SETIAP menjelang pemilihan umum (pemilu) ataupun pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada), salah satu isu yang kerap mencuat menjadi kontroversi di tengah masyarakat ialah soal pencalonan mantan terpidana korupsi. Hal yang lumrah, mengingat berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) per-April 2022 saja, tercatat Lembaga Antirasuah tersebut telah menangani 310 perkara yang melibatkan anggota DPR dan DPRD, 22 perkara yang melibatkan gubernur, serta 148 perkara yang melibatkan wali kota/bupati dan wakilnya. Jumlah itu mencakup 35% dari total perkara yang ditangani KPK.

Skor indeks persepsi korupsi Indonesia juga tidak terlalu baik, yaitu 38 dari 100. Angka itu membuat posisi Indonesia berada pada peringkat ke-96 dari 180 negara yang dilakukan pengukuran oleh Transparency International (2021). Selain itu, International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) mencatat, kinerja demokrasi Indonesia menurun, yaitu berstatus lemah atau rendah akibat aspek variabel “bebas dari korupsi” yang terus memburuk atau berada pada zona merah.

Dalam menyikapi tingginya praktik korupsi oleh aktor politik dan demokrasi yang dilemahkan praktik korupsi, pada pemilu serentak 2019 Komisi Pemi­lihan Umum (KPU) mencoba melakukan terobosan hukum besar, dengan melarang pencalonan mantan terpidana korupsi melalui Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Tentu saja, pengaturan tersebut seketika menjadi polemik dan mendapatkan perla­wanan dari mereka yang pernah menjadi terpidana korupsi. Hingga akhirnya, berujung upaya hukum uji materi (judicial review) terhadap PKPU tersebut ke Mahkamah Agung (MA).

MA, selanjutnya menerbitkan Putusan MA Nomor 46 P/HUM/2018 yang menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU 20/2018 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Merespons Putusan MA itu, pembuat undang-undang tidak mengambil langkah lebih lanjut, untuk melakukan perubahan atas ketentuan yang ada dalam UU pemilu ataupun UU Pilkada. Padahal, publik berharap besar agar dilakukan reformasi pengaturan pencalonan sehingga bisa menghadirkan proses pencalonan yang terbebas dari pelaku korupsi.

Kebuntuan politik

Baca Juga: Merdeka dari Kultur Kekerasan Institusi

Sebagai refleksi atas kebuntuan pengaturan pada level undang-undang, yang menghambat terobosan hukum oleh penyelenggara pemilu tersebut, menjelang pilkada serentak 2020, Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan permo­honan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Nomor 10/2016, yang mengatur bahwa calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota harus memenuhi persyaratan tidak pernah sebagai terpidana, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik, bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

ICW dan Perludem meminta MK memutus keten­tuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum me­ngikat sepanjang tidak dimaknai “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik, dalam pengertian suatu per­buatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif, hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 10 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya se­bagai mantan terpidana; dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.”

Permohonan uji materi itu dilakukan di tengah trajectory sejumlah putusan MK, terkait dengan pengujian persyaratan pencalonan mantan terpidana di pemilu dan pilkada. Sebelum permohonan ICW dan Perludem masuk ke MK, tercatat setidaknya ada 4 putusan MK menyangkut soal ini, meliputi, Putusan MK Nomor 17/PUU-V/2007, Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009, Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015, dan Putusan MK Nomor 71/PUU-XIV/2016. Uniknya, MK beberapa kali mengubah pendirian hukumnya soal konstitusionalitas pencalonan mantan terpidana.

Putusan MK Nomor 17/PUU-V/2007 merupakan pengujian atas Pasal 58 huruf f UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi, “Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau lebih.” Terhadap permohonan tersebut, MK menyatakan bahwa larangan bagi mantan terpidana untuk bisa mencalonkan diri menjadi kepala daerah ialah norma yang bersifat konstitusional bersyarat, sepanjang larangan bagi mantan terpidana itu tidak mencakup kepada tindak pidana yang lahir karena kealpaan ringan (culpa levis).

Selanjutnya, dalam Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 yang merupakan pengujian atas ketentuan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU 32/2004, MK mengubah pendirian hukumnya dengan memutus bahwa ketentuan yang melarang terpidana menjadi calon kepala daerah dinyatakan inkonstitusional, akan tetapi ada empat syarat yang mesti dipenuhi.

Adapun empat syarat yang berlaku secara kumulatif itu ialah pertama, berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials), sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap. Kedua, berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 tahun, setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketiga, kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, dan keempat, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Berikutnya, MK lagi-lagi mengubah pendirian hukumnya melalui Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015. MK menghilangkan syarat kumulatif yang diputuskan terdahulu dalam Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009, dan hanya menyisakan satu syarat untuk mantan terpidana dapat menjadi calon kepala daerah, yakni secara terbuka dan jujur menyatakan kepada publik bahwa dirinya ialah mantan terpidana.

