AMBON, Siwalimanews – Pemerintah harus tegas menindak fasilitas kesehatan (faskes) yang masih mematok biaya rapid test diatas harga yang ditentukan Kementerian Kesehatan Rp 150 ribu.  Sangat disayangkan jika masih ada faskes yang sampai sekarang belum menjalankan surat edaran Kemenkes tentang batas atas harga rapid test itu.

Akademisi Hukum IAIN Ambon, Nazarudin Umar mengatakan, walikota atau gubernur dan kepala dinas kesehatan harus turun ke bawah melakukan pengawasan untuk memastikan surat edaran kemenkes ditaati dan dipatuhi pihak faskes atau tidak.

Menurut Nazarudin, sesuai dengan UU Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, secara tegas dinyatakan tarif kesehataan ditentukan oleh menteri, sehingga keberadaan surat edaran tersebut dibuat semata-mata hanya untuk menjalankan UU dimaksud.

Salain itu, berdasarkan UU Rumah Sakit (RS), pemda baik provinsi maupun kabupaten dan kota serta badan pengawasan RS, memiliki tanggung jawab untuk mengawasi dan membina RS termasuk memastikan RS menjalankan semua kewajiban RS.

“Jadi UU RS itu sangat jelas bahwa untuk menegakkan surat edaran itu, instrumen hukumnya telah diatur dalam UU Kesehatan. Oleh karena itu sangat disayangkan jika pemda hanya mengatakan kalau ada yang meminta untuk membayar lebih mahal silahkan melapor. Tidak bisa seperti itu, justru instrumen pemerintahan harus hadir untuk memastikan bahwa tidak ada lagi RS yang tidak menjalankan surat edaran itu,” tegas Nazarudin kepada Siwalima melalui telepon selulernya Sabtu (11/7).

Baca Juga: Prajurit Lantamal IX Ikut Sosialisasi JKN-KIS

Dikatakan, pernyataan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy untuk warga segera melapor jika kedapatan faskes masih mematok harga rapid tes tinggi akan sulit dilakukan, sebab tidak semua orang memiliki keberanian untuk melapor.

Malah sebaliknya dapat dimanfaatkan karena masyarakat kadang tidak mau pusing, padahal aturan sudah ada dan mengikat tinggal dijalankan. Nazarudin mngungkapkan,  jika ada feskes yang menyatakan belum mengetahui perihal suart edaran tersebut, maka hal ini sangat disayangkan, sebab setiap aturan yang dikeluarkan masyarakat dianggap menetahui, sehingga apabila ada faskes yang tak patuh, pemda harus memberi sanksi.

Surat Edaran (SE) Kemenkes itu tambah Nazarudin, berlaku untuk semua fasilitas pelayanan kesehatan tanpa membeda-bedakan antara fasilitas kesehatan yang direkomendasikan atau tidak.

“Persoalan RS mana yang direkomendasikan pemda hanya berkaitan dengan  standarisasi sesuai denagn protokol kesehatan dan tidak ada pengecualian rumah sakit untuk tunduk pada peraturan perundang-undangan,” tandas Nazarudin.

Akademisi Hukum Unidar Rauf Pellu mengatakan, pemda harus menjalankan SE Kemenkes. Pemda menurutnya harus tegas melakukan sosialisasi. “Itu kan harga rapid test sudah ditetapkan Rp 150 ribu dan tidak boleh lebih. SE Kemenkes itu harus diberlakukan, jangan membuat masyarakat susah,” cetus Pellu.

Pellu menegaskan, bagi faskes baik rumah sakit maupun klinik yang tidak menjalankan surat edaran harus diambil tindakan tegas dengan memberikan sanksi, apalagi semua faskes berada dibawah pengawasan pemerintah daerah. “Ambil tindakan tegas dong sesuai aturan yang berlaku sehingga masyarakat bisa terbantukan,” tandasnya kepada Siwalima, Minggu (12/7).

