AMBON, Siwalimanews – Mendapat kritikan tajam dari kalangan praktisi dan akademisi hukum, karena tak menjerat pihak PLN Maluku Malut dalam kasus korupsi pembelian lahan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Namlea, Kabupaten Buru, Kejati Maluku beralasan penyidikan masih berjalan.

Dalam transaksi jual beli tahun 2016 yang merugikan negara lebih dari Rp 6 miliar itu, Kejati Maluku baru menetapkan pengusaha Ferry Tanaya dan mantan Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Kabupaten Buru, Abdul Gafur Laitupa sebagai tersangka.

“Proses penyidikan saat ini masih sedang berlangsung dan saya kira yang sangat mengetahui anatomi perkara ini seperti apa adalah penyidik yang menangani perkara tersebut sehingga kita beri saja kesempatan penyidik untuk bekerja,” kata Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku, Samy Sapulette, kepada Siwalima,melalui pesan WhatsApp, Senin (8/6).

Sapulette mengatakan, jika baru dua tersangka yang ditetapkan yakni Ferry Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa, karena bukti permulaan yang cukup mengarah kepada keduanya.

“Sesuai hasil penyidikan sejauh ini diperoleh bukti permulaan yang cukup mengarah kepada dua tersangka yang telah ditetapkan tersebut yakni  F.T dan A.G.L,” katanya.

Baca Juga: 20 Tahun Bui Menanti Ferry

Disinggung soal peran pihak PLN sebagai kuasa pengguna anggaran, Sapulette mengatakan, proses penyidikan masih berlangsung.

“Kalau pun ada anggapan bahwa ada yang ditutupi atau seharusnya  ada pihak lain yang mesti dimintai pertanggungjawaban pidananya dalam  perkara ini,  tentu hal itu akan secara terang benderang terungkap pada saat proses persidangan nantinya. Jadi sebaiknya  diikuti saja proses penyidikan yang saat ini sedang berlangsung,” ujarnya.

Jaksa tak Sentuh PLN

Seperti diberitakan, harga lahan milik Ferry Tanaya sesuai NJOP tak seberapa. Tetapi ia diduga kongkalikong dengan pihak PLN Maluku Malut dan oknum pejabat pertanahan untuk melakukan mark up.

Lahan seluas 48.645, 50 hektar di Desa Sawa, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru milik Ferry Tanaya dibeli oleh PLN untuk pembangunan PLTG 10 megawatt.

Sesuai nilai jual objek pajak (NJOP), harga lahan itu hanya Rp 36.000 per meter2. Namun diduga ada kongkalikong  antara Ferry Tanaya, pihak PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang saat itu dipimpin Didik Sumardi dan oknum BPN Kabupaten Buru untuk menggelembungkan harganya. Alhasil, uang negara sebesar Rp.6.401. 813.600 berhasil digerogoti.

Hal ini juga diperkuat dengan hasil audit BPKP Maluku yang diserahkan kepada Kejati Maluku.

“Hasil penghitungan kerugian negara enam miliar lebih dalam perkara dugaan Tipikor pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan PLTG Namlea,” kata Kasi Penkum Kejati Maluku, Samy Sapulette.

Ferry Tanaya telah ditetapkan sebagai tersangka, berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-749/Q.1/Fd.1/05/ 2020, tanggal 08 Mei 2020.

Selain Ferry, mantan Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Kabupaten Buru, Abdul Gafur Laitupa juga ditetapkan sebagai tersangka, berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-750/Q.1/Fd.1/05/2020, tanggal 08 Mei 2020.

“Berdasarkan rangkaian hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik ditemukan bukti permulaan yang mengarah dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka tersebut yaitu F.T dan A.G.L,” kata Samy Sapulette, kepada Siwalima, melalui WhatsApp, Jumat (5/6).

Sapulette menambahkan, penyidik segera mengagendakan pemeriksaan saksi-saksi. Sedangkan, kedua tersangka belum diagendakan. “Untuk pemeriksaan terhadap tersangka belum dijadwalkan,” jelasnya.

Ferry Tanaya tergolong pengusaha beken di Maluku. Ia sebelumnya menjadi pengusaha kayu jati, dengan hasil dari pulau Leti Moa Lakor.

Saat di era Pulau Buru masih di genggaman Kabupaten Malteng, 300 buah ketel minyak kayu putih yang tadinya dikelola langsung oleh anak perusahaan Praja Karya di Namlea, yang dipimpin Ibrahim Tan, dipindahtangankan ke Ferry Tanaya dan dikelola puluhan tahun hingga Buru mekar pada Oktober 1999 lalu.

