PADA awal 2023, banyak beredar postingan tentang mesin pencari pengetahuan yang mampu mengobrol (chatting) dengan penggunanya. Berbasiskan artifical intelligence, aplikasi ini begitu hidup dan responsif. Setiap kali ditanya mengenai suatu hal, dalam waktu cepat ia bisa menjawabnya secara relatif lengkap dengan struktur dan bahasa yang mudah dipahami.

Segala macam topik pembahasan dapat di­tanyakan kepadanya, dari yang abstrak hingga yang nyata. Mencakup semua ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, hard skill dan soft skill, bahkan isu keagamaan.

Tentu saja layanan yang diberikannya juga tidak mengenal batas ruang dan waktu serta budaya. Kapan pun dan dimana pun aplikasi itu bisa diajak mengobrol sejauh terdapat koneksi internet dengan pengantar bahasa yang diinginkan si pengguna.

Kemampuannya memberikan informasi dan analisis yang relatif komperehensif di bidang ilmu pengetahuan membuat aplikasi dipandang mampu menggantikan, setidaknya mengancam eksistensi lembaga pendidikan formal, khususnya peran para pendidiknya, guru, dan dosen.

Jika fenomena eduagen, sebagai kependekan dari education by artifical intelligence, ini terus merambah ke lingkungan lembaga pendidikan, seperti apakah masa depan sistem pendidikan formal di sekolah-sekolah dan di kampus-kampus? Apakah para siswa dan mahasiswa masih memerlukan guru dan dosen untuk menangguk ilmu pengetahuan?

Baca Juga: Mentalitas Pemenang

Memikir ulang pendidikan

Sekolah dan kampus memang bukan satu-satunya tempat pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran. Namun, jalur pendidikan formal jualah yang paling banyak jadi perhatian pemerintah dan masyarakat. Setiap hari, puluhan bahkan ratusan juta generasi muda di dunia mengikuti proses belajar mengajar (PBM) di sekolah atau kampusnya masing-masing entah secara luring ataupun daring.

Disadari atau tidak, pendidikan formal sering kali lebih banyak menekankan pada pembelajaran ketimbang pendidikan. Ini terlihat dari besarnya porsi pembelajaran sebagai manifest functions ketimbang porsi pendidikan yang cenderung dijadikan latent functions ataupun hidden curriculum.

Padahal, sudah kita maklumi bersama terdapat perbedaan di antara keduanya. Bahwasanya pendidikan ialah proses pendewasaan peserta didik melalui penanaman nilai-nilai (values). Sementara itu, pembelajaran ialah aktivitas berbagi pengetahuan (knowledge).

Terkait fenomena eduagen, ketersediaan mesin pintar berbagi pengetahuan itu lebih merupakan fungsi pembelajaran dan tampaknya ia tidak akan sanggup menggantikan fungsi pendidikan yang sejatinya dilakoni oleh guru dan dosen. Karena hal itulah, eksistensi institusi pendidikan formal mesti diformat ulang ke awal sebagai lembaga yang menghasilkan para lulusan, bukan hanya pintar dan cerdas, melainkan juga memiliki etika.

Benar, dalam kondisi pengetahuan yang sudah menjadi milik bersama itu, yang diperlukan ialah keterampilan etis, yaitu kemampuan seseorang mengambil keputusan yang memberikan kebajikan yang setinggi-tingginya (summum bonum). Para peserta didik perlu dibekali keterampilan ini sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.

Berpikir kritis

Tepat sekali, guna membekali para lulusan dengan keterampilan etis tersebut, para peserta didik mesti dibiasakan dengan cara berpikir kritis (critical thinking): mendorong mereka agar selalu memikirkan ulang apa yang sudah diketahuinya melalui aplikasi mesin pintar tersebut, memaknainya, mengontek­stualisasikannya, mengevaluasinya, serta mengam­bil keputusan atas dasar pengetahuan yang dimilikinya dan sikap yang dipilihnya itu.

Dalam suasana pendidikan berdimensi eduagen, kemampuan berpikir kritis itu sangatlah penting. Sebabnya, eduagen bisa meninabobokan peserta didik akan kemampuan dirinya sendiri. Betapa tidak, jika dibandingkan dengan pendahulunya, yaitu edutainment, memang eduagen sangat jauh berbeda.

Dalam edutainment hanya proses pembelajaran yang diimprovisasi de­ngan pendekatan menghibur. Langkah ini diambil agar olah pikir, olah rasa, dan olah karya pada diri peserta didik berlangsung secara menyenangkan tanpa beban psikologis. Sebaliknya, dalam eduagen, triple olah itu bisa hilang sama sekali dari diri peserta didik karena ketiga proses itu digantikan aplikasi pintar.

Dalam rangka revitalisasi pendidikan tersebut, pertama-tama para pendidik harus memperkuat diri dengan pe­ngetahuan etika (baik meta ethics maupun applied ethics), kemampuan berpikir kritis (critical thinking), dan keterampilan mengambil keputusan (decicion making skill).

Hal­ demikian diperlukan agar selalu siap siaga berdiskusi dengan dan memberi solusi atas ragam dilema etis yang diajukan para peserta didik yang boleh jadi mereka dapatkan dari hasil pembelajaran dalam wahana eduagen.

Kedua, perubahan PBM bersama pe­serta didik. Para pendidik harus mem­perbanyak ruang diskusi dengan siswa atau mahasiswa serta mendorong mereka untuk senantiasa bertanggung jawab atas pengetahuan dan sikap yang dimilikinya.

Sesuai dengan jenjang pendidikan dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, makin tinggi tingkatannya makin besar ruang dialog yang mesti dibuka. Semoga dengan langkah seperti itu, kita menjadi pihak yang mengambil manfaat dari, bukan sebaliknya yang menjadi korban yang tergerus oleh gelombang eduagen.Oleh: Ibnu Hamad Ketua Lembaga Kajian Kurikulum dan Kebijakan Pendidikan UI (*)