Salahkan Pemkot

Dinas Kesehatan Provinsi Maluku meminta Pemkot Ambon untuk segera memberi sanksi kepada faskes yang tidak melaksanakan SE Kemenkes terkait tarif rapid test. Kadis Kesehatan Maluku, Meikyal Pontoh kepada wartawan di kantor Gubernur Maluku Sabtu (11/7) menegaskan, Pemkot Ambon yang harus memberikan sanksi, lantaran izin operasi faskes itu  dari Kota Ambon.

“Rumah-rumah sakit itu harus taat karena izin rumah-rumah sakit itu dari pemkot, sehingga sanksi tegas itu harus dari pemkot,” ujar Pontoh.

Dikatakan, tarif yang sudah ditentukan dalam SE Kemenkes bertunjuan untuk meyeragamkan harga rapid test untuk pelaku perjalanan.  Pontoh juga mengaku Dinkes Provinsi Maluku sudah menyerahkan SE Kemenkes itu  secara tertulis ke kabupaten/kota agar melakukan pengawasan kepada rumah sakit yang melaksanakan rapid test tidak sesuai ketentunan.

“Kalau ada rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang tidak melaksanakan SE Kemenkes, yang pasti ada teguran. Yang jelas kita sampaikan ke Kota Ambon bagaimana caranya, ini harus sesuai ketentuan. Karena ini, akan menjadi bebas masyarakat dan pemerintah tidak tinggal diam,” tegasnya.

Setelah Dinkes provinsi memberikan surat edaran secara tertulis ke kabupaten/kota,  maka harus dipatuhi dan dilaksakanan bukan menolak. “Kalau ada Faskes yang menolak, Pemkot Ambon punya hak untuk memberikan sanksi, karena izin rumah sakit tipe C dan tibe D ada di tangan pemerintah kabupaten/kota,” pungkas Pontoh.

Prodia Tarif 150 Ribu

Prodia sebagai salah satu klinik yang melayani rapid test telah melaksanakan SE Kemenkes  sejak Jumat (10/7) lalu. Kepala Cabang Klinik Prodia Frangky Pomantouw yang ditemui di ruang kerjanya Jumat (10/7) mengakui, pemberlakuan tarif rapid test sesuai sengan SE Kemenkes. Sampai sekarang sudah lebih dari 40 orang melakukan rapid.

“Kalau menyangkut SE Kemenkes, kita sudah berlakukan sejak Jumat. Pelanggan yang datang periksa itu sudah 40 orang dengan biaya Rp 150 ribu,” tuturnya.

Pomantaouw mengakui tarif yang ditetapkan Kemenkes itu untuk membantu masyarakat, sehingga kebijakan tersebut diterapkan pihak Prodia selaku klinik yang melayani rappid test. “Ok jadi kebijakan ini kan sebenarnya bagus untuk masyarakat. Jadi kita sekarang saat ini sudah sesuaikan dengan SE Kemenkes itu. Kita sudah menggunakan batas atasnya Rp 150 ribu,” pungkasnya.

Komisi Panggil

Komisi I DPRD Kota Ambon hari ini, Senin (13/7), sesuai rencana akan memanggil seluruh faskes di Kota Ambon guna membahas pemberlakuan harga rapid test sesuai SE Kemenkes.

Wakil Ketua Komisi I DPRD Kota Ambon, Morits Tamaela kepada Siwalima melalui telepon seluler Minggu (12/7) mengungkapakan, pemanggilan terhadap faskes  dikarenakan adanya keluhan rumah-rumas sakit yang mengaku penetapan tarif Rp 150 ribu oleh Kemenkes itu membuat pihak rumah sakit merugi.

“Kan ada alasan dari faskes bahwa tarif Rp 150 ribu itu mereka tidak pulang modal. Mereka pesan dengan harga masih diatas Rp 150 ribu dari Jakarta. Sehingga kita mau panggil untuk mendengarkan penjelasan faskes,” kata Tamaela.

