SEKARANG banyak diberitakan bahwa kita mulai berproses transisi menuju ke arah endemi covid-19. Ini antara lain karena kasus sudah cenderung menurun. Kita tentu bersyukur bahwa kasus yang pernah lebih dari 60 ribu sehari pada pertengahan Februari 2022 kini sudah turun, bahkan sampai kurang dari 5.000 sehari pada 21 Maret 2022. Dalam hal ini, tentu perlu diperhatikan bahwa jumlah tes yang dilakukan belakangan ini juga turun. Artinya, kalau jumlah tes di naikkan, bukan tidak mungkin jumlah kasus tidak serendah hari-hari ini. Kita juga beri catatan khusus bahwa masih lebih 100 orang yang wafat setiap hari akibat covid-19. Beberapa hari sebelumnya masih sekitar 200 dan bahkan pernah lebih dari 300 kematian sehari. Hal ini tidak bisa hanya diterangkan dengan penjelasan bahwa angkanya lebih rendah dari kematian pada delta. Memang tentu kematian akibat omikron akan lebih rendah daripada kematian akibat delta, karena memang bukti ilmiah menunjukkan dampak klinik omikron tidaklah seberat delta. Tetapi, bagaimanapun juga, yang meninggal lebih dari 100 orang per hari selama beberapa waktu, apalagi sebelumnya 200 dan 300 per hari, ini adalah saudara-saudara kita sebangsa setanah air. Jadi perlu upaya keras pengendaliannya.

Awal Januari 2022, yang meninggal sehari di negara kita ialah di bawah 10 orang. Jadi, akan baik kalau yang lebih dari 200 kematian per hari dapat diupayakan maksimal agar turun untuk menjadi kurang dari 10 sehari, seperti pernah tercapai di waktu yang lalu.   Ke arah endemi Sesuai dengan judul artikel ini, maka yang sedang berproses sekarang adalah transisi menuju ke arah endemi. Kita baru mulai berproses, kita belum masuk masa endemi. Laman Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa untuk mencapai status endemi covid-19 diperlukan beberapa indikator, seperti angka kepositifan (positivity rate) di bawah 5%, angka keterisian rumah sakit (bed occupancy ratio/BOR) di bawah 5%, laju transmisi (Rt) di bawah angka 1, dan vaksinasi 2 dosis lebih dari 70% dari total populasi. Kondisi-kondisi ini harus terjadi dalam rentang waktu tertentu, misalnya 6 bulan. Dalam hal vaksinasi, laman Our World in Data 20 Maret 2022 menunjukkan bahwa cakupan rata-rata vaksinasi primer di dunia ialah 57,1%. Adapun angka kita di Indonesia ialah cakupan vaksinasi yang 55,8% dari populasi kita masih di bawah rata-rata dunia. Jadi, perlu upaya keras untuk meningkatkannya, apalagi untuk menjadi 70%. Belum lagi kalau kita lihat cakupan booster, maka angkanya baru 7,87% di tanggal 21 Maret 2022, sesuai data Kementerian Kesehatan. Bagaimanapun, karena kasus mulai cenderung menurun, tentu boleh-boleh saja dan baik-baik saja proses transisi ke arah endemi dimulai di negara kita, yang tentu akan berdampak baik pada aspek sosial ekonomi kemasyarakatan. Jadi, memang dapat saja sebagian pembatasan mulai dilonggarkan. Akan tetapi, seperti juga disampaikan pemerintah, tentu prosesnya harus dilakukan secara bertahap dan juga akan baik kalau dilakukan dengan sangat hati-hati.

Kita lihat beberapa negara mulai melonggarkan restrik­sinya, dan sesudah beberapa waktu kasus barunya naik kembali. Inggris, misalnya, pada 5 Januari 2022 kasusnya ialah 194.494 orang, lalu berhasil diturunkan menjadi 31.885 orang pada 25 Februari 2022, tetapi kemudian angkanya naik lagi di hari-hari sesudah itu dan bahkan sudah menjadi 170.814 orang pada 14 Maret 2022. Belanda adalah contoh lainnya. Kasus harian mereka pada 8 Februari 2022 ialah 86.527 orang, lalu dapat diturunkan sampai menjadi 27.387 per hari pada 26 Februari 2022, tapi kemudian naik lagi sampai ke 69.196 pada 11 Maret 2022. Dua contoh ini kembali mene­gaskan bahwa pelonggaran yang kita lakukan haruslah dilakukan amat berhati-hati. Belum lagi kalau kita lihat bahwa Tiongkok pun kini menghadapi lonjakan kasus yang tinggi sekali, dan terpaksa sampai melakukan lockdown pada Kota Shenzhen dan juga Provinsi Jilin. Hong Kong juga amat kewa­lahan menghadapi peningkatan kasus yang nyaris tidak terkendali dan berdampak buruk pada pelayanan kesehatan di rumah sakit mereka. Hong Kong tercatat sebagai negara dengan angka tertinggi kematian per sejuta penduduk di dunia pada minggu menjelang 9 Maret 2022, menurut Our World in Data.