Kemudian, dalam Putusan MK Nomor 71/PUU-XIV/2016, MK membuat pengecualian terhadap pencalonan terpidana yang dihukum percobaan, khususnya terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik, dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif, hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa. Terhadap pelaku tindak pidana dimaksud, tidak dipersyaratkan untuk secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa dirinya ialah mantan terpidana.

Ketegasan KPU

Dalam perkembangan mutakhir, terkait dengan pengujian persyaratan pencalonan mantan terpidana oleh ICW dan Perludem, yang teregistrasi dalam Perkara Nomor 56/PUU-XVII/2019, pada 11 Desember 2019, MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.

MK menegaskan dalam putusannya, bahwa calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus memenuhi sejumlah persyaratan secara kumulatif. Mencakup, (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif, hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.

(ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara, berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Dalam putusannya, MK menolak permohonan pemberlakuan masa jeda selama 10 tahun, terkait dengan pencalonan mantan terpidana yang dimintakan ICW dan Perludem. Adapun argumentasi Mahkamah, untuk memberlakukan waktu tunggu ialah dengan kembali mengutip pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 yang pada pokoknya ialah, “… Dipilihnya jangka waktu 5 tahun untuk adaptasi bersesuaian dengan mekanisme lima tahunan dalam pemilihan umum (pemilu) di Indonesia, baik pemilu anggota legislatif, pemilu presiden dan wakil presiden, dan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah.”

Melalui Putusan Perkara Nomor 56/PUU-XVII/2019 ini, Mahkamah ternyata mengembalikan pendirian hukumnya pada Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009. MK kembali menegaskan persyaratan kumulatif dalam pencalonan mantan terpidana berlaku pada semua jenis tindak pidana, tidak terbatas pada mantan terpidana korupsi, bandar narkoba, ataupun kejahatan seksual terhadap anak.

Selain itu, karena MK menegaskan pendirian hukumnya yang bersandar pada Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009, persyaratan tersebut ialah berlaku baik untuk pencalonan di pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun pencalonan pilkada. Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 merupakan hasil pengujian atas ketentuan yang termaktub dalam UU Pemilu Legislatif dan juga UU Pilkada, yaitu Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dengan demikian, menyikapi polemik apakah mantan terpidana korupsi bisa dicalonkan di pemilu atau tidak, jawabannya harus dikembalikan pada amar Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 sehingga terkait dengan hal itu, dalam mengatur persyaratan pencalonan di pemilu legislatif mendatang, KPU tidak bisa hanya merujuk sebatas pada ketentuan Pasal 182 huruf g dan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Terutama, mengingat ketentuan dalam UU 7/2017 dibuat masih dalam semangat Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015, dan Nomor 71/PUU-XIV/2016. Dalam dua putusan itu, MK hanya menyaratkan mantan terpidana untuk terbuka dan jujur menyatakan kepada publik, bahwa dirinya ialah mantan terpidana sebagai persyaratan dalam pencalonan.

Untuk itu, KPU harus memuat substansi Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 dalam Peraturan KPU tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Diharapkan, dengan ketegasan KPU dalam membuat PKPU Pencalonan berbasis konstitusionalitas pengaturan yang kukuh, akan membuat terang benderang jawaban atas polemik hukum terkait dengan pencalonan mantan terpidana pada pemilu legislatif mendatang. Meski sebagai pemilih, publik harus “bersiap” menerima kenyataan, bahwa sangat mungkin mantan terpidana korupsi tetap hadir mewarnai panggung pemilu Indonesia. Alasannya, karena mereka memenuhi persyaratan pencalonan, yakni telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara, berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka, mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, serta bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Sehubungan itu, mengingat partai politik merupakan sumber rekrutmen utama bagi pengisian lembaga perwakilan, baik legislatif maupun eksekutif, sudah sepatutnya partai benar-benar menjadi penyaring dalam menghadirkan kader-kader terbaiknya, untuk mengisi berbagai posisi strategis elektoral yang ada. Kader yang betul-betul teruji dan mampu menunjukkan komitmen antikorupsi dalam menjalankan amanah publik yang mereka emban.

Mereka yang terbukti gagal karena telah mencederai kepercayaan masyarakat karena melakukan tindak pidana (khususnya korupsi) saat memangku jabatan publik, sebaiknya diminta untuk memilih jalan pengabdian etis lainnya. Apalagi, berdasarkan data yang dihimpun Perludem (2022), 9,9% caleg mantan terpidana korupsi terpilih di Pemilu 2019.

Indonesia ialah bangsa besar, yang sama sekali tidak kekurangan figur-figur terbaik untuk menjadi pejabat publik. Kekurangan kita ialah komitmen dan konsistensi untuk sungguh-sungguh memberantas korupsi. Sayangnya, itulah yang paling bahaya dan merusak. Oleh: Titi Anggraini Dosen Tidak Tetap Bagian HTN FHUI, Dewan Pembina Perludem, dan Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/518835/polemik-pencalonan-mantan-terpidana-korupsi