Meskipun demikian, politisi Nasdem ini mengaku, terlepas dari alasan faskes merugi lantaran sudah terlanjur beli barang (alat Rapid Test) dengan nilai yang tinggi sebelum SE Kemenkes berlaku, namun suka atau tidak suka, faskes harus tunduk kepada aturan yakni SE Kemenkes tersebut.

SE Kemenkes

Kementerian Kesehatan mengeluarkan surat edaran penetapan batas maksimal harga rapid test antibodi sebesar Rp 150 ribu. Dalam Surat Edaran Nomor HK.02. 02/1/2875/2020 tentang batasan tarif tertinggi pemeriksaan rapid test antibodi tertanggal 6 Juli 2020 yang diteken Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Bambang Wibowo yang kopiannya diterima Siwalima, Selasa (7/7) itu dijelaskan, salah satu modalitas dalam penanganan Covid-19 di Indonesia adalah menggunakan rapid test dan atau rapid test antibodi pada kasus kontak dari pasien konfirmasi Covid-19.

Rapid test antigen atau rapid test antibodi dapat juga digunakan untuk menapis adanya infeksi Covid-19 diantara kelompok OTG, ODP, PDP pada wilayah yang tidak mempunyai fasilitas untuk pemeriksaan PR-PCR atau tidak mempunyai media pengambilan spesimen (swab dan atau VTM).

Pemeriksaan rapid test hanya merupakan penapisan awal. Hasil pemeriksaan rapid test harus tetap dikonfirmasi dengan menggunakan RT-PCR. Sebaliknya, pemeriksaan RT-PCR tidak mengharuskan adanya pemeriksaan rapid test terlebih dahulu.

Dijelaskan lagi, rapid test antibodi banyak dilakukan di masyarakat pada saat akan melakukan aktivitas perjalanan orang dalam negeri. Rapid test antibodi dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan atau di luar fasilitas pelayanan kesehatan, selama dilakukan oleh tenaga kesehatan.

Harga yang bervariasi untuk melakukan pemeriksaan rapid test menimbulkan kebingungan di masyarakat. Untuk itu diperlukan peran serta pemerintah dalam masalah, tarif pemeriksaan rapid test antibodi agar masyarakat, tidak merasa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan.

Surat edaraan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian bagi masyarakat dan pemberi layanan pemeriksaan rapid test antibodi agar tarif yang ada, dapat memberikan jaminan bagi masyarakat agar mudah untuk mendapatkan pelayanan pemeriksaan rapid test antibodi.

Sehubungan dengan hal tersebut, pihak terkait agar menginstruksikan kepada fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan pemeriksaan rapid test antibodi untuk mengikuti batasan tarif maksimal dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut;

Satu, Batasan tarif tertinggi untuk pemeriksaan rapid test antibodi, adalah Rp.150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah). Dua, Besaran tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) berlaku untuk masyarakat yang melakukan pemeriksaan rapid test antibodi atas permintaan sendiri.

Tiga, pemeriksaan rapid test antibodi, dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan. Empat, agar fasilitas pelayanan kesehatan atau pihak yang memberikan pelayanan pemeriksaan rapid test antibodi dapat mengikuti batasan tarif tertinggi yang ditetapkan.

Surat edaran ini ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan provinsi, Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota, Kepala/Direktur Utama/Direktur rumah sakit, Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, Ketua Sosiasasi Klinik Indonesia (ASKLIN), Ketua Perhimpunan Klinik dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia (PKFI), Ketua Asosiasi Dinas Kesehatan seluruh Indonesia dan Ketua Ikatan Laboratorium Klinik Kesehatan Indonesia (IKLI) di seluruh Indonesia.

Tembusan surat ini juga disampaikan kepada Menteri Kesehatan, Sekjen Kemenkes dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (Cr-2/Mg-6/S-39)