tidak di Ambon,” ucap Izaac kepada Siwalima melalui telepon seluler­nya, Sabtu(30/10).

Saat ini yang menjadi pertanyaan besar di masyarakat adalah, per­timbangan atau alasan apa se­hingga Pemkot Ambon melakukan kegiatan tersebut di Jakarta.

Apakah dengan hanya live streaming, pemkot harus ke Jakarta, memangnya jika perayaan ACOM dari Ambon ke Jakarta, apa mungkin karena SDM menjadi kendala. Ini yang patut dipertanyakan.

“Saya sangat sayangkan, per­nya­taan walikota bahwa kalau kegiatan ini dilakukan off line akan memakan anggaran banyak dan tidak mendatangkan apapun, se­hingga lebih baik dilakukan secara on line sehingga ditonton seluruh dunia,” ucapnya sembari menam­bahkan, “Pertanyaan saya kenapa sampai hanya karena on line ke­giatan ini dilakukan di Jakarta, se­men­tara tidak bisa dilakukan di Ambon, kan kita punya SDMnya,” tuturnya.Padahal, seharusnya satu tahun Kota Ambon ditetap Unesco sebagai ACOM, pemkot harus be­kerja ekstra keras khususnya di­bidang teknologi dengan memper­dayakan SDM yang ada di Ambon.

“SDM di kota ini cukup banyak untuk dikembangkan apalagi untuk hal-hal demikian, sehingga  tak perlu lagi datang ke Jakarta untuk live streaming. Itu juga buang-buang anggaran,” tutupnya. (S-32/Cr-6)