AMBON, Siwalimanews – Menanggapi sikap gubernur yang mengambil sikap untuk melaporkan Siwalima ke polisi, mendapat kecaman dari Persatuan Wartawan Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen.

Menurut anggota Dewan Kehormatan Daerah PWI Maluku Novi Pinan­toan bahwa, dari aspek pem­beritaan yang disajikan Siwalima rasanya tidak berlebihan, bahkan usaha chek and ricek sudah dilakukan ke­pada pejabat yang berwenang, dalam hal ini Kepala Kantor Per­wakilan Maluku di Jakarta.

“Menurut beta, dari aspek pem­beritaan rasanya tidak ada yang ber­lebihan. Usaha check and ri­cek juga sudah dilakukan ke­pada peja­bat yang berwenang, dalam hal ini Kepala Kantor Per­wakilan Maluku di Jakarta,” ujar Pinantoan kepada Siwalimanews, Rabu (28/4),

Dengan demikian, kata Pinan­toan dari sisi kode etik jurnalistik dan UU Pers No 40 tahun 1999, tidak ada pelang­garan berat dalam be­rita Siwalima tentang pengadaan mobil dinas Gu­bernur Maluku.

Apalagi Kepala Kan­tor Perwakilan di Jakarta juga ada komentar da­lam berita, meski terke­san meng­hindari substansi materi pembe­ritaan saat dikonfirmasi. Selain itu, berita tentang mobil di­nas untuk gubernur itu ranah ruang publik, bukan privasi se­hingga ha­rusnya diklarifikasi oleh Pemprov atau Humas.

Baca Juga: Rovik: Pemprov tak Terbuka Soal Penyerapan Anggaran

“Kalaupun gubernur la­ng­sung yang beri klarifikasi, mesti­nya itu dilakukan dalam konteks hak jawab atau hak koreksi sesuai UU Pers No 40 tahun 1999 kepada me­dia yang publikasi berita tersebut, bukan beri klarifikasi di media lain, atau kenapa tidak bikin konferensi pers secara terbuka,” tandasnya.

Selain UU Pers kata Pinantoan, ada juga UU No­mor 14 tahun 2018 tentang Keter­bukaan Informasi Publik (KIP). In­formasi dugaan penyalahgunaan pembelian mobil dinas itu, bukan masuk kategori informasi yang di­kecualikan, atau tidak boleh dieks­pos.

Pasalnya, baik gubernur mau­pun pemprov, itu lembaga publik. Jadi masyarakat juga harus tahu itu.

“Jadi kalau gubernur melapor­kan ke polisi. Laporannya dalam kapa­sitas pribadi atau gubernur?. Disisi lain jangan lupa tentang sengketa pers itu harus disele­saikan dengan peraturan lex spesialis yakni UU Pers itu sendiri. Apa langkah awalnya sudah sam­paikan hak jawab atau belum?, karena dengan hak jawab lembaga pers wajib publikasikan,” tegasnya.

Dari berbagai pengalaman sengketa pemberitaan atau pers, lanjut Pinantoan, aparatur hukum akan gunakan mekanisme UU Pers tersebut serta dalam aspek etika, bila hak jawab sudah disampaikan, maka lasimnya tidak ada kelanjutan proses hukum atau sering juga dilakukan mediasi kepada dua belah pihak yang berpatokan pada UU Pers juga.

Hal lain, kata Pinontoan, jangan lupa pula peran dewan pers yang punya kewenangan menilai ada tidaknya pelanggaran kode etik dalam pemberitaan, sehingga suatu berita dinyatakan langgar kode etik dan diberi sanksi. Langkah-langkah itu sudah dilakukan pelapor atau belum?.

“Untuk itu mari pahami apa itu hak jawab?, hak jawab adalah hak sese­orang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sang­gahan terhadap pemberitaan beru­pa fakta yang merugikan nama baik­nya. Peraturan tentang hak jawab ini dimuat Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999 dalam pasal 1, pasal 5, pasal 11, dan pasal 15,” rinci Pinantoan.

Pinantoan menegaskan, pers tidak bisa dibungkam dengan krimi­nalisasi pemberitaan.

“Nah mari kita lihat selanjutnya. Intinya, beta mau bilang bahwa pers tidak bisa di­bungkam dengan kriminalisasi pemberitaannya,” tegas Pinantoan.

AJI Maluku

Ketua Aliansi Jurnalistik Inde­penden (AJI) Maluku Tajudin Buano juga me­nilai, sikap Gubernur Maluku, Murad Ismail yang melaporkan Siwalima terkait dengan pemberitaan dimedia massa, merupakan anca­man bagi kebebasan pers di Ma­luku.

“Sebenarnya sikap gubernur ini menjadi alarm buruk untuk kebe­basan berekspresi dan kebebasan pers di Maluku, karena kalau sam­pai melaporkan, itu sebenarnya sudah terlalu berlebihan gubernur merespon pemberitaan media dan akan menjadi ancaman bagi war­tawan atau media lain untuk me­nulis berita yang mengkritik peme­rintah,” ucap Tajudin kepada Siwalima, Rabu (28/4).

Menurutnya, pemberitaan yang dilaku­kan oleh Siwalima bukan suatu tindakan menyerang pribadi dan sebagainya, melainkan seba­gai bentuk kerja, sebab kerja jurnalistik akan berada pada tahap klarifikasi dan konfirmasi.

Sikap yang diambil gubernur me­rupakan kekeliruan, sebab sampai saat ini pun gubernur belum ber­bica­ra secara resmi kepada media bersangkutan bah­wa apa yang diberitakan tidaklah be­nar, namun sebaliknya mengambil langkah hukum.

“Seharusnya gubernur jangan dulu menempuh jalur hukum dan ka­lau bisa jangan menempuh jalur kepolisian, tetapi memiliki hak klarifikasi apabila merasa tudingan itu tidak benar. Hak klarifikasi ini akan dimuat kembali, dan kalau belum puas, ma­ka ada dewan pers untuk disele­sai­kan dengan sengketa dewan pers bukan delik pidana,” tutupnya. (S-51)