Tujuh kewaspadaan Sekali lagi diingatkan bahwa yang sekarang sedang kita jalani ialah mulainya suatu proses transisi menuju ke arah harapannya tercapai endemi kelak. Apakah memang dalam perjalanan proses transisinya akan lancar saja atau tidak, itu memang masih banyak unpredictibility-nya, hal yang tidak selalu dapat diperkirakan. Untuk itu, setidaknya ada tujuh hal yang dapat berpengaruh dalam proses transisi ini dan perlu kita ketahui, kuasai, dan antisipasi dengan baik. Pertama, kemampuan kita melakukan surveilans dengan ketat dalam berbagai bentuknya, baik surveilan kasus, kematian, sindromik/gejala, lingkungan termasuk limbah, dan bukan tidak mungkin juga surveilans pada hewan sesuai konsep one health, serta whole genome sequencing (WGS), dll. Hanya dengan surveilans yang baik, maka kita dapat mengetahui perkembangan situasi secara jelas. Hal kedua, kita ketahui bahwa surveilans bukan hanya melakukan pengamatan terus-menerus, tetapi juga melakukan respons segera. Jadi, kecepatan dan ketepatan kalau perlu melakukan respons berdasarkan bukti ilmiah merupakan kunci utama kewaspadaan pula. Artinya, data yang didapat dari surveilans harus diolah menjadi informasi yang valid untuk dapat dipakai sebagai dasar penentuan respons kebijakan publik. Hal kewaspadaan ketiga ialah tentang protokol kesehatan, baik pelaksanaan maupun kebijakan serta penerapannya. Dalam hal ini sekali lagi akan amat baik kalau kebijakan pelonggaran restriksi harus sejalan dengan anjuran protokol kesehatan yang masih harus tetap dilakukan. Lalu, hal keempat ialah tetap amat pentingnya kegiatan telusur dilakukan bila memang ditemukan ada kasus baru, apalagi kalau ada klaster pada kelompok masyarakat tertentu.

Dari pengalaman covid-19 dan juga berbagai wabah lainnya kita belajar bahwa merebaknya kasus terjadi karena ada kasus-kasus yang tidak ditelusuri dengan baik dampak penularannya. Kemudian, hal kelima ialah upaya maksimal untuk terus meningkatkan cakupan vaksinasi penduduk, baik vaksinasi primer maupun booster. Kita ketahui bahwa kalau sudah lebih separuh penduduk divaksinasi dengan proses yang relatif lebih mudah maka kita akan menghadapi tantangan baru, yakni kelompok yang menolak divaksin (vaccine hesitancy) serta mereka yang tinggal di daerah-daerah sulit, hard to reach population, tantangan yang kini harus dihadapi di lapangan. Kewaspadaan keenam yang patut jadi perhatian kita ialah bahwa karena covid-19 ini merupakan pandemi dunia, maka situasi di negara lain juga harus selalu jadi faktor penting proses transisi ke endemi ini. Setidaknya untuk dua hal. Kesatu, kalau terjadi perkembangan virologi atau gambaran klinik dan.atau epidemiologi di negara lain dan kedua, bagaimana mengendalikan kemungkinan penularan dari negara lain ke negara kita. Akhirnya, kewaspadaan ketujuh yang relatif lebih sulit diprediksi dan dikendalikan ialah kemungkinan adanya varian baru, bukan hanya omicron BA.2 atau juga deltacron yang sekarang banyak dibicarakan, tetapi bukan tidak mungkin ada saja varian yang benar-benar baru kelak. Memang tidak mudah mengendalikan kemungkinan varian baru ini, apalagi kita belum tahu bagaimana penularannya, berat ringannya penyakit, juga dampak pada vaksin diagnostik dan pengobatan. Secara umum, kalau ada penularan masyarakat yang tinggi di mana pun di dunia, maka di tempat itu virus akan banyak bereplikasi, dan akibatnya akan lebih besar kemungkinan terjadinya mutasi dan varian baru.

Baca Juga: Paradoks Panggung Sosial Politik

Dari pengalaman selama ini, kalau ada varian baru bermula di belahan dunia mana pun, maka akan dengan cepat kemudian menyebar ke negara-negara lain termasuk juga ke negara kita. Ketujuh hal itu perlu kita antisipasi secara saksama, mendalam, dan akurat agar proses transisi dapat terkawal dengan baik. Untuk itu, informasi yang jelas dan transparan perlu terus dilakukan agar seluruh lapisan masyarakat ikut bersama-sama menjalani proses yang ada. Menilainya dari waktu ke waktu dan mengambil tindakan yang diperlukan kalau ada perkembangan tertentu. Oleh: Tjandra Yoga Aditama    Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, Guru Besar FKUI Mantan Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P & Kepala Balitbangkes