Kemudian setelah Husnie Hentihu menjadi bupati tahun 2002, ketel milik daerah itu diambil dari tangan Ferry Tanaya, karena tidak ada kontribusi ke daerah.

Ferry selain dikenal sebagai pengusaha kayu jati di Pulau terluar, ia juga mengolah kayu jati setengah jadi di Kayeli dan Pulau Seram. Ia juga melanjutkan usaha puluhan ketel dusun kayu putih warisan keluarga yang dibeli orang tuanya dari warga pribumi di pulau Buru.

Kiprahnya terus meluas setelah mendapat IPK dari pemerintah dengan mengolah kayu log dan dipasarkan ke luar Maluku. Sejak beberapa tahun lalu, Ferry juga sudah membeli perusahan plywood PT WWI.

Ia juga mengelola kayu di areal IPK dari satu perusahan milik Amir Gaos Latuconsina. Areal HPH milik PT Wahana Potensi di Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan dikhabarkan kini juga sudah dikuasai Ferry Tanaya.

Ribuan kayu log yang dihasilkan dari areal HPH dan IPK tersebut lrebih banyak dipasok keluar dari pada memenuhi stok di PT WWI.

Jaksa Keliru

Kalangan praktisi dan akademisi hukum menilai Kejati Maluku keliru, jika tidak menjerat pihak PLN Maluku Malut dalam kasus dugaan korupsi pembelian lahan PLTG Namlea.

“Jaksa keliru kalau cuma tetapkan pak Ferry dan Pak Laitupa tersangka, PLN juga harus,” tandas Praktisi Hukum, Muhammad Nur Nukuhehe,  kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Sabtu (06/6).

Dalam posisi kasus seperti ini, kata Nukuhehe, semestinya pihak PLN ditetapkan sebagai tersangka utama, barulah diikuti dengan Ferry Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa, karena dianggap sebagai orang yang turut serta dalam menikmati uang negara.

“Ferry ditetapkan sebagai tersangka dalam hal apa, seharusnya PLN juga ditetapkan sebagai tersangka yang melakukan korupsi,” tegasnya.

Lanjutnya, selaku kuasa pengguna anggaran, mestinya pihak PLN mencegah terjadinya pembelian aset yang dapat merugikan keuangan negara.

Olehnya ia meminta penyidik Kejati Maluku lebih adil menegakan hukum dalam kasus tindak pidana korupsi.

Akademisi Hukum Unpatti, Diba Wadjo mengatakan, penetapan dua tersangka kasus dugaan korupsi pembelian lahan PLTG Namlea membuka pintu masuk untuk membongkar keterlibatan pihak lain, termasuk pihak PLN.

“Itu pintu masuk untuk bongkar kasus termasuk PLN kalau terlibat,” ujarnya.

Dikatakan, dalam penetapan tersangka seharusnya penyidik lebih mengutamakan keadilan. “Kalau melihat persoalan ini maka seharusnya jaksa tetapkan pihak lain juga sebagai tersangka karena turut bersama-sama,” tandas Wadjo.

Praktisi Hukum, Djidon Batmamolin meminta Kejati Maluku untuk tidak menutup mata terhadap peran pihak PLN. “Pihak PLN memiliki peran yang besar, sehingga jaksa jangan abaikan peran mereka. Mestinya ada oknum PLN juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini,” tandas Batmamolin.

Menurutnya, penyidik tidak bisa mengabaikan peran PLN. Masa yang membayar tak dijerat? “PLN mengabaikan harga tanah sesuai dengan NJOP, sehingga mengakibatkan kerugian negara lebih dari 6 miliar, mengapa jaksa mengabaikan peran PLN?,” ujar Batmamolin.

Batmamolin meminta jaksa tidak tebang pilih dalam menuntaskan kasus ini. Siapapun yang terlibat harus dijerat.

Hal yang sama ditegaskan Ketua Aliansi Gerakan Anti Korupsi Maluku, Jonathan Pesurnay.

Ia mengaku aneh, Ferry Tanaya selaku pemilik lahan dan oknum pejabat BPN ditetapkan sebagai tersangka, namun pihak PLN diloloskan.

“Mereka yang memiliki anggaran dan melakukan pembayaran kepada Tanaya, namun mereka tidak membayarnya sesuai dengan NJOP, itu artinya ada mark up. sehingga merugikan negara, lalu kenapa PLN tidak dijerat, jaksa jangan diskriminasi,” tandasnya. (S-16)