AMBON, Siwalimanews – Masyarakat Maluku masih belum optimal terlibat dalam mendukung program perhutanan sosial dan kemitraan lingkungan yang digerakkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.

Penegasan ini disampaikan, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Bambang Supriyanto saat mmeberikan kuliah umum di Fakultas Pertanian Unpatti, Kamis (24/3).

Dari 125 juta lebih hektar lahan yang telah masuk dalam program perhutanan sosial dan kemitraan lingkungan kata Bambang, di Maluku baru terdapat 130 ribu hektar lahan yang terlibat dalam program ini.

Salah satu faktor yang mengakibatkan minimnya partisipasi masyarakat dalam program ini, terkait dengan akses yang belum dimiliki sebagai akibat dari lemahnya pendamping dari perguruan tinggi, LSM maupun pemda.

“Program PSKL memang masih minim di Maluku, karena itu harus didukung dalam bentuk pendampingan dari perguruan tinggi, LSM dan pemda,” ujarnya.

Baca Juga: TNI Polri Buka Blokir Jalan di Batu Merah

Menurutnya, untuk memastikan program PSKL berhasil, maka pendamping dari perguruan tinggi, LSM dan pemda harus dilakukan secara intens, karena hasil yang diperoleh juga menjanjikan dan secara tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya di desa.

Apalagi, data BPS saat ini di Indonesia maupun Maluku, potret masyarakat desa yang hidup berdampingan dengan perhutanan masih hidup dibawah kemiskinan, karena selama ini pemerintah banyak memfokuskan diri pada penguasaan HPH, akibatnya hak-hak masyarakat desa dan desa adat di eliminir.

Selain itu, dalam konteks hutan adat di Maluku hingga saat ini baru empat kelompok masyarakat yang mendapatkan sertifikat perhutanan sosial, sedangkan tiga lainnya masih dalam proses, artinya untuk mengoptimalkan PSKL di Maluku, maka pendamping secara intensif dilakukan.

Keterlambatan penetapan perhutanan sosial, dikarenakan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, khususnya pasal 67 menegaskan, masyarakat hukum adat harus ditetapkan melalui perda, dimana untuk membuat perda dibutuhkan waktu dan biaya yang besar.

“Perguruan tinggi memang harus baku kele untuk memberikan pendampingan agar masyarakat adat di Maluku dapat dilindungi dengan adanya program ini, sehingga masyarakat adat juga dilindungi,” cetusnya.

Terkait dengan konflik yang terjadi antara masyarakat adat dengan perusahaan pemegang HPH, Bambang menegaskan, sebelum tahun 2015 banyak oritentasi HPH sehingga tidak memperhatikan hak-hak masyarakat hutan adat.

Namun, setelah PSKL dilakukan, maka semua jenis perhutanan akan diteliti, artinya masyarakat adat yang selama ini bersinggungan dengan perusahaan pemegang HPH, dapat melaporkan langsung ke Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan untuk diproses. (S-20)