Sebagian orang ketika berbicara mengenai poligami begitu semangat dan menggebu-gebu dengan asumsi bahwa poligami itu sunnah, dan rahmat bagi kaum wanita karena jumlah laki-laki yang siap menikah lebih sedikit dari wanita.

Bahkan ada sebagian orang menilai praktik poligami dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang, semakin aktif berpoligami dianggap makin baik posisi keagamaannya, atau makin bersabar seorang istri menerima permaduan, makin baik kualitas imannya. Bahkan ayat poligami dipelintir menjadi “hak penuh” laki-laki sebagai dalih sunnah Nabi, dan jika istri menolak keinginan suami berpoligami maka dianggap durhaka, dengan mengesampingkan maksud dan tujuan ayat Alquran dan praktik Baginda Rasulullah mengenai poligami.

Ayat Alquran yang menyinggung poligami adalah Q.S an-Nisa` ayat 3, “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi dua atau tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”

Ayat ini turun berkaitan dengan sikap pemelihara anak yatim perempuan yang bermaksud menikahi mereka karena harta mereka, tetapi enggan berlaku adil, maka ayat ini menegur keras sikap dan perilaku yang tercela itu. Kemudian ayat ini ingin membatasi praktik poligami maksimal empat orang istri, yang pada masa Jahiliyah tanpa batas, seberapa ia sanggup dan seberapa mau.

Di sisi lain, jika merujuk sejarah, Rasul baru berpoligami beberapa tahun setelah istrinya, Khadijah, wafat. Semua pernikahan beliau bertujuan untuk menyukseskan dakwah atau membantu menyelamat­kan para perempuan yang kehilangan suami ketika berperang bersama Rasulullah melawan kafir Quraisy.

Baca Juga: Presiden Tiga Periode: Runtuhnya Pondasi Reformasi

Ayat di atas juga bukan anjuran berpoligami sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang, tetapi sifatnya hanya mubah dan memberi wadah bagi mereka yang menginginkannnya ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu. Sekali lagi bukan berarti membuka lebar-lebar pintu poligami tanpa batas dan syarat, bukan juga sunnah melainkan salah satu solusi yang diberikan kepada mereka yang sangat membu­tuhkan dan memenuhi syarat-syaratnya. Artinya mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang, yang ha­nya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu.

Rasulullah bermonogami selama 25 tahun, sedang­kan berpoligami delapan tahun, jauh lebih pendek daripada hidup bermonogami, dan semua istri beliau selain Aisyah adalah janda-janda yang berusia di atas 45 tahun. Kemudian Rasul menikah lebih dari satu perempuan bukan berarti harus diteladani karena tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib atau terlarang pula bagi umatnya.

Seperti, Rasul wajib bangun shalat malam dan tidak boleh menerima zakat dan tidak batal wudhu bila tertidur. Tentu ada kekhususan bagi seorang Rasul untuk menjalankan misinya. Jika demikian, seyogya­nya masa yang lebih banyak itulah yang diteladani.

Antipoligami

Di sisi lain, ada juga sebagian orang yang sangat alergi dan antipati dengan praktik poligami sehingga ingin menutup rapat-rapat pintu poligami dengan dalih poligami lahir akibat penguasaan dan penindasan laki-laki atas perempuan. Dan merebaknya poligami semakin menguatkan asumsi publik bahwa wanita hanya menjadi obyek pelampiasan nafsu belaka bagi laki-laki.

Mereka juga menyetir ayat 129 surat an-Nisa, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”.

Mereka sering mengutip ayat ini secara sepotong-sepotong, padahal masih ada lanjutan ayat berikutnya yaitu “Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Lanjutan ini mengisyaratkan bahwa keadilan yang tidak mungkin dapat tercapai itu adalah keadilan dari segi kecenderungan hati yang memang berada di luar kemampuan manusia. Ini juga berarti bahwa keadilan yang dituntut bukan keadilan menyangkut kecende­rungan hati, melainkan keadilan material yang memang dapat terukur.

Para ulama fiqh berpendapat bahwa adil terhadap istri-istri ialah adil dalam hal memberikan nafkah hidup mereka seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, waktu, dan lain sebagainya. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan pemahaman yang antipoligami dengan yang membolehkan poligami bersyarat adil, bahwa apa yang ditawarkan Islam sungguh jauh lebih manusiawi dan bermoral.

Islam bukanlah agama pertama yang membolehkan poligami, akan tetapi jauh sebelumnya, poligami sudah dikenal dan meluas ke banyak bangsa, seperti bangsa Ibrani, Arab Jahiliyah, Cisilia, Lituania, Polandia, dan lain-lain. Poligami yang diajarkan Islam tidak membe­narkan seorang lelaki berhubungan seks, kecuali dengan empat perempuan dan melalui pernikahan yang sah dan permanen. Bandingkan ini dengan hubungan seks bebas, tanpa batas, serta pernikahan kontrak untuk masa tertentu yang melanda masyarakat modern.

Poligami bukan akibat penindasan lelaki atas perem­puan. Di antara perempuan, masih banyak yang secara sadar dan sukarela bersedia untuk dimadu. Seandainya mereka tidak bersedia, pasti jumlah lelaki yang berpoli­gami akan sangat sedikit. Dan jika ada praktik poligami yang tidak sesuai ajaran Islam bukan berarti harus menolak ajaran Islam itu sendiri, karena perbuatan menyimpang itu sebenarnya dilakukan oleh orang yang tidak mengikuti tuntunan agama.

Singkatnya seperti ini, terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan hukum bukanlah alasan yang tepat untuk membatalkan ketentuan hukum itu, apalagi bila pembatalan tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi masyarakat. (M. Quraish Shihab).

Namun demikian, meskipun seorang suami telah memenuhi syarat berpoligami, bahkan menjadi kebutuhan, tetap harus mempertimbangkannya secara matang serta mendiskusikannya dengan istri dan keluarga, dengan mengedepankan akal sehat dan fikiran jernih. Karena bukan hanya menyangkut kebahagiaan suami-istri semata, namun juga mempertimbangkan aspek maslahat dan mafsadat juga perasaan anak.

Bukankah dulu berjuang untuk memiliki, sebab dalam penghayatan kita, sesuatu itu indah sebelum dimiliki, agaknya janganlah sampai ia terbuang kini, teruslah berjuang menggapai rahmah, yaitu rela berkorban apa saja demi kebahagiaan pasangan, harapannya meskipun poligami menjadi kebutuhan, namun suami rela tidak melakukannya demi menjaga perasaan pasangan. Juga sebaliknya, meskipun istri tidak menyukai poligami, namun rela mengalah dan berkorban demi kebahagiaan pasangan karena kebutuhan daruratnya.

Kemudian, jika telah mendapat restu istri, sangat indah rasanya jika istri sendiri yang mencarikan sang calon agar tidak menimbulkan banyak masalah, kemudian tidak boleh dilakukan secara diam-diam tanpa izin istri, karena itu bentuk pengkhianatan terhadapnya. Tidak sedikit kasus sepasang suami-istri yang telah mengarungi rumah tangga berpuluh tahun dan telah mapan secara materi namun harus kandas dan papa akibat suami berpoligami. Wallahu A`lam bi al-Sawab.( Dr. Agustin Hanafi, Lc, Ketua Prodi s2 Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry dan Anggota IKAT Aceh)